Interpretasi Kebisuan dan Kematian - LPM Pena Kampus

Goresan Penamu Runtuhkan Tirani

Breaking

Kamis, 17 Oktober 2013

Interpretasi Kebisuan dan Kematian

A.      Pendahuluan



Kumpulan cerpen remaja terbitan Republika yang berjudul Bicaralah Cintaku berisi 18 cerita pendek karya para siswa SMA se-Pulau Lombok. Harapannya, pada waktu yang tidak lama lagi, kita sudah dapat membaca kumpulan cerpen karya siswa-siswa SMA se-NTB. Yang menggembirakan sementara ini adalah meskipun tercatat sebagai salah satu siswa SMA yang ada di Pulau Lombok, ternyata ada juga di antara para penulis cerpen tersebut yang berasal dari Pulau Sumbawa. Dengan demikian nampak bahwa semangat ke-NTB-an sengaja atau tidak telah tertanam dengan baik di tengah-tengah masyarakat kita.
Delapan belas cerpen yang ada dalam kumpulan cerpen remaja Bicaralah Cintaku, menyajikan beragam capaian dan keunikan. Secara struktural, capaian dan keunikan itu dapat diketahui dari kepandaian para penulisnya dalam merumuskan judul dan menyesuaikannya dengan isi cerita, gaya bercerita dan pengaturan plot, pemilihan latar, dan akhir cerita yang mengejutkan. Dalam tulisan ini, pembahasan difokuskan hanya pada bagian tertentu dari cerpen-cerpen tersebut yang telah menunjukkan adanya potensi kesastraan.

B. Merumuskan Judul Cerpen

Umberto Eco (2004) dalam postscript to “The Name of the Rose” menjelaskan bahwa judul adalah kunci interpretasi. The Lover karya Marguerite Duras, Imperium karya Robert Harris, The Alchemist karya Paulo Coelho, Missage in a Bottle karya Nicholas Spark, dan Love Story karya Erich Segal, merupakan contoh novel yang isinya telah diisyaratkan oleh judulnya. Selain itu, ada juga novel dengan judul-judul yang hanya membatasi diri pada nama sang tokoh utama, seperti Anna Karenina karya Leo Tolstoy, Saman karya Ayu Utami, Siti Nurbaya karya Marah Rusli, dan Max Havelaar karya Multatuli (baca Johan M., 2010).
Pembatasan diri pada nama tokoh utama dalam cerita seperti pada contoh novel-novel terakhir di atas, membuat pembaca berpengalaman segera mengetahui bahwa novel tersebut mengisahkan tentang seseorang bernama Anna Karenina, Saman, Siti Nurbaya, atau Max Havelaar. Tetapi di balik pengetahuan yang cepat itu, segera muncul pertanyaan di benak calon pembaca mengenai kehidupan macam apa yang dijalani oleh para tokoh yang akhirnya dipilih oleh pengarangnya menjadi judul novel.
Judul sebuah prosa, baik novel ataupun cerpen, sangat penting terutama saat keberadaannya mampu menjadi identitas pertama yang berpotensi memikat perhatian pembaca. Di Indonesia, novel Ayat-ayat Cinta, berhasil manarik perhatian pembaca dari berbagai usia. Film-nya bahkan ditunggu-ditunggu dengan tidak sabar oleh orang-orang yang pernah membaca atau hanya mendengar sesuatu mengenai novelnya. Harapan tersebut menjadikan Ayat-ayat  Cinta sebagai novel pertama yang mampu membawa energi dan semangat khas Hollywood ke Indonesia—menunggu sinemanya segera setelah kemunculan novelnya, seperti fenomena Harry Potter.
Dilihat dari judulnya, kumpulan cerpen remaja Bicaralah Cintaku masih mengikuti tren judul menggunakan kata cinta. Tentu saja rumusan judul buku tersebut tidak langsung menjadi tanggung jawab para penulis cerpen, melainkan editornya yang biasanya terjebak pada tuntutan perusahaan untuk memenangkan pasar penjualan buku. Jika menilik rumusan judul beberapa cerpen dalam kumpulan cerpen remaja tersebut, gagasan menggunakan kata cinta nampaknya tidak berlebihan karena dari delapan belas cerpen, ada dua cerpen yang menggunakan kata cinta secara tersurat, yaitu Alunan Melodi Cinta karya Nina N. dari SMAN 7 Mataram dan Ketika Waktu Membaca Cinta karya Arianti Puja S. dari SMAN 1 Tanjung. Enam belas cerpen lainnya juga dirumuskan dengan kata-kata yang memiliki medan makna yang sama dengan cinta. Ada satu judul yang rumusannya sangat puitis, yaitu Rintihan Hujan karya Muhammad Irfand dari SMAN 1 Praya. Dan ada satu judul yang menunjukkan bahwa penulisnya memiliki penguasaan aliterasi yang baik yaitu cerpen yang berjudul Pahit Manis si Hitam Manis karya Yulinda Misnawati dari SMAN 5 Mataram.
Dari aspek kesesuaian judul dengan isi, cerpen berjudul Baca karya Sari Wanda dari SMKN 4 Mataram merupakan contoh keberhasilan penulis dalam menggunakan kata yang amat biasa dan sederhana, untuk menjadi judul sebuah cerpen yang isinya mempertahankan ide judulnya tetapi tidak kehilangan kesempatan dalam memberikan kejutan, tidak saja di bagian akhir cerita tetapi di sepanjang plot-plotnya. Beberapa cerpen juga judulnya dirumuskan terlalu sesuai dengan isinya tanpa dukungan kemampuan menyajikan plot-plot yang menumbuhkan rasa ingin tahu pembaca tentang peristiwa selajutnya. Cerita yang disajikan nampak terlalu polos, mungkin karena terjebak oleh tema yang disajikan penyelengara sayembara. Cerpen dengan judul yang tematik tersebut memberi kesan bahwa penulisnya baru menyelesaikan karya pertama, misalnya pada cerpen Anak Durhaka karya Arianto Adipurwanto dari SMAN 1 Gangga, Kakekku Pahlawanku karya Rabiatul Adawiyah dari SMAN 1 Pujut, Pantang Menyerah karya Siti Zahrah dari SMA Darul Muhajirin Lombok Tengahdan Demi Sekolah karya Sariwani SMAN 1 Bayan.

C.      Gaya Bercerita dan Latar Cerita

Ada yang mengatakan bahwa tidak ada yang baru di bawah kolong langit. Tentu saja ucapan tersebut tidak berlebihan jika setiap orang menyadari bahwa pengetahuan yang dimiliki saat ini tidak muncul tiba-tiba melainkan melalui serangkaian proses panjang dan bahkan melelahkan. Dalam dunia sastra, penerimaan pada kenyataan inilah yang kemudian memberi ruang hipogram.
Selain karena telah membaca banyak karya sastra sebelum akhirnya seorang calon penulis memutuskan ingin ikut menulis dan melahirkan karya sastra baru, ada juga penulis karya sastra yang akhirnya menulis karena dorongan pekerjaan. Biasanya pekerjaannya memang menuntutnya menjadi penulis dan konseptor. Beberapa sastrawan yang masuk dalam situasi ini misalnya Gabriel Garcia Marquez pemenang nobel sastra bekerja untuk kantor berita Cuba La Prensa di Kolumbia, John Grisham penulis novel The Firm yang dicetak ulang sampai 44 kali dengan oplah di atas  sepuluh juta eksemplar dan bertahan 77 minggu mendududki posisi atas daftar bestseller sebelumnya pernah berpraktek sebagai advokat, Erich Segal penulis novel Love Story kisah cinta yang dianggap paling mengharukan di abad 21 dan terjual lebih dari 21 juta eksemplar ialah seorang dosen sastra Yunani dan sastra Latin Universitas Harvard, Yale, dan Princeton. Ketiga penulis tesebut jelas tidak hanya mengandalkan bakat tetapi giat melatih kemampuannya hingga menjadi terbiasa sampai apa pun yang ditulisnya kemudian menjadi karya yang dicintai dan dinantikan oleh banyak pembaca. Melalui latihan akan muncul pengalaman-pengalaman yang akhirnya membentuk si penulis menjadi sastrawan yang karya-karyanya terasa berbeda dengan karya sastra lainnya yang pernah ditulis oleh pengarang lain.
Pada kumpulan cerpen remaja Bicaralah Cinta ada satu cerpen yang menunjukkan bahwa penulisnya telah memiliki pengalaman membaca karya-karya sastra bermutu dan akhirnya secara sadar atau tidak telah menumbuhkan kemampuannya dalam menulis dengan gaya bersastra, misalnya pada separuh paragraf pertama dan kedua cerpen Almamater Berbicara karya Ana T. Umniati dari MA Al-Hikmah Pabar tertulis “Sudah dua tahun, bapak dan nenek pergi. Kepergian yang panjang dan indah. Dan aku terjebak dalam lingkaran kehidupan yang kian tak pasti. Matahari mendekat rendah. Angin bertiup rendah. Langitpun merendah...Aku menjadi bagian dari kampung ini dan dari sinilah semua bermula; keluargaku dan aku... (2011:1).”
Penulis cerpen yang nampaknya berani mengambi risiko ialah Ahmad Muslihin dari MA NW GA Kec. Bayan, karena yang disajikan adalah dongeng yang cenderung plotnya sudah diketahui banyak orang, tetapi akan menjadi istimewa jika dapat disajikan dalam urutan plot yang berbeda dari yang biasa didengar oleh orang lain. Bagian yang patut mendapatkan pujian ialah penyampaian ceritanya yang terkesan dilakukan dengan sangat percaya diri dan matang. Remaja dengan kemampuan menceritakan dongeng sematang Ahmad Muslihin sulit dicari tandingannya. Oleh karena itu Ahmad Muslihin perlu segera melakukan publisitas karya lainnya hingga orang-orang yang memahami Linguistik Forensik dapat mengetahui dan melakukan pembelaan atas orisinalitas karya penulis muda tersebut.
Jakobson menjelaskan bahwa karya satra merupakan tindak kekerasan teratur terhadap ujaran biasa (Eagleton, 2006). Gaya bahasa memang bukan satu-satunya kriteria untuk menganggap sebuah karya sastra bermutu atau tidak, tetapi mengabaikannya menye-babkan karya yang lahir tidak memberikan kenikmatan sastra yang lengkap.
Samuel Johnson (dalam Barnes, 2005: 270-271) menjelaskan bahwa tujuan absah fiksi adalah sebagai alat penyampai kebenaran, namun kebenaran yang ada dalam pikiran sebuah fiksi adalah kebenaran moral, bukan kebenaran historis. Pada cerpen Almamater Berbicara karya Ana T. Umniati, kebenaran moral ditunjukkan oleh tokoh bapak yang terus saja berjuang membangun pesantrennya meskipun harus menghadapi serangan fitnah, kesehatan yang kian memburuk, dan kesusahan ekonomi. Demikianlah manusia diharapkan dapat menjalani kehidupannya, jangan mudah menyerah, coba lakukan apa yang bisa dikerjakan. Adapun keberadaan tokohnya, serta kisahnya yang terkesan nyata, karena diperkuat oleh penyebutan pesantren Kediri, tidak dapat dianggap sebagai kebenaran sejarah, bukan saja karena kisahnya tidak disertakan dengan tahun, tetapi dialog-dialog yang diutarakan telah diatur sedemikian rupa hingga menjadi lebih indah dan lebih dramatik dari aslinya.
Cerpen-cerpen lainnya banyak yang tidak menjelaskan tempatnya secara eksplisit sehingga diperlukan petunjuk bahasa terutama pada bagian dialog para tokohnya untuk dapat mengidentifikasi latar tempat terjadinya peristiwa. Misalnya pada kutipan berikut yang diambil dari cerpen berjudul Pelangi Hidup Eghar karya Kumalasari dari SMAN 1 Selong, 77:

“Kamu nggak mau barengan sama ibu?” tanya ibunya yang bekerja sebagai PNS di salah satu kantor pemerintahan di kotanya...Eghar dan Ditya sepakat untuk datang sore hari, sekitar jam 3 (Pelangi Hidup Eghar, Kumalasari, SMAN 1 Selong, 88).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa penulisnya sengaja tidak menyebutkan nama kota yang menjadi tempat terjadinya cerita. Pada para penulis pemula, alasannya seringkalikarena takut menyinggung perasaan seseorang, atau ingin melindungi seseorang, bahkan melindungi diri pengarang sendiri, jika ternyata tokoh yang sedang diceritakan adalah dirinya sendiri. Berikut ini disampaikan kutipan yang menunjukkan bahwa temnpat terjadinya peristiwa cerita adalah Jakarta.
“Apaan sih lo? Yang jelas gue suka lihat dia waktu pertyama kali tadi.” Demi Mama karya Sari Luniarini, dari SMAN 5 Mataram. Jika menilik gaya berbicara tokohnya seperti pada kutipan di atas,  tempat terjadinya cerita dapat dipastikan adalah di Jakarta. Tetapi saat melihat tokoh utamanya ternyata berbicara dengan bahasa Indonesia formal pada saat berbicara dengan ibunya maka ada kemungkinan dialeg Betawi hanya digunakan sebagai bahasa prokem di antara para pelajar, tidak peduli dari mana pun asalnya.
 Seyogyanya, cerpen-cerpen yang muncul dalam sayembara, demikian juga dengan cerpen-cerpen yang ada dalam kumpulan cerpen Bicaralah Cintaku dapat menunjukkan nuansa lokal sehingga pembaca memperoleh pengalaman mnaratif yang mengantarnya memahami tempat yang masih asing bagi banyak orang, yaitu tentang Lombok atau Sumbawa. Oleh karena itu, Deta Novian A., dari SMAN 1 Tanjung, (117) patut mendapatkan pujian karena berani dan berhasil mengangkat situasi lokal ke dalam cerita pendeknya, seperti yang terlihat pada kutipan berikt.  “Agus, besok kita akan pergi ke Pemenang,” suara mamanya terdengar ceria.  

D.           Akhir Cerita yang Mengejutkan

Daya tarik prosa yang paling dicari seringkali adalah usaha mengetahui akhir cerita. Tidak banyak novel yang mampu membuat akhir cerita yang menarik, dan lebih sedikit lagi para penulis yang mampu membuat kejutan di akhir cerita, bahkan di hadapan pembaca yang paling berpengalaman sekalipun. Salah satu cerpen yang mampu mencapai prestasi ini ialah Pelangi Hidup Eghar, karya Kumalasari, SMAN 1 Selong. Di balik kesederhanaan bahasanya, cerpen ini ternyata mampu memberikan kejutan di bagian akhirnya, seperti yang terlihat pada kutipan berikut: “’...Masih mimpikah aku atau ini kenyataan baru untukku, ‘pikir Eghar. ‘Aku berharap mimpi buruk itu tidak terjadi.’” Padahal sebelumnya di sepanjang cerita penulis seolah-olah menceritakan peristiwa pahit yang dialaminya. Setelah tidak sadarkan diri selama satu bulan, Eghar kemudian berharap pengalaman hidupnya yang baik saat ini adalah bagian yang nyata dan hidupnya yang pahit sebelumnya hanyalah mimpi buruk. Keunggulan cerpen ini adalah karena menyingkirkan mimpi buruk itu tidak dijadikan sebagai harapan melainkan kenyataan yang dibayangi oleh keragu-raguan.
Bagian akhir seperti pada cerpen Almamater Berbicara sudah dapat ditebak sebelum membaca setengah bagian cerita, karena ada banyak bagian, terutama yang menunjukkan kerja keras sang tokoh yang mengarahkan pembaca yang tidak berpengalaman sekalipun mampu menebak bahwa ternyata cita-cita sang anak yang ayahnya telah mati setelah didera oleh fitnah dan hidup dalam keserbakekurangan ekonomi telah dapat dicapai.

E.       Simpulan


Secara struktural, ada beberapa aspek pembangun cerita yang dapat dijadikan sebagai indikator kualitas sebuah prosa. Cerpen-cerpen dalam kumpulan cerpen Bicaralah Cintaku merupakan karya-karya yang layak diapresiasi karena beberapa cerpen sudah berhasil memikat perhatian pembaca berdasarkan teknik merumuskan judul, gaya bahasa, pengaturan plot, dan penyusunan akhir cerita yang mampu memunculkan kejutan. Apa yang sudah dilakukan oleh siswa-siswa yang cerpennya telah diterbitkan patut menjadi contoh bagi semua orang yang belum mencoba melakukannya. Bagaimana pun juga melakukan sesuatu, meskipun masih ada kesalahannya, masih lebih baik, karena takut salah berarti tidak melakukan apa-apa. Dalam konteks kumpulan cerpen remaja ini, meskipun sedikit, dan bahkan remang-remang, mencoba berbicara tentang sesuatu, tentang cinta, berarti telah membuktikan betapa betapa hebatnya kemapuan siswa-siswa kita untuk mengusir kebisuan. Sedapat mungkin kebisuan harus dihilangkan, karena kebisuan tidak hanya menjadi simbolkegagalan berkomunikasi, tetapi juga dapat mengantar siapa pun ke arah kematian yang mengenaskan.

Oleh: Johan Mahyudi, M.Pd. (Dosen Bahasa Indonesia FKIP Universitas Mataram/ Alumni Pena Kampus)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar