Sastra
merupakan dunia lain yang tak memiliki batas untuk berkreasi. Dengan sastra
pengarang dapat mengaktualisasikan diri sebagai individu yang masing-masing
memiliki suatu keunikan. Tidak jarang sastra dijadikan sebagai pengukur suatu
peradaban karena nilai-nilai yang ada dalam kehidupan dapat dibingkai
sedemikian rupa oleh pengarang sehingga mampu menghadirkan berbagai realita sosial yang ada pada masa tertentu.
Dikatakan demikian karena karya sastra tidak tercipta dari suatu “kekosongan”.
Artinya karya sastra tidak bisa tercipta hanya dengan berimajinasi semata,
melainkan harus ada relasi antara imajinasi dan realitas sosial yang terjadi
dalam kehidupan sehari-hari dan begitu juga sebaliknya, karya sastra tidak bisa
hadir dengan realitas sosial saja karena pengarang tentu membutuhkan imajinasi
untuk mengemas suatu karya sehingga memiliki nilai estetika yang tinggi, hal
yang demikian biasa disebut proses kreatif sastra.
Berbicara
tentang sastra, tentu tidak terlepas dari bagaimana kita mengapresiasi
sastra dan berbagai jenis sastra. Dalam proses mengapresiasi sastra, sejatinya
memiliki beberapa tingkatan dan tidak semua orang mampu mencapai tingkat
apresiasi tertentu. Hal inilah yang jarang disadari oleh para pembaca sastra
sehingga tak jarang sastra diartikan hanya sebagai sebuah tulisan yang dibuat
dengan kata-kata yang indah. Asumsi semacam ini dapat menghantam minat kita
untuk mendalami sastra lebih jauh. Terkait dengan jenis, sebenarnya sudah jelas
konsep antara jenis sastra yang satu dengan yang lainnya namun terkadang dalam
eksistensinya tidak jarang terjadi perubahan antara konsep yang satu dengan
yang lain sebagai contohnya adalah konsep cerpen dalam relasinya dengan puisi.
Hal inilah yang menjadi latar belakang penulisan essay ini.
1.
Tingkatan Apresiasi
Pada dasarnya tingkatan
apresiasi seseorang terhadap karya sastra dapat dibagi menjadi tiga tahap
seperti berikut ini.
a. Tahap Rasa Terhibur
tingkatan
apresiasi ini merupakan tahap apresiasi paling rendah seseorang terhadap karya
sastra. Dikatakan demikian karena kita bisa saja hanya mendapatkan rasa
terhibur dari sebuah karya walaupun kita tidak tahu makna atau arti dari karya
itu dan tidak memiliki ketertarikan leebih jauh mengenai karya tersebut.
Sebagai contoh ketika kita membaca ataupun mendengar kata-kata indah dalam sebuah
puisi. Perasaan terhibur dapat kita peroleh ketika mendengar rangkaian
kata-kata yang ditempatkan secara unik dan menarik. namun kata-kata tersebut
tidak menjamin seseorang menjadi ingin mendalami puisi.
b. Tahap Memaknai
tingkatan
apresiasi ini merupakan tahap dimana ketika seseorang bisa memaknai suatu karya
sehingga bisa mendapatkan kenikmatan tersendiri ketika membaca dan memaknai
suatu karya. Sebagai cintihnya, Kita bisa mendapatkan kepuasan tersendiri
ketika mampu memaknai sebuah cerpen atau puisi yang mengunakan bahasa asing.
Hal yang demikian bisa membedakan tingkatan apresiasi kita dengan orang yang tidak
bisa memaknai suatu karya.
c. Tahap Memahami
ketika
seseorang sudah mampu memaknai sesuatu karya maka selanjutnya tentu akan
dihadapkan pada tahap memahami. Tahap ini merupakan tahap ketika seorang mampu
memahami suatu karya secara holistik sehingga menghasilkan pemahaman yang
mendalam. Tahap ini merupakan tahap yang cukup sulit untuk dicapai karena untuk
mendapatkan nilai estetika yang tinggi, pengarang biasanya menggunakan hak
lisensialnya( hak pengarang untuk melanggar struktur bahasa normatif) dalam
berkarya. Hal inilah yang biasanya menjadikan pemahaman antara pengarang dan
pembaca cenderung variatif.
d. Tahap Memanfaatkan
setelah
mampu memahami, maka tahap terakhir adalah tahap memanfaatkan yakni tahap
dimana seseorang mampu memanfaatkan karya sastra sebagai media untuk berkembang
maupun untuk merubah realitas sosial yang bertentangan dengan nilai maupun
norma yang berlaku dalam kehidupan.sosial. sebagai contoh ketika puisi-puisinya
khairil anwar yang mampu membangkitkan keberanian dan rasa nasionalisme ditengah
penindasan yang dilakukan para penjajah. Hal yang demikian menujukkan bahwa
khairil anwar telah memanfaatkan karyanya untuk menggerakkan perjuangan.
2.
Perubahan Konsep Cerpen
Pada
dasarnya konsep masing-masing jenis sastra sudah jelas, namun akhir-akir ini
dalam eksistensinya tidak jarang kita temukan perubahan bentuk penyampaiannya
yang seolah melunturkan konsep sastra itu sendiri. Salah satu cuntoh lunturnya
konsep salah satu jenis sastra adalah cerpen. Sebagai sebuah cerita, cerpen
seharusnya menjadi suatu hal yang mudah dimengerti sehingga tercapai konsep
dari cerpen itu sendiri yaitu untuk menceritakan. Untuk menceritakan sebuah
cerita, tentu sudah seharusnya menggunakan kata kata yang komunikatif sehingga
pembaca mudah untuk memahami sebuah cerita.
jika kita ikuti perkembangan karya sastra
cerpen akhir-akhir ini, maka dapat kita lihat bahwa konsep cerpen mulai
tergusur oleh konsep puisi. Cerpen yang biasanya digunakan untuk menceritakan
malah menjadi suatu karya yang tercipta dari kata-kata yang rumit dan sulit
dimengerti layaknnya puisi. Perubahan cara penyeampaian mulai dari alur yang
zigzag hingga tokoh yang tidak dideskripsikan secara jelas ditambah dengan
balutan kata puitis menjadikan cerpen terasa begitu berat untuk dipahami.
Sebagai contoh adalah banyaknya karya-karya baru cerpen yang salah satunya
adalah cerpen “kemegahan dunia” karya Lilis. Dalam cerpen ini, pengarang
mencoba menceritakan realita sosial yang semakin individual dan banyaknya orang
yang sibuk mencari kebahagiaan dunia hingga melupakan bahwa akan ada dunia
akhirat. Namun dalam cerpen tersebut tidak kita temukan tokoh yang jelas,
kemudian alurnya juga tidak jelas ditambah balutan kata puitis menjadikan
cerpen ini cukup sulit dipahami.
Memang
tidak bisa dipungkiri bahwa pengarang menggunakan hak lisensialnya dalam
berkarya, namun alangkah baiknya jika hal itu tidak menghilangkan konsep dari
karya itu sendiri. Jika memang cerpen pada hakikatnya bercerita maka akan lebih
baik jika disajikan dalam bentuk yang sederhana, bahasa yang komunikatif
sehingga mudah dimengerti oleh pembaca karena pastinya pengarang menciptakan
cerpen untuk dipahami pembaca bukan malah membingungkan pembaca. Jika konsep
cerpen tidak dipertahankan, alih alih mendatangkan ketertarikan pembaca cerpen
untuk mengapresiasi karya melainkan akan menghadirkan kebingungan dan mengikis
apresiasi pembaca terhadap suatu karya.
Dari
beberapa hal yang telah kita bahas diatas, maka dapat kita simpulkan bahwa
dalam mengapresiasi sastra, masing-masing orang memiliki tingkatan tertentu dan
tidak semua orang mampu memcapai tahap tertinggi dalam mengapresiasi suatu
karya. Kemudian penting bagi kita untuk menjaga konsep suatu karya sehingga
tidak menghilangkan nilai estetika dari karya itu sendiri.
Oleh: M. Jamiluddin Nur (Mahasiswa Bastrindo '09)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar