ADEMI: Catatan Randa Tapak - LPM Pena Kampus

Goresan Penamu Runtuhkan Tirani

Breaking

Kamis, 17 Oktober 2013

ADEMI: Catatan Randa Tapak

Ia telah mengunci rapat sisi hatiku yang telah ku khususkan untukmu.
Apakah kau akan memahami ini atau tidak, aku tak  begitu berharap. Sebab bukankah yang kita tahu ada tiadamu hanyalah raga bagiku. Jika kau tak ingin hidup dalam cintaku, cukuplah dengan hatiku aku akan mencintaimu.

            Namaku Ademi. Dalam catatan Arcobaleno, aku dinamakan Dysis kecil. Entah untuk sebuah penjelasan runtut yang seperti apa. Sebab, rindu berpijar dari tiap sisi randa tapak  itu. Sepadan dengan hal lain, Bumi Mahavathrya.
            Dalam rentetan kelahiran, aku ada pada Desember, dua puluh tiga tahun yang lalu. Terlahir sebagai putri dari mereka sang khafi aksaraku.
            Aku bagaikan musim kering yang ranggas dan serta merta tamat dari tetesan air pertama sang hujan. Hujan yang mencakar sekujur tubuhku yang retak dan berdebu oleh nyawa yang tak menginginkanku ada. Bulan Desember, bulan pertengahan kelu,  yang memanggilku dengan cakaran kering dan menjawab tetesan pertama. Seperti melolosi tulang sendiri, meminum racun dari peluh yang menyeduh kerinduan dan membuat tubuhku terkulai tak berdaya.
            Kini, tinggalah aku. Seorang wanita yang mencintai seseorang yang haram tuk kumiliki. Entah dengan dalil seperti apa, sebab aku begitu hina hingga tak pantas tuk diperjuangkan. Kuserahkan segalanya pada-MU, tentang penyerahan akan tetakdir. Tentang segala asa yang diam-diam masih ku lafalkan pada-MU.
            Di akhir sepuluh April 2012, doaku tak habis memamah lelah. Terus tumbuh, merapalkan ikhtiar di khusyu’nya cinta yang terus bertasbih. Aku melangkah perlahan melewati koridor kampus  yang  mulai sepi. Rinai gemericik hujan menemaniku siang itu. Bau Tanah yang dicumbui hujan pun serta merta menjejaki hidung. “Ademi!” langkahku terhenti ketika kudengar namaku menggema di sepanjang koridor kampus. Seorang laki-laki bertopi hitam  berlari menghampiriku. Bumi Mahavathrya. Seorang Pasukan Pengamanan Presiden dan tengah mengambil cuti. Seorang laki-laki yang  kucintai dan haram tuk kumiliki. Aku menoleh sekilas dan kembali melanjutkan langkahku. Bumi berlari-lari kecil. “ Kenapa kau tak membalas pesanku? Email dan teleponku pun tak kau balas? Apa kau benar-benar tidak  ingin mendengarkanku?!” tanyanya. Sekilas, kulirik ke arahnya. Kembali kupercepat  langkahku. “Ademi, mengertilah! Citraku akan rusak bila kau tidak melakukannya. Aku bisa saja diberhentikan dan mendapat sangsi militer”.  Langkahku kemudian benar-benar terhenti. “Apakah kau tidak memikirkan aku? Citraku pun akan rusak, Bumi! Tapi, bisakah kau mengerti bahwa aku pun tak ingin menjadi rajam yang sewaktu-waktu dapat menghancurkan hidup seonggok nyawa yang ada didekatku? Aku tak ingin bila kesalahan  ini akan membuatku menjadi monster yang sangat menyeramkan!!”  ujarku ketus. Bumi kemudian terdiam dan membiarkan bayanganku lenyap dalam derunya hujan.
*
Di akhir lima belas April 2012, aku membuka jendela kamarku yang kian kelu oleh kelabu utara. Sepertinya sang Bagaskara enggan tuk bersikap angkuh denganku pagi ini. “Ayolah! Aku sedang ingin bergurau denganmu “, gumamku. Sehelai  jam hayati randa tapak singgah di balkon kamarku. Wah, sepertinya angin mendung telah membawanya sejauh ini. Aku mengambil secarik kertas dan pena kuningku
            Sedekat apakah kita, hingga aku tak mampu melepas belenggu cintamu?
Mungkin aku yang terlalu merindu atau mungkin jua doa-doamu yang berkeling denganku…
Aku tak tahu.. hanya aku merasa sesuatu telah terjadi padaku… 
Aku mengiyakan semua kemauanmu hingga aku sendiri tak memandang diriku
Kemudian aku segera melupakanmu, membuang setiap detik indah yang pernah kita lalui
Cinta, yah… mungkin juga tidak..
tapi satu yang pasti: “Aku merindukanmu”

(Ademi)

Selalu saja dengan akhir seperti itu. Dengan rinai aksara yang kerap kuukir rapat untukmu dan sesegera mungkin, semilir angin menyadarkanku bahwa kau haram tuk kumiliki.

             Kusadari aku begitu mencintainya, bahkan aku tak bisa mencintai diriku seperti mencintainya. Namun seberapapun aku mencintainya, tak seharusnya ia memperlakukanku seperti ini. Tapi salahkah jika ku meminta satu hal? Tentang perasaan ini, mengapa ia tidak melakukan sesuatu? Menolakku misalnya? Iya jika tak lagi mencintaiku, mengapa ia tak menghentikanku? Mungkin bukan masalah buatnya jika aku terus mencintainya, dan terus menerus mengemisinya. Toh, bukankah yang lelah itu aku, terluka dan sakit pun aku? Tapi tak punyakah ia sedikit saja rasa kasihan? Andai ia tahu bagaimana perasaan ini, bagaimana aku mencintainya, bagaimana aku memikirkannya setiap hari dan bagaimana besarnya aku mengharapkannya menjadi bagian dari hidupku. Mengapakah tak bisa ia melakukan sesuatu untukku, jika ia tak bisa mengasihani aku sebagai sesiapanya, setidaknya ia melihatku sebagai manusia!
            Di akhir enam belas Juni 2012, sungguh tak bisa ku paksakan apapun padanya,  bahkan sekedar mengatakan isi hatinya. Kusadari setiap orang punya alasan, dan tentu ia punya alasan. Termasuk ketika ia memilih untuk diam. Walau pada akhirnya kediaman itu membuat cinta ini benar-benar terluka, dimana terus saja aku bertahan dan tak menyerah tanpa pernah melihat  diriku. Iya, bagaimana mungkin aku mencintai laki-laki yang begitu sempurna di mataku sedang aku menyadari aku tak melihat apapun pada diriku untuk sekedar mendampinginnya.. Ahh, andai saja ada yang memberitahuku dan menyadarkanku. Membangunkanku dari mimpiku yang terlalu tinggi ini, mungkin aku takkan berlama-lama mengusik hidupnya, mencampuri hidupnya seolah-olah aku berhak atasnya!
            Di akhir dua puluh Desember 2012, aku mungkin seharusnya tak menuntut ia mengerti aku, memahami permintaanku. Tapi jika bisa, tanpa perlu tahu apa yang aku harapkan dan tanpa perlu mengerti keinginanku, aku hanya pinta satu  jawaban atas perasaan ini. Karena bukankah berlama-lama pada perasaan seperti ini takkan baik? Jika memang harapan itu tak ada pun masih ada, mengapa tidak untuk memberiku jawaban? Cinta, seperti dulu. Takkan lagi kupaksakan. Entah masihkah sama atau telah berbeda, bagiku ketulusan  saling  adalah hal terpenting. Ia tak perlu mencemaskan akan putusnya silaturrahim, cinta bukankah akan selalu memberi kebaikan? Maka aku  percaya, harapan yang patah takkan mematahkan kebaikan pula.
*
Di awal Juli 2013, aku tak lagi sempat mengingat lirik-lirik kerinduan yang tercipta untuknya. Mungkin aku telah berhenti mencintai atau bahkan telah utuh megharamkan dirinya tuk kumiliki. Ia telah menjadi masa lalu. Masa lalu yang akan kusimpan dalam dabal semu.  Namun, ada satu kepastian yang akan kuhadapi, dan inilah awal dari cintaku.
            “Ademi!” panggilan dari seorang pria berambut klimis itu menyadarkanku. Andika Wiranata. Seorang asisten pemasaran di salah satu bank negeri yang kini mendampingiku. Seorang pria yang tanpa sengaja hadir di tengah ribuan kerabat dalam dunia maya.  Tak sengaja hadir dalam kebisingan dan kepenatan hati yang dibahimahkan oleh lelaki varya. Aku menatap Andika dari kejauhan dan berlari-lari kecil menghampirinya.

            Uda, jika nanti kita dihadapkan pada suatu keadaan dimana kita harus berpisah, namun hati tak ingin berpisah, mana yang akan uda  pilih? Hatikah?” tanyaku sembari menggelayut mesra dilengannya.
            “Hmm.. gimana yah? Uda  itu tipe orang yang selalu pasrah, jadi uda pasrah saja” jawabnya diakhiri tawa khas yang begitu akrab dipendengaranku. Aku mengerutkan keningku . “ Yang pasti uda akan menghindari segala sesuatu yang membuat perasaan uda untuk adek itu berkurang” jawabnya meyakinkan. “Janji?” tanyaku dengan mengacungkan jari kelingking. “Janji!” jawabnya dan membalas acungan kelingkingku. Kami pun melangkah meninggalkan pasir pantai yang basah. Jejak-jejak  kaki kami seolah meninggalkan sebuah pengharapan penuh dalam setiap lekuk kedalaman yang tersisa di atasnya. Sebuah pengharapan yang akan selalu ku tulis dalam catatan kehidupanku, catatan randa tapak. Siluet jingga menciptakan satu paradoks dalam heningnya doa yang kulafalkan untuk cintaku kini.  Di senja ini, dengarlah pesan cintaku. Kelak, jika cinta berijab doa, ketika kau sematkan janji setiamu padaku dengan segala tulusmu  dan dengan segala pengharapan dan citamu. Kekasihku, pimpinlah aku dengan kasih sayangmu dan perintahlah aku dengan kebaikan-kebaikan, maka percayalah kau akan temukanku menjadi kekasihmu yang paling berbakti” Terlampir dalam doaku di perantara magrib-Isya.

(Mataram, 23 Juli 2013)

Oleh: St. Nurwahidah/PKn 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar