Akrobat SK, Drama Seleksi, dan Kematian Etika Politik Kampus - LPM Pena Kampus

Wadah Gali Nurani Mahasiswa

Breaking

Rabu, 04 Juni 2025

Akrobat SK, Drama Seleksi, dan Kematian Etika Politik Kampus

 

                          (Ilustrasi: Pena Kampus)

Oleh: Mavi Adiek Garlosa (Mahasiswa Fakultas Hukum, Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Mataram) 


Demokrasi Kampus di Tepi Jurang


Kampus seharusnya menjadi rumah bagi akal sehat, integritas, dan demokrasi yang sehat. Apalagi di lingkungan Hukum Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FHISIP) Universitas Mataram, yang secara teoritik menjadi lumbung kajian demokrasi, etika politik, dan tata kelola Fakultas pemerintahan. Namun ironi terbesar terjadi demokrasi ketika justru dirusak dari dalam oleh mereka yang seharusnya menjaganya. Baru-baru ini pemilihan Wakil Dekan (Pilwadek) FHISIP Unram menyisakan luka dan kegelisahan yang mendalam. Praktik cawe-cawe bersifat administratif, penyaringan kandidat yang tidak transparan, serta permainan kekuasaan yang mengedepankan etika, menjadikan Pilwadek bukan lagi ruang partisipatif yang meritokratis atau dalam kata lain yang mengedepankan kemampuan dan prestasi individu. Akan tetapi panggung teatrikal dengan naskah yang telah ditulis jauh-jauh hari, pemainnya adalah mereka yang memahami sistem celah, sedangkan penontonnya adalah kita,dosen, mahasiswa, dan staf yang perlahan kehilangan kepercayaan terhadap kampus sebagai nilai institusi.


Akrobat SK: Ketika Netralitas Panitia Dipertaruhkan


Salah satu titik paling kontroversial dalam Pilwadek ini adalah diterbitkannya Surat Keputusan (SK) pengunduran diri dari panitia yang juga salah satu kandidat, kemudian mencalonkan diri sebagai Wakil Dekan. Langkah ini sah secara administratif, namun bermasalah secara etik.



Panitia mempunyai fungsi strategi dalam memastikan bahwa seluruh tahapan pemilihan berlangsung jujur, adil, dan netral. Ketika seorang panitia tiba-tiba mengundurkan diri demi mencalonkan diri sebagai kandidat, masyarakat berhak mengundurkan diri; apakah sejak awal yang bersangkutan telah menyusun skenario politiknya sendiri? Apakah pengunduran diri ini merupakan akrobat hukum untuk mencuci tangan dari konflik kepentingan yang sudah terjadi?



Pertanyaan-pertanyaan ini tidak dijawab secara terbuka. Tidak ada klarifikasi resmi, tidak ada mekanisme etik yang berjalan. Semua tampak berjalan “normal”, padahal luka integritas sudah menganga. Hal yang mendasari masyarakat mulai sadar bahwa prosedur administratif sering digunakan sebagai tameng moral, bahwa hukum tidak selalu berarti etis.



Seleksi Drama: Seleksi atau Skenario?


Lebih jauh lagi, proses penyaringan calon Wakil Dekan dilakukan secara tertutup, tanpa pengumuman resmi, tanpa kriteria tujuan yang diketahui publik, dan tanpa ruang disetujui bagi civitas akademika. Apa indikator seleksinya? Siapa yang menilai? Bagaimana hasilnya bisa diterapkan?



Drama seleksi ini membuka fakta pahit: tidak semua dosen memiliki kesempatan yang sama. Apalagi yang sudah mengabdi, berprestasi, dan memiliki rekam jejak baik pun bisa tersingkir hanya karena dianggap "tidak cocok secara politik" dengan birokrasi. Bukannya menjadi ajang kompetisi sehat berbasis kualitas akademik dan manajerial, Pilwadek berubah menjadi seleksi tertutup berbasis kedekatan struktural dan loyalitas. Padahal, dalam sistem kampus yang sehat, seleksi terbuka dengan indikator terukur dan partisipasi publik adalah syarat mutlak. Tanpa itu, pemilihan hanya akan menjadi sarana pengesahan kekuasaan lama dalam wajah baru. Ini bukan reformasi, ini konservatisme yang dibalut modernitas.


Cawe-Cawe Birokrasi: Intervensi Terstruktur, Sistemik, dan Masif


Kata “cawe-cawe” yang semula populer dalam diskursus politik nasional kini menjelma menjadi kenyataan pahit dalam tubuh kampus. Cawe-cawe birokrasi dalam Pilwadek FHISIP Unram bukan sekedar dugaan. Intervensi mulai tampak dari tahap pembentukan panitia, kontrol komunikasi, definisi narasi kritis, hingga pengaturan waktu yang berpihak.



Pihak yang berkebijakan seolah-olah enggan melepaskan kendali atas jabatan-jabatan strategis. Alih-alih membuka ruang partisipatif dan kompetisi sehat, mereka lebih memilih pengamanan “kursi” melalui figur-figur yang mudah diarahkan; Yang menolak akan diisolasi, yang setia akan diangkat.


Fenomena ini menunjukkan bahwa birokrasi kampus tak mengubahnya, partai politik yang bermain di balik layar, bukan sebagai pelayan akademik, tapi sebagai aktor kekuasaan. Mahasiswa dan dosen muda pun perlahan menjadi korban pembungkaman yang sistematis. Kritik dianggap sebagai ancaman. Diskusi dianggap memprovokasi. Demokrasi hanya dipentaskan sekedar formalitas.



Kampus Kematian Etika Politik


Dari semua prosedur kerusakan, yang paling buruk adalah matinya etika politik kampus. FHISIP Unram sebagai lembaga pendidikan ilmu politik justru menjadi contoh buruk dalam pelaksanaan nilai-nilai yang diajarkannya.



Etika akademik, yang seharusnya dikunjungi tinggi oleh dosen dan birokrat kampus ditinggalkan begitu saja demi kepentingan sesaat. Tidak ada evaluasi terbuka. Tidak ada tanggung jawab moral. Semua dilakukan dalam diam, dalam semangat "asal menang" tanpa peduli apakah yang dikorbankan adalah prinsip, kebenaran, dan integritas.



Bagaimana siswa bisa belajar tentang moral politik jika dosennya sendiri mempertontonkan ambiguitas etis? Bagaimana kita bisa mengajarkan tata pemerintahan yang baik, transparansi, dan akuntabilitas jika proses internal kampus justru mencerminkan tata kelola yang buruk secara telanjang?. Inilah tragedi terbesar dalam Pilwadek FHISIP Unram: bukan hanya soal siapa yang menang, tapi soal hilangnya kepercayaan terhadap nilai yang seharusnya kita pegang bersama.



Apatisme dan Generasi yang Patah Arah


Dampak dari drama ini terasa luas. Mahasiswa menjadi apatis. Mereka tahu bahwa suara mereka tidak punya tempat. Diskusi dan kajian hanya menjadi rutinitas kosong, tanpa koneksi pada praktik nyata di kampus. Dosen muda kehilangan semangat. Mereka yang ingin berkontribusi dipinggirkan jika tidak tunduk pada arus. Mereka yang bersuara memotong aksesnya pada kesempatan karier. Perlahan, kampus kehilangan energi pembaruan karena yang dihargai bukan ide, tapi hubungan.



Generasi yang kita siapkan hanya menyaksikan panggung penuh kepalsuan. Jika tidak segera diperbaiki, kami sedang membentuk kader-kader masa depan yang skeptis, sinis, dan apolitis. Ini bukan hanya masalah Pilwadek. Ini adalah krisis moral yang membahayakan masa depan pendidikan tinggi.



Reformasi Tata Kelola Pilwakdek dan Perlunya Komite Etik Independen


Pilwadek FHISIP Unram telah menjadi cermin retak dari wajah demokrasi kampus hari ini. Ceritakan itu bukan hanya karena aktor yang bermain kotor, tapi karena kita membiarkannya tanpa perlawanan. Diam adalah bentuk persetujuan. Bungkam adalah bentuk kompromi.



Kita tidak bisa membiarkan sistem seperti ini terus berjalan. Kampus bukanlah panggung politik praktis. Kampus adalah tempat mendidik manusia berpikir kritis, bertanggung jawab, dan berintegritas. Jika Pilwadek saja gagal mencerminkan hal itu, maka kita gagal sebagai institusi pendidikan. Sudah saatnya kita tidak hanya menjadi pengamat, tapi pelaku perubahan. Kembalikan demokrasi ke jalurnya. Hentikan cawe-cawe birokrasi. Tolak praktik yang tidak etis. Dan membangun kembali etika politik kampus yang sehat, bukan karena tuntutan jabatan, tapi karena panggilan nurani akademik.



Untuk mengembalikan martabat demokrasi dunia, perlu diambil langkah cepat dan tegas melalui reformasi tata kelola Pilwadek. Salah satu hal yang mendesak adalah evaluasi menyeluruh terhadap seluruh proses Pilwadek, baik dari segi administrasi, etika, maupun partisipasi sivitas akademika. Evaluasi ini harus bersifat terbuka dan berbasis prinsip akademik, dengan arahan langsung dari rektor sebagai pemangku kepentingan tertinggi dalam tata kelola kampus.



Selain itu, regulasi Pilwadek perlu direvisi untuk mencegah potensi konflik kepentingan. Panitia pemilihan harus bersifat netral dan tidak boleh mencalonkan diri, bahkan setelah menegaskan diri, tanpa adanya jeda waktu yang wajar. Setiap tahapan Pilwadek perlu dilakukan dengan mekanisme etik yang jelas dan dapat ditegakkan. Untuk menjamin integritas proses, perlu dibentuk komite etik independen yang memiliki izin nyata dalam menyelidiki pelanggaran etik, baik yang dilakukan oleh dosen, panitia, maupun birokrat kampus. Komite ini harus bekerja secara transparan dan bebas dari intervensi struktural agar kepercayaan masyarakat kampus dapat berputar-putar.



Demokratisasi kampus juga menuntut pelibatan aktif mahasiswa dalam proses pengambilan keputusan. Mahasiswa tidak boleh diposisikan hanya sebagai objek, tetapi harus diberi ruang untuk menyuarakan pendapat dalam forum-forum resmi. Sebagai bagian dari transformasi yang lebih luas, birokrasi kampus perlu direformasi dari pola yang elitis dan otoriter menjadi lebih partisipatif, terbuka, dan inklusif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar