Naskah Lontar |
Apa yang terlintas dipikiran ketika
mendengar kata naskah lontar? Mungkin ingatan akan dilemparkan pada sederetan
huruf kawi yang pernah dipelajari di
bangku sekolah dasar dulu. Memang tidak salah jika beranggapan demikian, namun
tidak sesederhana itu. Dalam naskah lontar tersimpan begitu
banyak hal yang tidak akan terungkap tanpa adanya pemahaman dan pengkajian
secara mendalam.
Kata lontar sendiri
berasal dari bahasa Jawa yaitu rountal.
Kata roun berarti daun dan tal berarti pohon Siwalan, yaitu sejenis pohon palem.
Bila di Jawa disebut dengan rountal, maka di Lombok sendiri
disebut dengan lontar. Pemilihan kata
lontar sendiri bukan dengan
sembarangan memilih kata tanpa makna. Secara filosofis, dikatakan lontar karena ada unsur melontar. Maka
muncul pertanyaan, apa kaitannya antara melontar dengan naskah lontar? Jawabannya
begitu sederhana, yaitu
isi dari naskah tersebut ingin
dilontarkan atau disampaikan kepada
audiens. Lontar yang berlembar-lembar
kemudian dijepit atau ditakep dengan
kayu. Makna dari proses penakepan ini, yaitu setelah isi ditangkap
kemudian isi lontar yang berlembar-lembar itu
dipahami, dihayati, dan
disimpan dalam hati dan pikiran. Ini juga diistilahkan dengan duntal yang berarti pemasukan makna
dalam diri kita. Selain itu,
dalam takepan naskah lontar terdapat
benang yang digunakan untuk mengikat naskah lontar sehingga menjadi sebuah
takepan. Benang yang digunakan untuk mengikat takepan ini dipilih benang yang halus. Secara filosofis, benang
halus ini bermakna sifat pengikat hubungan batin yang halus yang diisi oleh
sifat Allah yaitu al-rahman dan al-rahim. selain itu, benang yang halus juga sebagai simbolisasi
tali silaturrahim yang halus antara orang yang satu dengan lainnya.
Sejarah pasti
mengenai kedatangan atau keberadaan naskah lontar di Lombok memang masih
abu-abu. Berbeda sumber, maka berbeda pula versi yang didapat. Keberadaan
naskah lontar di tanah Sasak tidak lepas dari pengaruh Jawa yang pernah
berkuasa. Orang-orang dari Jawa datang ke Lombok bukan membawa naskah lontar
yang sudah jadi dalam bentuk takepan-takepan,
melainkan datang membawa tradisi menulis. Awalnya orang-orang ada yang menulis
di batu, tembaga, dan lain-lain. Namun, sejak tradisi menulis di daun tar
datang pada abad ke-16, orang-orang sudah memiliki media yang aman dalam
menyimpan tulisannya. Tradisi tulis ini dibawa oleh Sunan Prapen dan digunakan
untuk memperkenalkan dan menyebarkan agama Islam.
Aksara yang
digunakan dalam menulis naskah lontar disebut jejawan Sasak. Kata jejawan berarti cara Jawa atau juga jejauqan eleq Jawa yang
berarti barang bawaan dari Jawa. Bahkan dari nama aksaranya saja unsur
Jawa sudah nampak kelat dengan tradisi ini. Meskipun tradisi ini datang dari
tanah Jawa, tapi tidak sepenuhnya sama dengan Jawa. Misalnya saja jumlah huruf
atau aksara kawi di Jawa dan
Lombok. Jawa memiliki aksara sejumlah dua puluh sedang Lombok dan Bali
memiliki aksara sejumlah delapan belas, yang terdiri atas ha, na, ca ra,
ka, da, ta, sa, wa, la, ma, ga, ba, nga, pa, ja, ya, nya. Berikut bentuk-bentuk aksara jejawan Sasak.
Mengapa bisa demikian?
Menurut penuturan Drs.
Aswandikari S., M.Hum yang juga merupakan dosen di FKIP bahwa ada dua versi jawaban mengenai sebab perbedaan jumlah
aksara di Jawa dan Lombok, yaitu menurut mitos dan ilmiah. Mitos
beranggapan bahwa ketika orang Jawa datang untuk membawa tradisi ini, dua
aksara tenggelam di selat Bali. Tetapi menurut pandangan ilmiah, hal ini
terjadi karena dalam kajian dialektologi, bahwa Bali dan Lombok dalam pelafalan
aksara tidak memiliki bunyi desis, sehingga secara pragmatis tidak tereksplisit
dalam penulisan kata. Kedua kata yang hilang itu adalah th dan dh.
Jenis-jenis naskah lontar yang terdapat
di Lombok meliputi, pospekarme, yaitu
kitab yang berisi aturan dan tata krama yang menjadi pegangan masyarakat untuk
mengambil keputusan. Jatisware,
yaitu kitab yang berisi nilai-nilai ketuhanan. Selain itu, terdapat juga naskah
lontar Bangbari, Indarjaya, Rengganis, tapaladam,
markum dan Labangkare. Naskah
lontar dibacakan tidak dengan sembarangan, tertapi dengan cara dilagukan atau
disebut dengan tembang. Jenis tembang
yang biasa digunakan yaitu sinom,
asmarandana, pangkur, dandang, dan kumambang. Naskah lontar biasanya berisikan tentang perwayangan,
ajaran sufisme,
cerita rakyat, pengobatatan, penanggalan, pengetahuan, sejarah, filsafat, silsilah, agama, bahkan
doa. Jadi, tidak mengherankan bila naskah lontar disebut sebagai gudang ilmu
pengetahuan.
Lontar yang bisa digunakan untuk
menulis biasanya dipilih daun yang sudah tua, tetapi belum bisa langsung
ditulisi. Sebelum dilakukan proses penulisan terlebih dahulu, lontar mengalami
tahap pembersihan yaitu membersihkan lontar dari debu dan kotoran untuk
kemudian direbus selama beberapa jam. Kemudian lontar dikeringkan dengan
diangin-anginkan. Setelah kering pasti ada bagian yang kurang lurus, maka
lontar tersebut dipres agar mendapat bentuk yang lurus. Barulah lontar sudah
bisa ditulisi dengan menggunakan alat yang disebut pemantik atau pisau kecil. Ada juga yang menyebutnya dengan maje atau pemaje.
“Sebenarnya tidak ada ritual khusus
yang harus dilakukan ketika membuka atau akan membaca naskah lontar. Tapi di
kampung-kampung kalau mau membuka harus dengan ritual. Jadi sebenarnya ritual
itu hanya untuk menghormati pemilik naskah itu.” Papar Lalu Napsiah selaku staf
bimbingan dan koleksi Musium NTB.
Berbeda dengan penuturan Amaq Aji yang ditemui di rumahnya di dusun mapak (14/07). Ia menjelaskan
tentang tata cara atau ritual ketika akan membuka naskah lontar yang akan
dibaca. Ada beberapa tahapan ritual pembacaan naskah lontar, yaitu sebelum,
ketika membaca, dan setelah membaca. Pada prapembacaan naskah perlu persiapkan
air kum-kuman, yaitu air yang diletakkan
dalam wadah tembaga atau kuningan yang di dalamnya juga terdapat bunga rampe. Juga disiapkan andang-andang atau yang disebut dengan dedungki atau sok-sokan yang di dalamnya berisi: beras, kapur sirih, pinang, dan
benang setukel, serta sejumlah uang.
Selain itu, tempat pembacaan naskah pun tidak jarang dihias dengan lelingsir lelangit yang terbuat dari
kain sisa yang diikatkan di tiang-tiang
berugaq. Kemudian air kum-kuman yang sudah disiapkan di
letakkan di depan pemaos atau pembaca
naskah. Fungsi dari air kum-kuman yaitu
sebagai penerang ketika ada huruf yang tidak terbaca oleh pemaos. Caranya dengan mengusapkan bunga yang berada di dalam air
dan dioleskan ke aksara yang tidak terbaca. Setelah pembacaan naskah lontar
selesai, maka penamat yang sudah disiapkan sebelumnya disajikan. Penamat biasanya berisi aneka jajanan
khas Sasak misalnya renggi, ketan
yang dibungkus dengan daun dan buah-buahan yang akan dimakan bersama setelah
acara selesai. Mitosnya, apabila semua ritual dan sesaji tidak dipenuhi maka
akan terjadi malapetaka bagi orang yang membacanya. Misalnya pembacaan naskah
dalam acara pernikahan, maka pasangan tersebut bisa saja bercerai bahkan bisa
berujung pada kematian.
Kepala Dusun Sade, mengatakan
berbeda acara maka berbeda pula naskah lontar yang dibaca. Seperti pada tradisi
hitanan mosan atau yang dikenal
dengan hitanan masal biasanya dibacakan naskah jatiswara dan pospekarme.
Kedua naskah ini juga dibacakan saat acara roah
berugaq, ngayu-ayu, pangon bale, roah pare, dan nyongkolan. Hal yang unik
terjadi ketika ditengah-tengah pembacaan naskah lontar dilakukan, pemaos biasanya pada kata tertentu yang
berarti api atau mengandung unsur bahaya, maka kata pada naskah lontar itu
dipertemukan dengan api yang dicelupkan ke dalam air. Tujuannya supaya pada
kata yang mengandung unsur bahaya tersebut tidak terjadi.
Dalam naskah
lontar memang ada unsur magis, sebab ada beberapa naskah yang tujuannya
bersifat magis. Misalnya saja untuk pengobatan, masyarakat kita mempercayai
bahwa anak yang mengalami keterlambatan dalam berbicara dapat diobati dengan
naskah lontar. Yaitu, dengan membacakan naskah Indarjaya. Digunakan naskah
Indarjaya bukan tanpa alasan. Dalam naskah itu terdapat penggalan cerita
seorang tokoh putri yang bisu yang bisa diajak bicara oleh seorang pemuda.
Biasanya setelah naskah
itu dibacakan untuk si anak, si anak bisa bicara. Memang tidak masuk akal, tapi
seperti itulah kepercayaan yang berkembang. Zaman dulu orang membaca naskah lontar dengan tujuan untuk meminta
hujan, dan memang setelah pembacaan naskah lontar tertentu beberapa saat
kemudian hujan akan turun. Hal magis lainnya juga terasa pada acara bepaosan di dusun Sade. Di akhir
pembacaan biasanya diadakan nyeput,
yaitu dengan salah satu penonton memberi uang selawat kemudian memilih sendiri
lembaran lontar yang akan dibacakan oleh pemaos untuk kemudian diartikan dan
dijadikan sebagai ramalan untuk nasib ke depannya di penjeput. Nyeput biasanya dilakukan sebelum waktu fajar tiba.
Menurut kepercayaan masyarakat memang apa yang diramalakan benar terjadi.
Namun, semuanya tergantung keyakinan sendiri.
Melihat kondisi pernaskahan Lombok
saat ini yang kurang diminati bahkan kurang dikenal oleh masyarakat pemilik
warisan itu sendiri, maka Musium NTB tergerak untuk memasyarakatkan naskah
lontar dengan setiap bulan purnama mengadakan acara pepaosan. Bahkan H.Lalu Agus Faturrahman mempersilakan siapa saja
yang ingin belajar membaca dan menulis aksara jejawan bisa berkunjung ke musium.
“Hendaknya pemerintah membentuk
sektorium naskah dan membina kelompok-kelompok penyalinan naskah.” Harapan yang
dilontarkan Drs. Aswandikari S., M.Hum ”Diharapkan di lingkungan akademik,
khususnya mahasiswa dan akademik FKIP melakukan kajian tentang naskah lontar
mengingat sastrawan di Lombok kaya dengan naskah lama.” Lanjutnya. (Ata, Hedi, Rini, Ameng)
ass. ampure tg gede ada takepah yang sudah g dipake tg mu bli satu. niki WA tg 085338589287
BalasHapusAmpure. Berapa Pelinggih berani beli mamiq, saq asli nike
BalasHapusampure untuk admin, saya yoga mau tanya tentang naskah lontar/serat monyeh, apa bisa tyang dokumentasikan?
Hapus