(Ilustrasi: Pena Kampus)
Oleh: ZemlyanÃka
Kadang saya suka bertanya-tanya sendiri, kenapa sih keperawanan itu dianggap begitu berlebihan nilainya. Di banyak budaya, dan juga di beberapa tafsir agama yang pernah saya baca, keperawanan dipandang seperti sesuatu yang suci, murni, bahkan semacam lencana kehormatan. Tapi, kenapa kita sampai segitu bangganya? Sejak kapan mengabaikan salah satu pengalaman alami dalam hidup malah jadi sumber kebanggaan?
Alasan yang paling sering saya dengar adalah: kalau sudah tidak perawan, berarti “kotor.” Bayangkan permen yang masih utuh dan belum pernah disentuh. Kelihatannya cantik, bersih, sempurna. Lalu bayangkan teman kita memasukkannya ke mulut, tiba-tiba kita jadi tidak mau memakannya lagi. Sudah bercampur ludah, mungkin ada bakteri. Begitulah cara sebagian orang memandang mereka yang tidak perawan.
Saya paham sih. Siapa juga yang mau sakit, kan? Tapi coba kita balik logikanya. Bagaimana kalau “permen” yang dianggap kotor itu ternyata sudah diuji dan terbukti bersih? Bagaimana kalau permen itu dibilas dengan air murni sampai bentuk dan kebersihannya sama seperti awal? Masih mau menolak? Karena di titik ini, permen itu sama bersihnya seperti pertama kali dibuat.
Faktanya, secara medis, selaput dara bukan indikator keperawanan. WHO pada 2018 bahkan menyatakan bahwa “tes keperawanan” tidak punya dasar ilmiah sama sekali, di mana bentuk selaput dara bisa berbeda-beda sejak lahir, dan bisa berubah karena aktivitas non-seksual seperti berolahraga, bersepeda, atau penggunaan tampon.
Orang yang tidak perawan itu tidak otomatis “kotor.” Mereka bisa sehat, baik secara fisik maupun spiritual. Mereka bisa tes untuk memastikan bebas dari penyakit. Dan yang lebih penting, nilai mereka sebagai manusia tidak hilang hanya karena satu pengalaman hidup.
Perawan adalah konsep yang sering dipakai untuk mengukur nilai moral seseorang, terutama perempuan. Seolah-olah selaput dara bisa menentukan martabat. Padahal, keperawanan itu konsep sosial dan budaya, bukan sains mutlak. Antropolog seperti Hanne Blank dalam bukunya tahun 2007, Virgin: The Untouched History, menjelaskan bahwa ide “keperawanan” sudah dimanipulasi selama ribuan tahun sebagai alat kontrol sosial.
Di banyak budaya, perempuan dibebani tuntutan untuk “menjaga diri” sampai menikah. Bahkan ada keluarga yang merasa aib jika anak perempuannya kehilangan keperawanan sebelum menikah. Tapi laki-laki? Jarang sekali ada yang peduli. Standar ganda ini sudah ada berabad-abad.
Coba lihat saja di acara TV atau film lokal, tokoh perempuan “baik-baik” hampir selalu digambarkan pendiam dan tidak punya riwayat hubungan, sementara tokoh perempuan yang berani secara seksual sering diposisikan sebagai antagonis.
Di salah satu agama, misalnya Islam, Nabi Muhammad ï·º memang mengajarkan pentingnya menjaga diri dari perbuatan zina. Namun, yang sering terjadi, ajaran ini disederhanakan menjadi sekadar “perawan itu baik, tidak perawan itu buruk.” Padahal, pesan moralnya jauh lebih luas: tentang menjaga martabat, saling menghormati, dan tidak merugikan orang lain.
Faktanya, dalam Islam tidak ada larangan menikahi seseorang yang bukan perawan. Al-Qur’an sendiri menyebutkan secara jelas dalam QS. An-Nur ayat 32: “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan…” Ayat ini bersifat umum dan tidak membatasi apakah yang dinikahi harus perawan atau tidak.
Dalam sejarah hidup Nabi ï·º, beliau menikahi beberapa perempuan yang berstatus janda, seperti Khadijah binti Khuwailid, Saudah binti Zam’ah, Ummu Salamah, dan Zainab binti Jahsy. Semua itu dilakukan tanpa pernah beliau menunjukkan sikap merendahkan atau menganggap mereka kurang suci dibanding istri yang perawan, seperti Aisyah r.a.
Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim juga menjelaskan: “Disunnahkan menikahi gadis bagi yang pertama kali menikah, namun tidak ada cela menikahi janda. Dan terkadang menikahi janda lebih utama karena alasan tertentu.” Artinya, status “perawan” bukanlah penentu martabat atau kelayakan seseorang untuk dinikahi.
Kalau dipikir-pikir, konsep “perawan” ini lebih sering dipakai untuk mengontrol tubuh perempuan daripada untuk membangun akhlak bersama. Banyak perempuan merasa tertekan, takut dihakimi, bahkan dipaksa melakukan tes keperawanan yang jelas-jelas melanggar hak asasi.
Bahkan dalam dunia modern, stigma ini masih kuat. Media sering menggambarkan perempuan “baik” sebagai yang polos, belum pernah berhubungan seksual, dan perempuan “nakal” sebagai yang berani secara seksual. Padahal, kenyataan hidup jauh lebih kompleks. Ada perempuan yang tidak pernah berhubungan seks tapi punya sifat manipulatif, ada juga yang aktif secara seksual tapi justru setia, jujur, dan berintegritas tinggi.
Kalau kita mau jujur, nilai seseorang tidak ditentukan oleh status selaput dara. Nilai itu datang dari karakter, pilihan hidup, dan bagaimana kita memperlakukan orang lain. Selama kita terus mengikat moralitas pada konsep perawan, kita akan terus membiarkan standar ganda hidup dan merugikan separuh umat manusia. Sudah waktunya mengubah cara pandang ini mulai dari diri sendiri, lalu meluas ke lingkungan sekitar. Karena pada akhirnya, martabat bukan soal selaput, tapi soal sikap.
Jadi, saya tidak sedang memaksa kamu untuk memilih pasangan yang tidak perawan. Saya hanya ingin bilang bahwa mereka bisa sama sucinya, sama bersihnya, dan sama layaknya untuk dicintai serta dihormati seperti siapa pun. Mungkin sudah waktunya kita berhenti mengukur nilai seseorang dengan label yang sejak awal memang tidak dimaksudkan untuk menentukan kemanusiaan mereka.
Referensi:
World Health Organization. (2018). Eliminating virginity testing: an interagency statement. Geneva: WHO.
🔗 https://www.who.int/publications/i/item/WHO-RHR-18.15
Blank, Hanne. (2007). Virgin: The Untouched History. New York: Bloomsbury USA.
🔗 https://www.bloomsbury.com/us/virgin-9781596910113/
Qur’an, Surah An-Nur (24): 32.
🔗 https://quran.com/24/32
An-Nawawi, Yahya ibn Sharaf. (n.d.). Syarh Shahih Muslim. Beirut: Dar al-Ma’rifah.
🔗 https://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?bk_no=53&ID=3&idfrom=0&idto=0&bookid=53&startno=1
Human Rights Watch. (2014). Indonesia: ‘Virginity Tests’ for Female Police.
🔗 https://www.hrw.org/news/2014/11/18/indonesia-virginity-tests-female-police
Amnesty International. (2011). Stop ‘Virginity Testing’ of Women and Girls.
🔗 https://www.amnesty.org/en/latest/news/2011/11/stop-virginity-testing-women-and-girls/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar