DOPAMIN DARI DELIRIUM - LPM Pena Kampus

Goresan Penamu Runtuhkan Tirani

Breaking

Rabu, 27 Mei 2020

DOPAMIN DARI DELIRIUM


Oleh: Arga Purnama
(Anggota Pena Kampus) 

Senja kala itu menghapus biru langit, mentari mulai melangkah pergi meninggalkan terang dan menyisakan kepulan jingga di kornea mata, lalu dari ambang jendela terlihat sesosok perempuan tengah duduk termangu seraya mencorat-coret kain kanvas di depannya. Ia adalah Helena, perempuan periang, penikmat terang cantik nan manja, tapi itu adalah sifat yang pernah ia miliki sebelum kejadian di hari yang akan ia ingat selama-lamanya ketika ia kehilangan kekasihnya.

Kini ia terlihat lebih tenang lantaran ia menganggap senang sudah enggan mengunjunginya sejak hari itu, “berapa puluh tahun lagi aku harus menunggu? Dasar laki-laki brengsek! Bukankah kau pria yang manis dan romantis? Sayang sekali wajah manismu itu adalah campuran dari ironi dan tragedi,” ujar Helena sambil menabuh kanvasnya dengan kuas yang sedu.

Tuk tuk tuk suara ketukan pintu dengan lembut terdengar di telinganya, “sayang, apa kau sudah selesai?” Suara berat nan serak dari seorang pria dari balik pintu. “Sebentar lagi, aku belum memakai celana dalam!” sahut Helena yang kemudian dibalas, “aku membawakanmu kopi panas dan beberapa helai roti panggang selai kacang kesukaanmu.” Helena tertegun beberapa detik kemudian dengan lirih ia membalas, “sayang... ini sudah petang, apakah kau membawa lilin bersamamu?”

“Astaga aku lupa, aku akan kembali mengambil lilin yang baru, kukira aku menaruhnya di dekat pot bunga kemarin.”

“Iya ambillah, jangan terburu-buru ini gelap!”

Helena terperanjat dari kursinya kemudian mondar-mandir sambil menggigit ujung kuku telunjuknya yang terlihat kisut bekas gigitan-gigitan sebelumnya, “bagaimana ini? Dia membawa makanan, apa yang harus aku lakukan?!” ujarnya dengan nada takut, wajar saja Helena mencemaskan makanan itu, karena biasanya bukan roti ataupun gandum yang diberinya melainkan alat perkakas berupa paku, palu, beserta kawan-kawannya, dan tak lama kemudian cekrek krrrrrrrreek suara daun pintu yang di dorong ke dalam membuat Helena kaget dan gugup. Artha, seseorang yang dicintai Helena, bertubuh gempal dengan bulu-bulu mengitari daerah bibirnya, anehnya Helena rela melakukan apa saja demi orang ini tak terkecuali menyakiti dirinya sendiri. Artha masuk menaruh makanan di meja, ya, untung saja itu benar-benar makanan, Artha kemudian meletakkan lilin di ambang jendela namun desakan angin terlampau kuat hingga menembus celah-celah jendela, ia lindungi dengan kelima jari kirinya lalu menyalakan api membakar lilin itu, lilinnya menyala dengan asap yang berpilin seperti benang halus yang sebentar kemudian pupus di udara. Sambil menyalakan lilin-lilin itu Artha mulai mengeluarkan unek-uneknya,

“sulit sekali bertemu denganmu padahal kita di atap yang sama, kau mandi lama sekali, kemarin malam kau sedang mandi, pagi hari kau masih mandi, siang juga masih mandi juga. Kau penyuka mandi rupanya, sekarang magrib memaksaku menghentikanmu mandi dan membawakan ini untukmu barangkali lambungmu sakit lantaran kosong.”

“Tergantung suasana hati,” sahut Helena

“Mandi bagiku adalah pelampiasan perasaan ketika raga berkomunikasi dengan alam semesta, ketika aku senang, aku akan mandi dengan riang, membasahi badanku perlahan dari ujung kaki sampai ujung rambut takkan kubiarkan sehelai pun luput dari basah dan tentu saja itu akan lama, dan ketika aku tengah sedih aku menghabiskan waktu untuk bercerita kepada air yang membasahi badanku tentang segala kesedihan yang perlahan mulai kuterima dan kunikmati, siapa tahu ia memberi solusi dan aku senang menunggu solusinya dan itu akan lebih lama lagi,” lanjutnya.

Artha kemudian mengalihkan pembicaraan, “minumlah sebelum dingin.” Seraya Helena menyeruput kopi, Artha melanjutkan, “bibirmu terlihat manis, persis pertama kali aku menempelkan bibirku kala itu, seperti biasa kau mengalahkan pahitnya kopi itu.”

“Gombal!” jawab Helena

“Aku tidak gombal, lihatlah matahari saja iri dengan kilau bibirmu hingga ia lari terbirit birit meninggalkan gelap untuk kita, apalagi kedua matamu menenggelamkan rasa sejuk itu.”

Helena berjalan menuju ranjang kemudian duduk di samping bantal guling,

 “kau tak membawa perkakas dan peralatanmu, kau tak seperti biasanya, apa tubuhku tidak menggiurkan lagi? Kulitku juga tidak terlalu keriput untuk itu dan kau terlihat aneh dengan warna hitammu, baju hitam, celana hitam, kopi hitam, dan lekuk langit matamu juga menghitam, mengapa kau tak mencoba warna lain? Merah misalnya... seperti sekujur tubuhku sebelum mandi, merah itu membuatku terlihat semakin cantik, sungguh,” ujar Helena.

“Kau selalu cantik sekalipun kau menggunakan gaun abu-abu, saat ini pun aku rindu hingga birahiku ingin memelukmu,” Artha menyahut.

“Gombal!”

Artha mulai memeriksa seisi kamar itu, merapikannya, menaruh barang-barang yang berantakan dan memungut beberapa gelas yang pecah, kemudian ia memandang lukisan Helena seraya menarik napasnya dalam-dalam seraya berkata,

“Aku ingin berdamai denganmu malam ini, besok akan aku belikan kanvas yang baru untukmu, kita bisa lukis kenangan indah di situ bersama-sama.”

“Cih! Jika kau terus membual sebaiknya kau pergi! Keluar dari sini, jika ada permintaanku yang bisa kau kabulkan, pergilah! Aku ingin sendirian,” sahut Helena.

“Ayolah jangan membuatku marah! Aku sedang berpuasa untuk melakukan itu, lebam di sekujur tubuhmu menghentikan niatku, apa ini?” Seraya mengambil lukisan Helena dan merobek-robeknya dengan gabas, “sejak kapan kau mempunyai selera seni yang buruk?!”

“Apa yang kau lakukan!” teriak Helena.

“Bisakah kau mengizinkanku mencintaimu sekali lagi, lupakan itu dan mari memulai hidup baru....”

“Aku tidak ingin terjebak bujuk rayu busukmu lagi!”

“Apa kau tak merindukanku?” ujar Artha dengan lirih, kemudian Helena tertegun dan menjawab dengan hati-hati,

“aku merindukanmu, tapi aku masih ragu dan menebak-nebak apa yang ada di balik sakumu, apakah batu, palu, paku, atau pisau yang sering kau gunakan untuk melukiskan merah di sekujur tubuhku?”

Artha menjawab dengan badan yang gemetar, “kau belum meminum obatmu, minumlah dan makan beberapa roti....”

Helena yang mendengar itu langsung mengarah ke meja dan melahap roti-roti itu dengan rakus, dengan makanan yang menutupi mulutnya, suaranya agak tersendat ketika berkata, “Aku harap kau sudah menaruh racun di sini, aku ingin sesegera mungkin pergi dari neraka ini, aku mau mati! Tak bisakah kau membunuhku saja!”

Kemudian dengan tersentak Artha memeluk Helena seraya berkata, “tenanglah... orang itu tak akan menyakitimu, ada aku di sini dan aku akan melindungimu, kau pasti ketakutan sekarang, tubuhku akan menghangatkanmu dan tak ada yang bisa menyiksamu lagi,” ujarnya rintih.

Mereka berpelukan agak lama. Helena merasa hangat memeluk badan Artha yang gempal, namun ia mulai meneteskan air mata ketika ia tak mendengar suara degupan jantung dari pria yang dipeluknya, sebelum pada akhirnya Artha perlahan memudar dan menghilang. Sambil bersedekap dada, Helena melangkah perlahan dan kembali duduk ke tempat ia melukis.

Ia kembali termangu beberapa saat, kemudian mengambil palet dan kuasnya, dengan gemetar ia celupkan kuas itu ke dalam cairan cat merah yang ia pisah dari palet yang lebih besar lalu mulai menyapukan kuasnya diatas kanvas lukisannya.

“Seharusnya ada sentuhan warna merah di sini akan membuatmu terlihat lebih tampan, brengsek! Belum, ini belum cukup! Nah! Apa kubilang? Hitam tidak akan membuatmu terlihat tampan...”  dalam tangisnya iya tersenyum, “bagaimana bisa kau melindungiku ketika orang itu adalah kau! Biarlah lukisan ini menjadi bukti bahwa aku memang merindukanmu serta sebagai tanda mata atas permintaan maafku, aku menyesal melakukan itu..., sekarang tidurlah dengan merah..., jangan pernah bangkit meski Tuhan menyuruhmu, aku akan terkurung di sini sampai aku menyusulmu, kita lanjutkan kisah kita di neraka yang sebenarnya,” ujar Helena dengan suara lirih dan mata yang nanar mengeluarkan air mendidih.

SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar