Allah
Merindukanku
Oleh
: Erwin Hadinata (XIII)*
Suara derap langkah-langkah kaki di
atas jalan beraspal bergema siang itu. Lafaz tauhid dikumandangkan. Orang-orang
beriringan memapah sebuah keranda yang dipayungi payung warna hitam. Hawa
panas, debu berterbangan naik ke udara tertiup angin panas. Matahari enggan
bersembunyi dibalik awan, ia seakan senang gembira menyaksikan hal itu. Langit
biru cerah mewarnai upacara pemakaman, angin siang bertiup membawa hawa panas
yang membelai kulit-kulit para pengiring jenazah. Ingin rasanya berteduh
menghindarinya. Di dalam keranda, sesosok jasad tertidur pulas kaku tak
bergerak. Pakaian serba putih. Aroma kapur barus memenuhi udara dalam keranda.
Sebanyak tujuh ikatan melilit di sekujur tubuhnya. Jasad yang dahulu seorang
pemimpin di kampung itu kini sedang mengalami fase ketiganya menuju alam
kekekalan. Keranda diturunkan. Jasad tua itu ditidurkan di liang peristirahatan
terakhirnya. Suara adzan dikumandangkan di kala wajahnya dibuka dari kain
putih. Pucat pasi. Ada sedikit raut bahagia pada jasad itu. Ia seakan gembira
akan segera bertemu dengan penciptanya. Adzan selesai dikumandangkan. Saatnya
tiba. Papan-papan kayu di tutupkan sepanjang seluruh tubuhnya. Tanah kini akan
menimbunnya. Meninggalkan kehidupan dunia menuju alam selanjutnya. Gelap. Tanah
kini telah menutup semua liang lahatnya.
***
Sakit selama 44 hari membuatnya
menyerah, sebenarnya tidak. Ia tahu waktunya sudah tiba. Jauh sebelum hari ini
tiba, ia terbaring lemas di atas lasah tempat tidurnya. Ia mengalami
mimpi yang aneh. Ia didatangi almarhum ayahnya yang sebelumnya sudah tiada. Dia
bingung dan takut. Sejenak ia berfikir apakah ini merupakan tanda-tanda sang Khalik
sedang merindukannya? Keringat dingin bercucuran. Membasahi sekujur tubuh yang
kulitnya sudah mulai keriput. Dia terbangun di tengah malam yang sunyi.
Sepertiga malam. Dia menghela nafas panjang. Lafadz istighfar keluar dengan
tersendat-sendat diiringi batuk yang memecah keheningan malam. Batuk yang beberapa hari ini membuatnya agak
sedikit terganggu. Ia bangkit dari tempat tidur, walau badan yang pegal sulit
diajak untuk kompromi. Dia berjalan agak renta menuju sumur di belakang
rumahnya. Udara yang sedingin es langsung menerpa wajahnya yang sudah mulai
keriput. Segera ia membuka tutup bong yang sudah berlumut berwarna hijau
tua. Air mengalir deras menuju kedua tangannya. Ia kemudian berwudhu. Rasa
kantuk tak sedikitpun membuatnya meninggalkan sunnah nabi. Ia menengadah ke
langit menghadap ke arah kiblat. Berdo’a. Langit begitu cerah malam itu.
Bintang bertaburan sejauh mata memandang. Subhanallah. Maha Besar Allah yang
telah menciptakan alam semesta yang begitu indah ini. Untuk kesekian kalinya ia
mengucapkannya. Mungkin tak terhitung banyaknya. Ia masih merasa takut dengan
mimpinya itu.
“Allahuakbar,” dalam sujud renungnya
ia berdo’a, “Ya Allah, Engkau Yang Maha Kuasa atas semua mahlukMu. Maka jika
Engkau hendak mengembalikanku ke haribaanMu, kembalikan aku dalam keadaan
khusnul khatimah.” Dua rakaat yang panjang. Ia tertunduk dalam kekhusyukkan.
Merenungi perbuatannya selama ini. Takut dengan amalnya tidak cukup saat ia
kembali pulang. Takut jika Sang Pencipta melemparnya ke neraka Jahannam. Bulir-bulir
air mata jatuh menimpa sarung kotak-kotaknya. Tangan yang keriput di penuhi
urat-urat menandakan ia seorang pekerja keras di masa mudanya menengadah ke
atas. Mengharapkan ampunan dari Sang Maha Pengampun. Malam itu begitu sunyi.
Hanya terdengar suara mahluk-mahluk malam mengeluarkan suaranya menciptakan
suasana malam yang khas. Tak terasa dua jam lamanya ia tenggelam dalam do’anya.
Suara adzan Subuh menggema menandakan hari akan segera beranjak. Rona-rona
merah mulai terlihat dari ufuk timur. Kelihatannya si raja hari akan segera muncul
menerpa hamparan bumi membawa cahaya kehidupan. Ia segera beranjak dari
tempatnya berjalan menuju rumah Allah. Berkumpul bersama orang-orang yang sabar
dalam beribadah.
“Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah
shalat Isya’ dan sholat Subuh. Sekiranya mereka mengethaui apa yang terkandung
di dalamnya, niscaya mereka akan mendatangi keduanya (berjamaah di masjid)
sekalipun dengan merangkak”. (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Ba’da sholat Subuh, ia merasa
sekujur tubuhnya sangat kedinginan. Ia berjalan pulang melewati setapak jalan
berdebu. Embun pagi itu semakin membuat tubuhnya seperti terbungkus es. Bibirnya
tak henti-henti bertasbih. Cahaya dari langit belum menerangi tanah. Masih
remang-remang. Lembab berembun. Setetes embun jatuh dari langit yang biru
bersih, turun kemudian singgah di ruas-ruas daun bunga sepatu menuruni alur
tangkai pohonnya dan luruh terjatuh ke tanah berdebu. Lenyap.
***
Selimut membantu menghangatkan tubuh
rentanya. Aroma secangkir teh di atas meja menerawang hingga ke ujung
hidungnya. Ia mencoba bangkit dari perbaringannya hendak meneguk teh yang biasa
ia nikmati. Secangkir teh buatan istrinya yang setia mendampingi hingga
penghujung hidupnya. Jari-jari tangannya bergetar memegang cangkir teh.
Tangannya tak kuasa menopang cangkir berisi air teh itu. Kraannkk! Suara itu
mengagetkan istrinya. Sontak ia bergegas menemui sang suami. Terlihat ia sedang
kedinginan, menggigil sampai-sampai bibirnya bergetar. Puing-puing pecahan
cangkir berserakan. Air teh yang kemerahan bersimbah membasahi lantai semen.
Mengundang semut-semut mengerumuninya. Raut wajah wanita tua itu segera
berubah. Rasa khawatir segera memenuhi relung jiwanya. Segera ia dipapah menuju
ke perbaringannya. Ia terlihat kelelahan. Wajahnya pucat pasi. Kedua bola
matanya terlihat berlinangan air mata. Baru kali ini ia merasa seperti itu.
Tubuh renta nan lemah itu kini tak bisa apa-apa. Hanya berbaring lemah tak
berdaya. Kini segala aktivitas yang biasa ia lakukan sendiri dibantu oleh istri
dan anak-anaknya. Setidaknya ia tidak terlalu merepotkan orang lain. Setiap
kali waktu sholat tiba, ia tidak pernah sekalipun meninggalkan kewajibannya
ini. Semakin hari ia merasa keadaannya semakin lemah. Tak sekalipun ia
mengeluh. Ia semakin bersyukur dengan keadaannya saat ini. Dengan begitu ia
bisa lebih mendekatkan diri dengan Sang Khalik.
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah,
sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barangsiapa menghendaki
pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barangsiapa
menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan
Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”. (QS Ali Imran –
145)
***
Raja siang dan malam silih berganti,
rona-rona jingga di ufuk barat terlihat indah. Senja yang basah. Bumi baru saja
disirami oleh langit. Tanah yang berdebu kini telah hilang. Daun-daun baru
tumbuh serentak menghijaukan pohon-pohon yang telah lama menantikan karunia
sang ilahi. Sebulan sudah berlalu. Ia kini sudah pasrah dengan keadaannya. Saudara,
kerabat, sahabat, dan sanak keluarganya datang silih berganti menjenguknya.
Ucapan maaf selalu ia lontarkan dari bibir kering yang terlihat kaku dan pecah-pecah
itu kepada siapa saja yang datang menemuinya. Ia tidak ingin meninggalkan
kesalahan-kesalahan yang pernah ia lakukan selama ini. Ia ingin pulang dalam
keadaan bersih. Bersih dari dosa-dosa.
Burung-burung kembali ke sarangnya.
Penghujung langit barat merah jingga. Matahari perlahan tenggelam di balik
gunung. Adzan magrib berkumandang. Empat puluh tiga hari berlalu. Selama itu ia
mendengarkan adzan di perbaringan. Suara adzan yang begitu menyentuh. Memanggil
insan-insan untuk segera berkumpul di rumah Allah. Berlomba-lomba mencari ridho
ilahi. Angin senja menerpa pepohonan. Menimbulkan suara gesekan-gesekan
dedaunan. Membawa hawa sejuk senja itu. Sesosok cahaya putih terang terbang di
udara. Terbang bak kilat. Aromanya begitu semerbak. Memikat apapun yang
dilewatinya. Sosok yang begitu indah. Perlahan menukik ke sebuah gubuk kecil.
Masuk melalui celah kecil jendela kayu. Mengagetkan seorang insan yang tengah
berbaring lemah. Jantungnya mendadak berdetak hebat bukan main. Sekujur tubuh
rentanya bergetar dahsyat. Namun, sosok cahaya putih itu menghiburnya dengan
sebuah senyuman. Senyuman yang begitu menawan. Seumur hidup baru kali ini ia
melihat senyum yang begitu indahnya.
“Wahai hamba Allah yang sabar. Berbahagialah di hari kepulanganmu
ini. Seluruh penjuru langit tengah menanti kedatanganmu. Janganlah kau bersedih
hati meninggalkan keluargamu, karena mereka akan selalu dalam lindungan Allah.
Ini adalah buah kesabaranmu selama ini. Maka bergembiralah engkau”, seru sosok
putih itu.
Setelah mendengar perkataan sosok
cahaya itu, hatinya menjadi tenang. Ia ingin segera bertemu dengan penciptanya.
Maka mendekatlah sosok putih nan bercahaya itu di hadapannya. Tiba-tiba ia
merasakan sakit yang begitu sangat pedih di kedua kakinya, kemudian menjulur ke
perut dan sampai di tenggorokkannya.
“Laaaiilaaahaillallaaaahhh….
Muhammadurrosulullaaaahhhh…” Ia menemukan dirinya tengah bersama sosok putih
itu di sampingnya. Ia melihat ke bawah, seorang manusia tua nan renta tengah
terbaring tak bernyawa di lasah tempat tidurnya. Ia sangat bersedih
melihat jasad itu. Seluruh keluarganya mengelilingi jasad itu, terlihat raut
wajah mereka bersedih pula berlinangan air mata. Namun, ia melihat ada senyum
yang merekah di bibir jasadnya itu sebelum di tutup kain. Selesai sudah
perjalanannya di dunia. Kini, sang malaikat akan membawanya ke langit, menuju Sang
Pencipta. Cahaya putih itu hilang sekejap menuju langit membawa jiwa insan
sholeh bertemu dengan sang Khalik yang merindukannya.
***
Tujuh hari setelah kepulangannya,
tanah kuburan yang basah di terpa angin pagi. Menjatuhkan bunga-bunga kamboja
berwarna putih dan terjatuh di atasnya. Harum semerbak baunya. Harum aroma
nikmat kubur yang kini ia dapatkan. Semoga kau tenang di alam sana wahai insan
yang dirindukan Ilahi dan mendapatkan tempat yang terbaik di sisi-Nya. Aamiin.
*Penulis adalah
Mahasiswa Bastrindo’11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar