(Ilustrasi: Pena Kampus)
Menjelang Idul Adha, kita dapat menyaksikan beragam suasana yang terasa familiar: pinggir jalanan dipenuhi hewan kurban, masjid sibuk mengatur panitia dan tak kalah ramainya media sosial seakan berlomba dengan unggahan bertema keikhlasan dan pengorbanan. Setiap tahunnya, ritual yang sama selalu hadir dengan semangat berbagi dan gema takbir.
Namun, di tengah perayaan semarak itu, ada satu pertanyaan yang patut diajukan: Apakah kita masih menyadari dan memahami esensi dari kurban, atau hanya mengulang seremonialnya saja?
Idul Adha bermula dari kisah pengorbanan Nabi Ibrahim 'alaihis salam, yang diuji untuk menyembelih putranya, Ismail, sebagai bentuk ketaatan mutlak kepada Allah. Kisah ini diabadikan dalam Surah As-Saffat ayat 102:
Maka ketika anak itu sampai (pada umur) mampu berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: 'Wahai anakku! Sebenarnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka berpikirlah apa pendapatmu!' Ismail menjawab: 'Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadanya; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. As-Saffat : 102)
Ketaatan yang tulus ini kemudian direpresentasikan menjadi syariat kurban, bukan untuk menyembelih hewan semata, namun sebagai simbol kesiapan seseorang untuk melepaskan apa yang paling dicintai demi meraih keridha'an Tuhan.
Tetapi, makna ini kadang terlupakan. Di era yang serba cepat dan penuh sorotan, kurban sering kali menjadi simbol status: siapa yang menyembelih sapi, siapa yang menyembelih kambing, siapa yang berkurban dengan cara patungan, lalu siapa yang terlebih dahulu mengunggah. Bentuk keikhlasan dan ketundukan perlahan bergeser menjadi ajang performatif, baik secara sosial maupun digital.
Padahal dalam surat Al-Hajj ayat 37, Allah secara tegas menegaskan bahwa:
"Daging (hewan kurban) dan darahnya sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi semua yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu. Demi-kianlah Dia menundukkannya untuk-mu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik." (QS. Al-Hajj : 37)
Ayat ini menyiratkan bahwa inti dari berkurban bukanlah pada bentuk fisiknya, melainkan pada niat dan ketakwaan yang menyertainya. Maka dari itu Allah memberikan jalan kepada manusia untuk menunjukkan keikhlasan dan ketundukannya melalui perantara kurban.
Kurban Yang Tak Terlihat
Dunia yang kini dipenuhi oleh kebutuhan akan validasi dan pengakuan, bentuk pengorbanan terbesar bukan lagi soal harta dan hewan. Tetapi soal ego dan gengsi yang juga berhubungan dan melekat dengan hal-hal bersifat duniawi yang sebenarnya memberatkan hati dan memenuhi pikiran.
Mengorbankan ego dapat dimaknai meminta maaf meskipun merasa tidak bersalah sepenuhnya, tidak gengsi mengakui kelemahan ketika selalu terlihat kuat, melepaskan hubungan yang tidak sehat meski sudah nyaman, juga menyisihkan waktu dan tenaga untuk orang lain tanpa berharap balasan.
Hal-hal tersebut adalah bentuk-bentuk kurban yang tak terlihat, justru jauh lebih berat, karena ia dapat membentuk kejujuran terhadap diri sendiri, dan keberanian untuk berubah.
Rasulullah ï·º pernah bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun sebesar biji sawi.” (HR.Muslim, no.91)
Sombong produk menjadi utama dari ego, ia adalah penyakit hati yang diam-diam bisa merusak makna ibadah, bahkan di hari-hari besar seperti Idul Adha. Maka kurban ego adalah ikhtiar yang harus diperjuangkan sepanjang zaman.
Menemukan Makna Kurban di Era Kini
Generasi muda hari ini hidup dalam realitas yang kompleks. Di satu sisi, mereka tumbuh dalam dunia serba cepat dan instan. Namun di sisi lain, mereka juga membawa potensi besar untuk menghidupkan kembali makna spiritual dengan cara yang relevan.
Kurban tidak harus dimaknai secara literal saja. Ia bisa menjadi pengorbanan dalam bentuk keberpihakan terhadap keadilan, menyuarakan yang benar meskipun risiko tidak populer, atau memilih tindakan kecil yang berkelanjutan sebagai bentuk tanggung jawab terhadap lingkungan.
Kurban bisa berbentuk waktu untuk mendengar, tenaga untuk membantu, perhatian untuk memahami, keberanian untuk melepaskan, dan yang perlu ditekankan adalah makna kurban harus terus bergerak, menumbuhkan, dan menyentuh aspek-aspek terdalam pada kehidupan manusia. Bukan sekedar ritual, tapi jalan menuju ketulusan.
Idul Adha bisa menjadi momentum refleksi bersama. Tidak hanya sebatas menyemembelih hewan, namun juga menyembelih hal-hal yang menghalangi kita untuk menjadi manusia yang lebih jujur, lebih rendah hati, dan lebih dekat pada Allah.
Maka dari itu penting untuk bertanya pada diri kita sendiri: Apa yang selama ini terlalu erat digenggam? Apa yang jika dibiarkan bisa membuat kita lebih lapang dan sabar?
Karena sejatinya, kurban yang paling besar bukan yang paling mahal, melainkan yang paling sulit untuk dilepaskan. (Alin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar