Melawan Stigma Buruk Tentang Rokok: Kemewahan Terakhir Kaum Proletar - LPM Pena Kampus

Goresan Penamu Runtuhkan Tirani

Breaking

Senin, 01 Juni 2020

Melawan Stigma Buruk Tentang Rokok: Kemewahan Terakhir Kaum Proletar


Oleh: Lalu Muhamad Helmi Akbar
(Anggota Pena Kampus)

33 tahun silam, tepatnya tahun 1987, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencetuskan traktat tentang "Hari Anti Tembakau Sedunia" yang dirayakan setiap 31 Mei. Kampanye global ini bertujuan untuk menarik perhatian dunia mengenai menyebarluasnya kebiasaan merokok dan dampak buruknya terhadap kesehatan. Diperkirakan kebiasaan merokok setiap tahunnya menyebabkan kematian sebanyak 5,4 juta jiwa. Dalam satu dasawarsa terakhir, gerakan ini menuai reaksi baik berupa dukungan dari pemerintah, aktivis kesehatan, mahasiswa, dan organisasi kesehatan masyarakat. 

Menukil dari katadata.co.id laporan Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) berjudul The Tobacco Control Atlas, Asean Region menunjukkan Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok terbanyak di ASEAN, yakni 65,19 juta orang. Angka tersebut setara 34% dari total penduduk Indonesia pada 2016. Studi yang dilakukan Sekolah Kajian Stratejik dan Global Pusat Kajian Jaminan Nasional Universitas Indonesia menyebut sebanyak 33,03 persen pemuda usia 18-24 tahun masih menjadi perokok aktif, disusul oleh usia 39 tahun sebanyak 41,75 persen. Sementara perokok paling aktif berada pada usia 25-38 tahun dengan persentase 44,75 persen. 

Propaganda anti-rokok ini terus bergema lewat banyak hal. Pada 2015 silam, mahasiswa dari Fakultas Kedokteran, Kedokteran Gigi, Farmasi, dan Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM) menyelenggarakan aksi tukar rokok dengan susu untuk merayakan Hari Anti Tembakau Internasional 31 Mei dan Hari Susu Nusantara yang diperingati pada 1 Juni. Selain aksi nyata, gerakan masif anti-rokok di Indonesia juga ditayangkan sebagai iklan layanan masyarakat di televisi nasional dan menjamur di berbagai platform media digital. 

Upaya semacam ini makin mengukuhkan stigma buruk tentang rokok di masyarakat. Implikasinya, pemahaman dan doktrin buruk tentang rokok makin tertanam dalam benak masyarakat. Akhirnya, rokok muncul menjadi kambing hitam setiap persoalan yang timbul. 

Meningkatnya angka kemiskinan, menurunnya tingkat kesehatan, menjamurnya kriminalitas dan dan memburuknya kualitas udara menjadi beberapa dari sekian banyak narasi yang disuarakan eksponen anti-rokok. Akan tetapi, yang paling termasyhur tampaknya narasi "Merokok membunuhmu". Menurut saya, menjadikan kematian sebagai alat propaganda merupakan hal yang tidak wajar lagi. Mengapa? Karena kematian adalah hal yang pasti, dan penyebab kematian bukan hanya rokok saja. Jika kamu masih bernapas, kamu selalu berpotensi untuk membunuh dan dibunuh orang. Kenapa selalu kematian yang dijadikan serangan untuk menakut - nakuti orang? 

Kalau kita tilik lebih dalam, alasan - alasan di atas sangat dapat dipatahkan. Jika dibandingkan, polusi udara yang disebabkan asap knalpot motor menyumbangkan bahaya yang lebih besar sekitar 60-70%, 10-15% dari asap industri, dan sisanya dari pembakaran sampah rumah tangga dan kebakaran hutan. Selain itu, mengonsumsi makanan cepat saji, serta produk nabati maupun hewani yang dipaksa tumbuh puluhan kali lebih cepat dari biasanya untuk mengejar target produksi juga membahayakan. Bagaimana tidak? Di dalam makanan yang kita lahap dengan dan penuh kesadaran mengandung zat - zat berbahaya yang berpotensi memperburuk kualitas kesehatan. Tidakkah kita menyadari hal - hal di atas? 

Selain itu, jika kita perinci lagi, stigma - stigma yang kemudian berusaha dibangun untuk memarginalkan rokok dan penikmatnya merupakan persoalan mata rantai kejahatan sosial yang terlalu sempit jika hanya dialamatkan kepada surga bernama "rokok" sebagai penyebabnya. Diperlukan upaya yang lebih jeli guna memberikan vonis negatif terhadap rokok. Sesat pikir ini menjadi urgensi yang harus segera dipetakan duduk perkaranya. 
 
Relevansi Rokok dengan Persoalan Ekonomi

Di Indonesia, Harga Jual Eceran (HJE) rokok naik 35 persen di tahun 2020. Mereka (kelompok antirokok) selalu beranggapan bahwa rokok adalah sumber dari segala penyakit. Jadi, anggaran kesehatan negara ini bengkak untuk pengobatan orang-orang yang sakit karenanya, maka, harga produk ini harus mahal semahal-mahalnya untuk menekan daya beli masyarakat. Kemudian jumlah perokok berkurang dan perlahan punah, hingga akhirnya tak ada rakyat yang sakit karena produk tembakau. APBN terselamatkan. Negara sejahtera dan menjadi adidaya. Seperti itu.

Tapi tunggu dulu, kita harus lebih jeli menyikapi asumsi semacam ini. Dari perspektif ekonomi, sekerdil itukah peran rokok? Bukankah ini hanya bentuk pandangan parsial terhadap rokok sebagai komoditi industri pendukung yang hanya berdampak terhadap defisit ekonomi? Sebentar, mari kita lihat dengan kaca mata industri dan surplus ekonomi. Tapi perlu diingat, saya bukanlah ahli ekonomi. Mari baca perlahan.

Di Indonesia, industri rokok berhasil memberikan lapangan pekerjaan bagi enam juta orang penduduknya. Cukai rokok juga menjadi salah satu pendapatan terbesar bagi pemerintah Indonesia, yaitu lebih dari 100 Triliun per tahun. Sumbangsih cukai rokok bagi kas negara acap kali menjadi andalan pemerintah. Terbukti dari naiknya target penerimaan cukai dalam APBN 2020 sebesar Rp 180,5 triliun dibanding angka yang dipatok pada APBN 2019, sekitar Rp 165,5 triliun. Tak dipungkiri, sebagian kalangan memprediksi target tersebut tidak akan tercapai.

Bahkan, di saat ekosistem pasar mengalami kelesuan akibat pandemi, rokok jadi semacam "juru selamat" dalam menopang ekonomi di tengah pandemi. Berdasar data yang diperoleh, pemasukan negara mencapai 25,08 persen pertumbuhannya berdasar realisasi penerimaan negara dari bea dan cukai, tercatat realisasi keseluruhan hingga akhir April mencapai Rp 57,66 triliun. Angka tersebut sebagian besar disumbang dari cukai hasil tembakau. Dalam arti lain, industri rokok dalam negeri turut andil dalam menjaga negeri ini agar tidak jatuh ke dalam jurang krisis akibat pandemi. Dalam arti paling jauh, dari optik ekonomi, rokok membantu pemerintah dalam menekan akibat terburuk pandemi, termasuk membantu setiap jiwa dari kelompok anti-rokok yang terdampak pandemi. Meskipun di saat yang sama, langkah yang dilakukan pemerintah belum dapat dikatakan mangkus dalam menghadapi pandemi, tapi ini persoalan lain.

Lepas dari angka - angka dan penjelasan normatif di atas, tidak pernah kah kita menalar ke arah yang lebih mendasar tentang rokok. Dalam arti lain, bagaimanakah rokok bisa hadir di depan kita dengan setiap kenikmatan dalam nyala dan rasanya yang kemudian menghasilkan surplus ekonomi?  Jawaban sederhananya, ia hadir berkat tangan telaten petani. Petani tembakau. 

Di negeri ini, jutaan orang menggantungkan hidupnya di sana, menjadi petani tembakau. Darinya juga, ada tunas - tunas bangsa yang menaruh harapan besar pada setiap helai daun tembakau. Ada impian para petani dalam karya Tuhan bernama "tembakau" ini. Ada keluarga petani yang butuh dihidupi dan tercukupi sandang, pangan, dan papannya. Ada masa depan yang digantungkan dalam setiap ikat tembakau dalam ruangan hotel teduh yang terbuat dari bambu sebelum akhirnya masuk oven dan tersentuh industrialisasi. Tembakau menjadi nyawa kehidupan bagi petani tembakau. Dari tangan telaten jutaan petani tembakaulah, semuanya bermula.

Bagi perokok, ini bisa jadi alasan paling manusiawi dalam menjawab pertanyaan "Mengapa kamu merokok?" Jika mendapati pertanyaan semacam ini, kamu bisa bertanya balik, "Rokok ini sebenarnya berasal darimana?" Tentu mereka akan menjawab, "Dari tembakau". Setelahnya, kamu bisa menjelaskan. Rokok ini berasal dari tembakau. Tembakau dapat hidup karena adanya petani, petani tembakau. Layaknya profesi lain, petani tembakau membawa beban tersendiri, ada keluarga yang mesti dihidupi. Artinya, dalam setiap rokok yang saya nikmati, ada keluarga petani yang berhasil dihidupi. Begitu mata rantainya. 

Bayangkan, seandainya kampanye anti-rokok berhasil mencapai visi-misinya, mungkin jutaan petani tembakau akan benar-benar mati. Bukan lagi kematian pribadi, melainkan kematian sosial yang akan terjadi. Di mana terjadi kelaparan di satu desa, anak-anak yang putus sekolah karena mata pencarian keluarga ditutup sebab segelintir orang yang menyuarakan kematian karena rokok. Akan tetapi, petani tembakau hanyalah satu dari segelintir profesi yang menggantungkan harapannya pada rokok. Setelah terjamah industrialisasi, kamu tentu dapat membayangkan profesi - profesi masyarakat apa saja yang meng-amin-kan harapannya pada benda bernama rokok. Dalam hemat saya, kampanye anti-rokok agak cacat secara medis dan timpang dari segi kemanusiaan. Sepertinya, propaganda anti-rokok harus memikirkan ini. Berpikir kepentingan populis, jangan hanya pragmatis!

Rokok adalah kemewahan terakhir kaum proletar. Bagi sekelompok orang -yang tentunya jumlahnya tidak sedikit- menganggap rokok adalah kebutuhan primer rasa tersier. "Mewah" yang dimaksud di sini tentu tidak sama dengan kemewahan kaum borjuis. Kemewahan yang serba mahal dan hanya untuk kelas atas itu biadab namanya. Rokok jadi saluran rekreasi sederhana bagi kalangan akar rumput di negeri ini. 

Untuk masyarakat kelas ekonomi bawah, rokok menjadi satu-satunya kemewahan yang dapat mereka nikmati. Di tengah kesulitan yang membelit mereka, satu batang rokok mungkin menjadi hiburan sederhana yang masih dapat mereka jangkau tiap harinya. Tak jarang saya mendapatkan mimik muka yang teduh dan rileks ketika melihat para proletar menghisap rokoknya setelah lelah bekerja. Kemewahan ini, tidak boleh direduksi dengan cara apa pun.

Tembakau dan rokok telah hadir dalam banyak hal. Ia hadir dalam penat bekerja. Ia hadir dalam beberapa lamunan tentang kehidupan yang kadang mesti ditertawakan. Ia hadir dalam obrolan - obrolan yang menghangatkan persaudaraan. Ia juga hadir dalam kontemplasi ingatan, tak terkecuali ingatan tentang mantan. 

Menyadur tulisan Sabda Armandio bertajuk Jelajah Tembakau Nusantara: Tembakau Lombok bahwa "Kau boleh saja tidak merokok, tetapi cobalah untuk mengerti bahwa kau hidup di suatu bangsa di mana tembakau dan kretek sudah menempati tangkai sendiri dalam pohon keluarganya. Coba bayangkan apa yang akan terjadi bila tangkai itu sengaja dipatahkan?"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar