Terlepas dari berbagai isu hangat yang belakangan beredar, saya ingin
kembali mengulas tentang 'kebijakan' atas pembayaran SPP yang pada semester ini
perpanjangannya ditiadakan. Jujur saja, hal ini cukup menghentakkan bagi 6.301
mahasiswa di Universitas Mataram dari berbagai jurusan. Sebabnya tentu saja
karena 'kebijakan' rektor yang dinilai tanpa alasan yang jelas tersebut.
Sebanyak 6.301
mahasiswa dipaksa cuti karena belum membayar SPP. Keterlambatan pembayaran SPP
oleh mahasiswa tentu saja karena ketersediaan dana yang belum rampung. Secara
logika, ketidak-tersediaan dana tersebut bukan disengaja melainkan faktor
pekerjaan orangtua mahasiswa yang tak semuanya bergaji setiap bulan.
Berbagai upaya
dilakukan oleh aliansi mahasiswa Unram untuk meluruskan 'kebijakan' tersebut,
namun hingga perkuliahan dimulai belum juga ada kejelasan. Sebelumnya pada
orasi mahasiswa, PR 3 mengatakan akan mempertimbangkan permintaan mahasiswa
mengenai 'kebijakan' tersebut. Sayangnya hingga kini tak ada lagi kabar apapun
dari pihak rektorat maupun permintaan maaf dari PR 3.
Sungguh ironis
bagaimana sebanyak 6.301 mahasiswa dipaksa cuti hanya karena terlambat membayar
SPP. Di mana letak hati nurani pihak rektorat dan 'elit' kampus lainnya melihat
fenomena ini? Tidakkah mereka memikirkan bagaimana hati orangtua 6.301
mahasiswa tersebut? Ataukah mereka hanya memikirkan isi kantong mereka saja?
Entahlah.
Pada
semester-semester sebelumnya perpanjangan tetap ada dengan denda pembayaran
10%. Maka, hal tersebut menjadi pertanyaan baru bagi para pemikir kritis
kampus, "Untuk apakah nominal denda tersebut?"
Setelah itu,
terdengar desas-desus bahwa peniadaan perpanjangan pembayaran SPP dikarenakan
oleh sikap tidak bertanggungjawab pihak rektorat dalam hal transparansi
pengelolaan dana. Sempat heboh berita mengenai sidang kasus pihak Unram dengan
salah seorang mahasiswa fakultas Hukum di Pengadilan Tata Usaha yang akhirnya
dimenangkan oleh mahasiswa tersebut. Hasil putusannya mendesak agar pihak Unram
segera memberikan transparansi pengelolaan dana, namun hingga kini kita belum
melihat adanya laporan sejenis itu. Apakah yang disembunyikan?
Terlepas dari itu,
kembali lagi pada masalah SPP. Hal ini tentu menjadi sebuah batu besar yang
menghalangi langkah 6.301 mahasiswa Unram dalam dunia pendidikannya. Beberapa
dari mereka hendak bertindak nekat dengan tetap mengikuti perkuliahan dan
mengabaikan 'himbauan' cuti. Namun beberapa waktu kemudian sebagian tumbang
karena malu dengan teman-teman sekelas atau karena sudah terlanjur pesimis
hingga akhirnya menyerah. Kini mungkin masih ada mereka yang tersisa, yang
tetap nekat sambil memupuk keoptimisan yang kian terkikis meski sesekali mereka
ingin menyerah saja.
Mereka berpikir
bahwa dengan bertindak nekat, mereka bisa memperlihatkan pada pihak 'elit'
kampus bahwa mereka tak ingin menyerah begitu saja di bawah kaki kekuasaan
rektor atau siapapun yang merasa berkuasa di Unram. Mereka ingin menunjukkan
bahwa mereka masih memiliki semangat untuk belajar dan menunjukkan keseriusan
mereka. Jika pihak atas menilai keterlambatan pembayaran SPP merupakan
kelalaian mahasiswa, maka dengan sikap nekat tersebut mahasiswa membuktikan
bahwa mereka tidak lalai. Entah bagaimana tanggapan pihak 'elit' kampus atas
hal itu.
Masalah lain timbul
ketika mahasiswa yang nekat tersebut tetap mengikuti perkuliahan. Bagaimana
dengan nilai mereka, apakah akan muncul di siakad atau tidak? Jika iya, syukur.
Namun jika tidak, mereka akan terpaksa mengulang lagi?
Mahasiswa yang
nekat mengikuti perkuliahan tentu juga memikirkan tentang pembayaran SPP. Jika
saja nilai mereka keluar, bagaimana dengan sistem pembayaran yang akan mereka
lakukan?
Banyak masalah yang
ditimbulkan memang oleh 'kebijkan' rektor tersebut. Sebagai rektor, sepatutnya
'beliau' merasa malu karena telah menelantarkan nasib 6.301 mahasiswanya. Pun
demikian dengan pihak 'elit' lainnya, hendaknya mereka menutup muka atas
fenomena yang telah tersebar ke berbagai penjuru negeri via media cetak
maupun media sosial. Semoga saja cukup 6.301 mahasiswa yang menjadi korban, dan
tidak ada lagi kemudian.
(Oleh: Amira Amalia, Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris reg.sore)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar