Berhati-Hatilah dengan Kecantikan Anda!
Judul : Cantik itu Luka
Penulis : Eka Kurniawan
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal : isi 539 halaman
Di akhir masa kolonial, seorang
perempuan dipaksa menjadi pelacur. Kehidupan itu terus dijalaninya hingga ia
memiliki tiga anak gadis yang kesemuanya cantik. Ketika mengandung anaknya yang
keempat, ia berharap anak itu akan lahir buruk rupa. Itulah yang terjadi,
meskipin secara ironik ia memberinya nama si Cantik.
Itulah
kutipan belakang novel Eka Kurniawan. Novel dengan latar cerita zaman PKI ini
sangat rapi bersentuhan dengan sejarah. Sebagaimana Eka tidak ragu untuk
menyebutkan tokoh-tokoh non-fiksi dalam novelnya.
Cerita
yang berawal dari kelahiran anak keempat seorang pelacur bernama Dewi Ayu, novel
ini mengulas cerita beraroma tempoe
doeloe. Alur campuran yang lugas pun menjadi suatu ketertarikan dari novel
ini. Bagaimana perjalanan Dewi Ayu membangun sejarah keluarganya di Halimunda,
kota hantu PKI yang menjadi daerah wisata. Seolah memperkenalkan dengan rinci
seluruh tokoh-tokohnya, pembaca dibuat berfikir dan menyusun potongoan-potongan
cerita kehidupan Dewi Ayu.
Walaupun
Dewi Ayu seorang pelacur nomor satu di Halimunda, namun tak satu pun dari
keempat anaknya yang ia didik menjadi pelacur—setidaknya hingga anak keempat
lahir dan ia meninggal—. Dengan kecantikan Indo-Belanda yang dimiliki, dan
tingkat ketenangan yang tinggi telah menjadikan Dewi Ayu sebagai perempuan yang
tegar walaupun lingkungan bak mata pisau memandangnya.
Anak
pertamanya, Alamanda, adalah hasil pelacuran pertamanya dengan tentara-tentara Jepang.
Zaman perang waktu itu memaksa Dewi Ayu dan para gadis lainnya yang semula
dibujuk untuk menjadi relawan kesehatan, ternyata malah menjadi ‘relawan kasur’.
Dewi Ayu bertemu dengan seorang germo, ia menamai dirinya Mama Kalong. Mungkin
garis takdir telah menarik nasib Dewi Ayu untuk bekerja pada Mama Kalong. Dan
demikianlah, Dewi Ayu menjadi pelacur primadona Mama Kalong yang telah
berganti-ganti nama rumah pelacuran.
Lalu
anak keduanya, Amanda, sedikit berbeda dengan kakaknya yang memiliki darah Jepang,
namun Amanda pun cantik. Begitu pula dengan Maya Dewi, anak ketiga Dewi Ayu
yang kata orang adalah yang tercantik dari ketiganya. Kecantikan ketiga anak Dewi
Ayu pun kelak akan menjadi sejarah kelam bagi Halimunda. Tanah kelahirannya.
Tidak
perlu ditanya lagi berapa laki-laki yang rela mati demi ketiga gadis pelacur Mama
Kalong ini. Namun, sekali lagi, dengan alur yang terbilang sulit ditebak,
pembaca akan meraba setiap kejadian juga sejarah yan diciptakan setiap tokoh.
Untuk
di Cantik, anak keempat Dewi Ayu, yang sekali pun tak pernah bertemu ibu dan
ketiga kakaknya sangat berbeda nasibnya. Sampai Dewi Ayu bangkit dari
kematiannya pada umut ke 52 untuk menyelesaikan ‘masalah’ yang disebabkan masa
lalu sejarah keluarga, tidak kaget dengan kehadiran sang ibu. Dewi Ayu kembali
dengan membawa tekad dan pesan yang disampaikan melalui buah pikiran cucunya,
Krisan. Yakni : “Cantik itu luka.”
“Cantik
itu luka”, seperti yang menjadi dialog Krisan dalam akhir cerita dapat menjadi
renungan bagi para wanita. Bahwa memang segala sesuatu itu, jika tidak tepat
penggunaannya pastilah akan berbuah celaka. Contohnya pada fisik. Bagaimana
anak-anak Dewi Ayu memanfaatkan kecantikannya, baik secara positif maupun
negatif. Namun dengan kemasan ‘mistis’ yang dihadirkan dalam cerita ini,
kecantikan seolah menjadi kutukan dalam keluarga Dewi Ayu.
Terlepas
dari plot cerita, novel ini sebaiknya dikonsumsi oleh kalangan dewasa.
Mengingat pilihan kata dan perangkaiannya sedikit ‘dalam’ dan imajinatif.
Namun, hal yang dapat dipetik dari isi novel ini adalah justru bagaimana kita
mempelajari sejarah. Bagaimana kita melihat kehidupan lain di zaman perang
sebelum kemerdekaan. Tidak hanya paparan sejarah perang seperti yang ada dalam
buku-buku pelajaran sejarah pendidikan. Justru dengan penggambaran epik Eka
Kurniawan inilah sebuah perjuangan rakyat Indonesia di pedalaman dapat
terlihat. Juga sisi lain dari PKI yang selama ini menjadi ikon negatif di era
reformasi.
Yang menarik dari karya
ini, selain telah dicetak sebanyak dua kali. Yaitu pada tahun 2004 dan 2006. naskah
novel ini juga telah dipentaskan secara monolog oleh Maya Sekartaji dalam acara
Ulang Tahun Milis Apresiasi-Sastra
di Japan Foundation 16 Februari 2008 lalu. (Ilda)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar