Ia telah mengunci rapat sisi hatiku yang telah ku khususkan untukmu.
Apakah kau akan memahami ini atau tidak, aku tak begitu berharap. Sebab bukankah yang kita
tahu ada tiadamu hanyalah raga bagiku. Jika kau tak ingin hidup dalam cintaku,
cukuplah dengan hatiku aku akan mencintaimu.
Namaku Ademi. Dalam catatan
Arcobaleno, aku dinamakan Dysis kecil. Entah untuk sebuah penjelasan runtut
yang seperti apa. Sebab, rindu berpijar dari tiap sisi randa tapak itu. Sepadan dengan hal lain, Bumi
Mahavathrya.
Dalam rentetan kelahiran, aku ada
pada Desember, dua puluh tiga tahun yang lalu. Terlahir sebagai putri dari
mereka sang khafi aksaraku.
Aku bagaikan musim kering yang
ranggas dan serta merta tamat dari tetesan air pertama sang hujan. Hujan yang
mencakar sekujur tubuhku yang retak dan berdebu oleh nyawa yang tak
menginginkanku ada. Bulan Desember, bulan pertengahan kelu, yang memanggilku dengan cakaran kering dan menjawab
tetesan pertama. Seperti melolosi tulang sendiri, meminum racun dari peluh yang
menyeduh kerinduan dan membuat tubuhku terkulai tak berdaya.
Kini, tinggalah aku. Seorang
wanita yang mencintai seseorang yang haram tuk kumiliki. Entah dengan dalil
seperti apa, sebab aku begitu hina hingga tak pantas tuk diperjuangkan. Kuserahkan
segalanya pada-MU, tentang penyerahan akan tetakdir. Tentang segala asa yang
diam-diam masih ku lafalkan pada-MU.
Di
akhir sepuluh April 2012, doaku tak habis memamah lelah. Terus
tumbuh, merapalkan ikhtiar di khusyu’nya cinta yang terus bertasbih. Aku melangkah perlahan
melewati koridor kampus yang
mulai sepi. Rinai gemericik hujan menemaniku siang itu. Bau Tanah yang
dicumbui hujan pun serta merta menjejaki hidung. “Ademi!” langkahku terhenti
ketika kudengar namaku menggema di sepanjang koridor kampus. Seorang laki-laki bertopi
hitam berlari menghampiriku. Bumi
Mahavathrya.
Seorang Pasukan Pengamanan Presiden dan tengah mengambil cuti. Seorang
laki-laki yang kucintai dan haram tuk
kumiliki. Aku menoleh sekilas dan kembali melanjutkan langkahku. Bumi
berlari-lari kecil. “ Kenapa kau tak membalas pesanku? Email dan teleponku pun
tak kau balas? Apa kau benar-benar tidak
ingin mendengarkanku?!” tanyanya. Sekilas, kulirik ke arahnya. Kembali
kupercepat langkahku. “Ademi,
mengertilah! Citraku akan rusak bila kau tidak melakukannya. Aku bisa saja
diberhentikan dan mendapat sangsi militer”.
Langkahku kemudian benar-benar terhenti. “Apakah kau tidak memikirkan
aku? Citraku pun akan rusak, Bumi! Tapi, bisakah kau mengerti bahwa aku pun tak
ingin menjadi rajam yang sewaktu-waktu dapat menghancurkan hidup seonggok nyawa
yang ada didekatku? Aku tak ingin bila kesalahan ini akan membuatku menjadi monster yang
sangat menyeramkan!!” ujarku ketus. Bumi
kemudian terdiam dan membiarkan bayanganku lenyap dalam derunya hujan.
*
Di akhir lima belas April 2012, aku membuka jendela kamarku yang kian
kelu oleh kelabu utara. Sepertinya sang Bagaskara enggan tuk bersikap angkuh
denganku pagi ini. “Ayolah! Aku sedang
ingin bergurau denganmu “, gumamku. Sehelai
jam hayati randa tapak singgah di balkon kamarku. Wah, sepertinya angin
mendung telah membawanya sejauh ini. Aku mengambil secarik kertas dan pena
kuningku
Sedekat
apakah kita, hingga aku tak mampu melepas belenggu cintamu?
Mungkin aku yang terlalu merindu atau mungkin jua doa-doamu yang
berkeling denganku…
Aku tak tahu.. hanya aku merasa sesuatu telah terjadi padaku…
Aku mengiyakan semua kemauanmu hingga aku sendiri tak memandang diriku
Kemudian aku segera melupakanmu, membuang setiap detik indah yang pernah kita
lalui
Cinta, yah… mungkin juga tidak..
tapi satu yang pasti: “Aku merindukanmu”
(Ademi)
Selalu saja dengan akhir seperti itu. Dengan rinai aksara yang kerap kuukir
rapat untukmu dan sesegera mungkin, semilir angin menyadarkanku bahwa kau haram
tuk kumiliki.
Kusadari aku begitu mencintainya, bahkan
aku tak bisa mencintai diriku seperti mencintainya. Namun
seberapapun aku mencintainya, tak seharusnya ia memperlakukanku seperti ini. Tapi salahkah jika ku meminta
satu hal? Tentang perasaan ini, mengapa ia tidak melakukan sesuatu? Menolakku
misalnya? Iya jika tak lagi mencintaiku, mengapa ia tak
menghentikanku? Mungkin bukan masalah buatnya jika aku terus
mencintainya, dan terus menerus mengemisinya. Toh,
bukankah yang lelah itu aku, terluka dan sakit pun aku? Tapi
tak punyakah ia sedikit saja rasa kasihan? Andai ia tahu
bagaimana perasaan ini, bagaimana aku mencintainya, bagaimana aku memikirkannya
setiap hari dan bagaimana besarnya aku mengharapkannya menjadi bagian dari
hidupku. Mengapakah tak bisa ia melakukan sesuatu untukku,
jika ia tak bisa mengasihani aku sebagai sesiapanya,
setidaknya ia melihatku sebagai manusia!
Di akhir enam belas Juni 2012, sungguh tak bisa ku
paksakan apapun padanya, bahkan
sekedar mengatakan isi hatinya. Kusadari setiap orang punya alasan, dan tentu
ia punya alasan. Termasuk ketika ia memilih untuk diam. Walau
pada akhirnya kediaman itu membuat cinta ini benar-benar terluka, dimana terus saja aku bertahan dan tak
menyerah tanpa pernah melihat diriku. Iya, bagaimana mungkin aku mencintai
laki-laki yang begitu sempurna di mataku sedang aku menyadari aku tak melihat apapun pada diriku
untuk sekedar mendampinginnya.. Ahh, andai saja ada yang memberitahuku dan
menyadarkanku. Membangunkanku dari mimpiku yang terlalu tinggi ini, mungkin
aku takkan berlama-lama mengusik hidupnya, mencampuri hidupnya seolah-olah aku
berhak atasnya!
Di
akhir dua puluh Desember 2012, aku mungkin seharusnya
tak menuntut ia mengerti aku, memahami permintaanku. Tapi jika bisa, tanpa
perlu tahu apa yang aku harapkan dan tanpa perlu mengerti keinginanku, aku
hanya pinta satu jawaban atas perasaan ini. Karena bukankah
berlama-lama pada perasaan seperti ini takkan baik? Jika memang harapan itu tak
ada pun masih ada, mengapa tidak untuk memberiku jawaban? Cinta, seperti dulu. Takkan lagi
kupaksakan. Entah masihkah sama atau telah berbeda, bagiku ketulusan saling adalah hal terpenting. Ia tak perlu
mencemaskan akan putusnya silaturrahim, cinta bukankah akan selalu memberi
kebaikan? Maka aku percaya, harapan yang patah takkan mematahkan
kebaikan pula.
*
Di awal Juli
2013, aku tak lagi sempat mengingat lirik-lirik kerinduan
yang tercipta untuknya. Mungkin aku telah berhenti mencintai atau bahkan telah
utuh megharamkan dirinya tuk kumiliki. Ia telah menjadi masa lalu. Masa lalu
yang akan kusimpan dalam dabal semu.
Namun, ada satu kepastian yang akan kuhadapi, dan inilah awal dari
cintaku.
“Ademi!”
panggilan dari seorang pria berambut klimis itu menyadarkanku. Andika Wiranata.
Seorang asisten pemasaran di salah satu bank negeri yang kini mendampingiku.
Seorang pria yang tanpa sengaja hadir di tengah ribuan kerabat dalam dunia
maya. Tak sengaja hadir dalam kebisingan
dan kepenatan hati yang dibahimahkan oleh lelaki varya. Aku menatap Andika dari
kejauhan dan berlari-lari kecil menghampirinya.
“Uda, jika nanti kita dihadapkan pada
suatu keadaan dimana kita harus berpisah, namun hati tak ingin berpisah, mana
yang akan uda pilih? Hatikah?” tanyaku sembari menggelayut
mesra dilengannya.
“Hmm.. gimana yah? Uda
itu tipe orang yang selalu pasrah, jadi uda pasrah saja” jawabnya diakhiri tawa khas yang begitu akrab
dipendengaranku. Aku mengerutkan keningku . “ Yang pasti uda akan menghindari segala sesuatu yang membuat perasaan uda untuk adek itu berkurang” jawabnya
meyakinkan. “Janji?” tanyaku dengan mengacungkan jari kelingking. “Janji!”
jawabnya dan membalas acungan kelingkingku. Kami pun melangkah meninggalkan
pasir pantai yang basah. Jejak-jejak
kaki kami seolah meninggalkan sebuah pengharapan penuh dalam setiap
lekuk kedalaman yang tersisa di atasnya. Sebuah pengharapan yang akan selalu ku
tulis dalam catatan kehidupanku, catatan randa tapak. Siluet jingga menciptakan
satu paradoks dalam heningnya doa yang kulafalkan untuk cintaku kini. “Di senja ini, dengarlah pesan cintaku. Kelak, jika cinta berijab doa, ketika kau sematkan janji setiamu padaku dengan segala tulusmu dan dengan
segala pengharapan dan citamu. Kekasihku, pimpinlah aku dengan kasih sayangmu dan perintahlah aku dengan
kebaikan-kebaikan, maka percayalah kau akan temukanku menjadi kekasihmu yang
paling berbakti” Terlampir dalam
doaku
di perantara magrib-Isya.
(Mataram, 23 Juli 2013)
Oleh: St. Nurwahidah/PKn 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar