A.
Pendahuluan
Kumpulan cerpen remaja terbitan Republika yang berjudul Bicaralah
Cintaku berisi 18 cerita pendek karya para siswa SMA se-Pulau Lombok.
Harapannya, pada waktu yang tidak lama lagi, kita sudah dapat membaca kumpulan
cerpen karya siswa-siswa SMA se-NTB. Yang menggembirakan sementara ini adalah
meskipun tercatat sebagai salah satu siswa SMA yang ada di Pulau Lombok,
ternyata ada juga di antara para penulis cerpen tersebut yang berasal dari
Pulau Sumbawa. Dengan demikian nampak bahwa semangat ke-NTB-an sengaja atau
tidak telah tertanam dengan baik di tengah-tengah masyarakat kita.
Delapan belas cerpen yang ada dalam kumpulan cerpen
remaja Bicaralah Cintaku, menyajikan beragam
capaian dan keunikan. Secara struktural, capaian dan keunikan itu dapat
diketahui dari kepandaian para penulisnya dalam merumuskan judul dan
menyesuaikannya dengan isi cerita, gaya bercerita dan pengaturan plot,
pemilihan latar, dan akhir cerita yang mengejutkan. Dalam tulisan ini,
pembahasan difokuskan hanya pada bagian tertentu dari cerpen-cerpen tersebut yang
telah menunjukkan adanya potensi kesastraan.
B. Merumuskan Judul Cerpen
Umberto
Eco (2004) dalam postscript to “The
Name of the Rose” menjelaskan bahwa judul adalah kunci interpretasi. The Lover karya Marguerite Duras, Imperium karya Robert Harris, The Alchemist karya Paulo Coelho, Missage in a Bottle karya Nicholas
Spark, dan Love Story karya Erich
Segal, merupakan contoh novel yang isinya telah diisyaratkan oleh judulnya.
Selain itu, ada juga novel dengan judul-judul yang hanya membatasi diri pada
nama sang tokoh utama, seperti Anna
Karenina karya Leo Tolstoy, Saman
karya Ayu Utami, Siti Nurbaya karya
Marah Rusli, dan Max Havelaar karya
Multatuli (baca Johan M., 2010).
Pembatasan
diri pada nama tokoh utama dalam cerita seperti pada contoh novel-novel
terakhir di atas, membuat pembaca berpengalaman segera mengetahui bahwa novel
tersebut mengisahkan tentang seseorang bernama Anna Karenina, Saman, Siti
Nurbaya, atau Max Havelaar. Tetapi di balik pengetahuan yang cepat itu, segera
muncul pertanyaan di benak calon pembaca mengenai kehidupan macam apa yang
dijalani oleh para tokoh yang akhirnya dipilih oleh pengarangnya menjadi judul
novel.
Judul
sebuah prosa, baik
novel ataupun cerpen, sangat penting terutama saat keberadaannya mampu menjadi
identitas pertama yang berpotensi memikat perhatian pembaca. Di Indonesia, novel Ayat-ayat Cinta, berhasil manarik perhatian pembaca dari berbagai usia. Film-nya
bahkan ditunggu-ditunggu dengan tidak sabar oleh orang-orang yang pernah
membaca atau hanya mendengar sesuatu mengenai novelnya. Harapan tersebut
menjadikan Ayat-ayat Cinta sebagai
novel pertama yang mampu membawa energi dan semangat khas Hollywood ke Indonesia —menunggu
sinemanya segera setelah kemunculan novelnya, seperti fenomena Harry Potter.
Dilihat
dari judulnya, kumpulan cerpen remaja Bicaralah Cintaku masih mengikuti tren judul menggunakan kata cinta. Tentu saja rumusan judul buku
tersebut tidak langsung menjadi tanggung jawab para penulis cerpen, melainkan
editornya yang biasanya terjebak pada tuntutan perusahaan untuk memenangkan
pasar penjualan buku. Jika menilik rumusan judul beberapa cerpen dalam kumpulan
cerpen remaja tersebut, gagasan menggunakan kata cinta nampaknya tidak berlebihan karena dari delapan belas cerpen,
ada dua cerpen yang menggunakan kata cinta
secara tersurat, yaitu Alunan Melodi
Cinta karya Nina N. dari SMAN 7 Mataram dan Ketika Waktu Membaca Cinta karya Arianti Puja S. dari SMAN 1
Tanjung. Enam belas cerpen lainnya juga dirumuskan dengan kata-kata yang
memiliki medan makna yang sama dengan cinta.
Ada satu judul yang rumusannya sangat puitis, yaitu Rintihan Hujan karya Muhammad Irfand dari SMAN 1 Praya. Dan ada
satu judul yang menunjukkan bahwa penulisnya memiliki penguasaan aliterasi yang
baik yaitu cerpen yang berjudul Pahit
Manis si Hitam Manis karya Yulinda Misnawati dari SMAN 5 Mataram.
Dari aspek
kesesuaian judul dengan isi, cerpen berjudul Baca karya Sari Wanda dari SMKN 4 Mataram merupakan contoh
keberhasilan penulis dalam menggunakan kata yang amat biasa dan sederhana,
untuk menjadi judul sebuah cerpen yang isinya mempertahankan ide judulnya
tetapi tidak kehilangan kesempatan dalam memberikan kejutan, tidak saja di
bagian akhir cerita tetapi di sepanjang plot-plotnya. Beberapa cerpen juga
judulnya dirumuskan terlalu sesuai dengan isinya tanpa dukungan kemampuan
menyajikan plot-plot yang menumbuhkan rasa ingin tahu pembaca tentang peristiwa
selajutnya. Cerita yang disajikan nampak terlalu polos, mungkin karena terjebak
oleh tema yang disajikan penyelengara sayembara. Cerpen dengan judul yang
tematik tersebut memberi kesan bahwa penulisnya baru menyelesaikan karya
pertama, misalnya pada cerpen Anak
Durhaka karya Arianto Adipurwanto dari SMAN 1 Gangga, Kakekku Pahlawanku karya Rabiatul
Adawiyah dari SMAN 1 Pujut, Pantang
Menyerah karya Siti Zahrah dari SMA Darul Muhajirin Lombok Tengah, dan
Demi Sekolah karya Sariwani SMAN 1
Bayan.
C.
Gaya Bercerita dan Latar
Cerita
Ada yang
mengatakan bahwa tidak ada yang baru di bawah kolong langit. Tentu saja ucapan
tersebut tidak berlebihan jika setiap orang menyadari bahwa pengetahuan yang
dimiliki saat ini tidak muncul tiba-tiba melainkan melalui serangkaian proses panjang
dan bahkan melelahkan. Dalam dunia sastra, penerimaan pada kenyataan inilah
yang kemudian memberi ruang hipogram.
Selain karena
telah membaca banyak karya sastra sebelum akhirnya seorang calon penulis
memutuskan ingin ikut menulis dan melahirkan karya sastra baru, ada juga
penulis karya sastra yang akhirnya menulis karena dorongan pekerjaan. Biasanya
pekerjaannya memang menuntutnya menjadi penulis dan konseptor. Beberapa
sastrawan yang masuk dalam situasi ini misalnya Gabriel Garcia Marquez pemenang
nobel sastra bekerja untuk kantor berita Cuba La Prensa di Kolumbia, John
Grisham penulis novel The Firm yang
dicetak ulang sampai 44 kali dengan oplah di atas sepuluh juta eksemplar dan bertahan 77 minggu
mendududki posisi atas daftar bestseller
sebelumnya pernah berpraktek sebagai advokat, Erich Segal penulis novel Love Story kisah cinta yang dianggap
paling mengharukan di abad 21 dan terjual lebih dari 21 juta eksemplar ialah
seorang dosen sastra Yunani dan sastra Latin Universitas Harvard, Yale, dan Princeton.
Ketiga penulis tesebut jelas tidak hanya mengandalkan bakat tetapi giat melatih
kemampuannya hingga menjadi terbiasa sampai apa pun yang ditulisnya kemudian menjadi
karya yang dicintai dan dinantikan oleh banyak pembaca. Melalui latihan akan
muncul pengalaman-pengalaman yang akhirnya membentuk si penulis menjadi
sastrawan yang karya-karyanya terasa berbeda dengan karya sastra lainnya yang
pernah ditulis oleh pengarang lain.
Pada kumpulan
cerpen remaja Bicaralah Cinta ada
satu cerpen yang menunjukkan bahwa penulisnya telah memiliki pengalaman membaca
karya-karya sastra bermutu dan akhirnya secara sadar atau tidak telah
menumbuhkan kemampuannya dalam menulis dengan gaya bersastra, misalnya pada
separuh paragraf pertama dan kedua cerpen Almamater
Berbicara karya Ana T. Umniati dari MA Al-Hikmah Pabar tertulis “Sudah dua
tahun, bapak dan nenek pergi. Kepergian
yang panjang dan indah. Dan aku terjebak dalam lingkaran kehidupan yang
kian tak pasti. Matahari mendekat rendah. Angin bertiup rendah. Langitpun
merendah...Aku menjadi bagian dari kampung ini dan dari sinilah semua bermula;
keluargaku dan aku... (2011:1).”
Penulis cerpen
yang nampaknya berani mengambi risiko ialah Ahmad Muslihin dari MA NW GA Kec.
Bayan, karena yang disajikan adalah dongeng yang cenderung plotnya sudah
diketahui banyak orang, tetapi akan menjadi istimewa jika dapat disajikan dalam
urutan plot yang berbeda dari yang biasa didengar oleh orang lain. Bagian yang
patut mendapatkan pujian ialah penyampaian ceritanya yang terkesan dilakukan
dengan sangat percaya diri dan matang. Remaja dengan kemampuan menceritakan
dongeng sematang Ahmad Muslihin sulit dicari tandingannya. Oleh karena itu
Ahmad Muslihin perlu segera melakukan publisitas karya lainnya hingga
orang-orang yang memahami Linguistik Forensik dapat mengetahui dan melakukan
pembelaan atas orisinalitas karya penulis muda tersebut.
Jakobson
menjelaskan bahwa karya satra merupakan tindak kekerasan teratur terhadap
ujaran biasa (Eagleton, 2006). Gaya bahasa memang bukan satu-satunya kriteria
untuk menganggap sebuah karya sastra bermutu atau tidak, tetapi mengabaikannya
menye-babkan karya yang lahir tidak memberikan kenikmatan sastra yang lengkap.
Samuel
Johnson (dalam Barnes, 2005: 270-271) menjelaskan bahwa tujuan absah fiksi
adalah sebagai alat penyampai kebenaran, namun kebenaran yang ada dalam pikiran
sebuah fiksi adalah kebenaran moral, bukan kebenaran historis. Pada cerpen Almamater Berbicara karya Ana T.
Umniati, kebenaran moral ditunjukkan oleh tokoh bapak yang terus saja berjuang
membangun pesantrennya meskipun harus menghadapi serangan fitnah, kesehatan
yang kian memburuk, dan kesusahan ekonomi. Demikianlah manusia diharapkan dapat
menjalani kehidupannya, jangan mudah menyerah, coba lakukan apa yang bisa
dikerjakan. Adapun keberadaan tokohnya, serta kisahnya yang terkesan nyata,
karena diperkuat oleh penyebutan pesantren Kediri, tidak dapat dianggap sebagai
kebenaran sejarah, bukan saja karena kisahnya tidak disertakan dengan tahun,
tetapi dialog-dialog yang diutarakan telah diatur sedemikian rupa hingga
menjadi lebih indah dan lebih dramatik dari aslinya.
Cerpen-cerpen
lainnya banyak yang tidak menjelaskan tempatnya secara eksplisit sehingga
diperlukan petunjuk bahasa terutama pada bagian dialog para tokohnya untuk
dapat mengidentifikasi latar tempat terjadinya peristiwa. Misalnya pada kutipan
berikut yang diambil dari cerpen berjudul Pelangi Hidup Eghar karya Kumalasari dari SMAN 1 Selong, 77:
“Kamu nggak mau barengan sama ibu?” tanya ibunya yang bekerja sebagai PNS
di salah satu kantor pemerintahan di kotanya...Eghar dan Ditya sepakat untuk
datang sore hari, sekitar jam 3 (Pelangi Hidup Eghar, Kumalasari, SMAN 1
Selong, 88).
Kutipan di atas
menunjukkan bahwa penulisnya sengaja tidak menyebutkan nama kota yang menjadi
tempat terjadinya cerita. Pada para penulis pemula, alasannya seringkalikarena
takut menyinggung perasaan seseorang, atau ingin melindungi seseorang, bahkan
melindungi diri pengarang sendiri, jika ternyata tokoh yang sedang diceritakan
adalah dirinya sendiri. Berikut ini disampaikan kutipan yang menunjukkan bahwa
temnpat terjadinya peristiwa cerita adalah Jakarta.
“Apaan sih lo?
Yang jelas gue suka lihat dia waktu pertyama kali tadi.” Demi Mama karya Sari Luniarini, dari SMAN 5 Mataram. Jika menilik gaya
berbicara tokohnya seperti pada kutipan di atas, tempat terjadinya cerita dapat dipastikan adalah
di Jakarta. Tetapi saat melihat tokoh utamanya ternyata berbicara dengan bahasa
Indonesia formal pada saat berbicara dengan ibunya maka ada kemungkinan dialeg
Betawi hanya digunakan sebagai bahasa prokem di antara para pelajar, tidak
peduli dari mana pun asalnya.
Seyogyanya, cerpen-cerpen yang muncul dalam
sayembara, demikian juga dengan cerpen-cerpen yang ada dalam kumpulan cerpen Bicaralah Cintaku dapat menunjukkan
nuansa lokal sehingga pembaca memperoleh pengalaman mnaratif yang mengantarnya
memahami tempat yang masih asing bagi banyak orang, yaitu tentang Lombok atau
Sumbawa. Oleh karena itu, Deta Novian A., dari SMAN 1 Tanjung, (117) patut
mendapatkan pujian karena berani dan berhasil mengangkat situasi lokal ke dalam
cerita pendeknya, seperti yang terlihat pada kutipan berikt. “Agus, besok kita akan pergi ke Pemenang,” suara
mamanya terdengar ceria.
D.
Akhir Cerita yang Mengejutkan
Daya tarik prosa yang paling dicari seringkali adalah
usaha mengetahui akhir cerita. Tidak banyak novel yang mampu membuat akhir
cerita yang menarik, dan lebih sedikit lagi para penulis yang mampu membuat
kejutan di akhir cerita, bahkan di hadapan pembaca yang paling berpengalaman
sekalipun. Salah satu cerpen yang mampu mencapai prestasi ini ialah Pelangi Hidup Eghar,
karya Kumalasari, SMAN 1
Selong. Di balik kesederhanaan bahasanya, cerpen ini ternyata
mampu memberikan kejutan di bagian akhirnya, seperti yang terlihat pada kutipan
berikut: “’...Masih mimpikah aku atau ini kenyataan baru untukku, ‘pikir Eghar.
‘Aku berharap mimpi buruk itu tidak terjadi.’” Padahal sebelumnya di sepanjang
cerita penulis seolah-olah menceritakan peristiwa pahit yang dialaminya.
Setelah tidak sadarkan diri selama satu bulan, Eghar kemudian berharap
pengalaman hidupnya yang baik saat ini adalah bagian yang nyata dan hidupnya
yang pahit sebelumnya hanyalah mimpi buruk. Keunggulan cerpen ini adalah karena
menyingkirkan mimpi buruk itu tidak dijadikan sebagai harapan melainkan
kenyataan yang dibayangi oleh keragu-raguan.
Bagian akhir seperti pada cerpen Almamater Berbicara sudah dapat ditebak sebelum membaca setengah
bagian cerita, karena ada banyak bagian, terutama yang menunjukkan kerja keras
sang tokoh yang mengarahkan pembaca yang tidak berpengalaman sekalipun mampu
menebak bahwa ternyata cita-cita sang anak yang ayahnya telah mati setelah
didera oleh fitnah dan hidup dalam keserbakekurangan ekonomi telah dapat
dicapai.
E.
Simpulan
Secara struktural, ada beberapa aspek pembangun cerita
yang dapat dijadikan sebagai indikator kualitas sebuah prosa. Cerpen-cerpen
dalam kumpulan cerpen Bicaralah Cintaku merupakan
karya-karya yang layak diapresiasi karena beberapa cerpen sudah berhasil
memikat perhatian pembaca berdasarkan teknik merumuskan judul, gaya bahasa, pengaturan
plot, dan penyusunan akhir cerita yang mampu memunculkan kejutan. Apa yang
sudah dilakukan oleh siswa-siswa yang cerpennya telah diterbitkan patut menjadi
contoh bagi semua orang yang belum mencoba melakukannya. Bagaimana pun juga
melakukan sesuatu, meskipun masih ada kesalahannya, masih lebih baik, karena
takut salah berarti tidak melakukan apa-apa. Dalam konteks kumpulan cerpen
remaja ini, meskipun sedikit, dan bahkan remang-remang, mencoba berbicara
tentang sesuatu, tentang cinta, berarti telah membuktikan betapa betapa
hebatnya kemapuan siswa-siswa kita untuk mengusir kebisuan. Sedapat mungkin
kebisuan harus dihilangkan, karena kebisuan tidak hanya menjadi simbolkegagalan
berkomunikasi, tetapi juga dapat mengantar siapa pun ke arah kematian yang
mengenaskan.
Oleh: Johan Mahyudi, M.Pd. (Dosen Bahasa Indonesia FKIP
Universitas Mataram/ Alumni Pena Kampus)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar