Pass The Brush Challenge: Feminisme, Kosmetik, dan Konstruksi Kecantikan Perempuan - LPM Pena Kampus

Goresan Penamu Runtuhkan Tirani

Breaking

Selasa, 12 Mei 2020

Pass The Brush Challenge: Feminisme, Kosmetik, dan Konstruksi Kecantikan Perempuan



Oleh: Lalu Muhamad Helmi Akbar
(Anggota Pena Kampus)


"Make up itu hanya digunakan oleh perempuan yang tidak percaya diri" begitu kira-kira celetukan dari salah seorang kawan, waktu itu. Pernyataan itu disampaikan beberapa bulan yang lalu sebelum korona datang. Saat itu, saya dan beberapa kawan tengah duduk di berugaq kampus, tepatnya di depan kantin. Bukan tanpa alasan, pembahasan itu muncul ketika kami memperhatikan ciwi-ciwi yang hilir mudik di lingkungan kampus. Layaknya fashion show, kami merasa menjadi pemantau untuk setiap mahasiswi yang lewat. Sembari ditemani kopi dan rokok pilitan, berugaq kampus jadi tempat paling nyaman dan strategis untuk kegiatan pemantauan itu. Tapi ini tentu tidak layak dikatakan sebagai kebiasaan, kami menyebutnya selingan. Maklum, bagi sebagian besar mahasiswa, curi-curi pandang dengan ciwi-ciwi kampus jadi semacam refreshing atau destinasi rekreasi di tengah penatnya kegiatan perkuliahan.



Kembali ke awal, kita lupakan saja konteks tuturan itu. Pernyataan di atas, (baca: make up itu hanya digunakan oleh perempuan yang tidak percaya diri), jika di dengar perempuan, tentu banyak yang akan menolak, memvonis kami tidak paham atau bahkan menganggap kami bodoh dan tidak punya perasaan. Saya pun begitu, nun jauh dalam sanubari, saya bertanya, "benarkah make up jadi pelarian untuk perempuan yang tidak percaya diri?" belum sampai pada jawaban dari pertanyaan tersebut, saya teringat sebuah frasa tentang "konstruksi kecantikan". Entahlah, saya tidak paham mengapa frasa tersebut yang hinggap di pikiran saya. Akan tetapi, dalam tulisan ini, saya akan coba memetakan tentang bagaimana, sebut saja "kosmetik" menembus batas-batas fungsional yang menghadirkan efek-efek tak terbantahkan. Lalu setelahnya, kita akan mendapati benang merahnya.

Sebelum membedah tentang konstruksi kecantikan, kiranya kita bisa gunakan pernyataan pertama untuk menyelami makna dan menemukan relevansinya. Saya ingat, akhir-akhir ini, terdapat kegiatan yang sedang diganderungi perempuan, barangkali hampir di setiap platform media sosial kita menjumpai hal tersebut dipraktekkan. Mereka menyebutnya sebagai Pass the Brush Challenge. Apa itu Pass the Brush Challenge?

Pass the Brush Challenge merupakan kegiatan yang mengharuskan beberapa perempuan seolah melempar brush makeup secara bergilir hingga orang terakhir. Dapat dikatakan kalau kegiatan ini menampilkan perubahan perempuan sebelum dan sesudah menggunakan makeup. Bahkan, perempuan yang melakukan hal ini juga mengubah busana dan menambah aksesoris untuk mendukung hasil makeup mereka agar terlihat menawan. Menariknya lagi, Pass the Brush Challenge dikemas  dalam bentuk tantangan yang dikompilasi video TikTok dengan iringan musik yang menambah kesan asyik. Tantangan ini membawa pesan perempuan bahwa: saya terlihat lebih cantik dan percaya diri setelah dibaluri make up.

Saya tidak akan membahas tentang teknis tantangan tersebut. Saya lebih tertarik menilik penggunaan make up atau kosmetik dalam tantangan tersebut. Mengapa yang digunakan kosmetik? Dan bagaimana kosmetik memainkan peran dalam menambah kesan penguatan atas identitas diri perempuan adalah hal yang menarik untuk di bahas. Lalu, pada tahap ini, pernyataan tentang "makeup hanya digunakan oleh perempuan yang tidak percaya diri" menemukan pembelaannya. Bagaimana tidak? Barangkali, mayoritas perempuan yang ada di media sosial Anda, tampaknya pernah melakukan tantangan ini. Lepas dari apa motif mereka melakukan tantangan itu, entah karena alasan mengisi waktu luang di masa karantina, mengusir kebosanan, mengikuti tren, menjadi tidak penting lagi sebab hubungan kausalitas itu tidak merubah apapun kecuali kesan subjektivitas. Sederhananya, perempuan selalu ingin tampil cantik.

Apa yang salah dari keinginan untuk selalu tampil cantik? Tidak ada. Sebab secara naluriah semua manusia menginginkan itu, termasuk laki-laki: tampan. Tapi yang lebih menarik untuk dibedah adalah dengan cara apa konstruksi kecantikan diwacanakan perempuan sebagai agen tunggal penentu kebijakan. Ingin tampil cantik atau terlihat cantik adalah sebuah kewajaran bagi setiap perempuan. Setiap perempuan menginginkan dirinya dipandang sebagai seseorang yang memikat. Ketertarikan bagi seorang perempuan salah satunya diukur dari penampilan fisik. Salah satu upaya untuk merias diri agar terlihat cantik dan menarik adalah dengan make up. Make up adalah seni merias wajah atau mengubah atau memoles bentuk asli dengan bantuan alat dan bahan kosmetik yang bertujuan untuk memperindah serta menutupi kekurangan sehingga wajah terlihat ideal. Penggunaan produk kosmetik inilah yang menjadi penting pada Pass the Brush Challenge itu.

Apa implikasi dari kesadaran terhadap penggunaan kosmetik bagi perempuan? Barangkali tidak ada, selain menguatnya konstruksi tentang standarisasi kecantikan. Saya ulangi, standarisasi kecantikan. Dan dalam hal ini, standarisasi kecantikan itu dibentuk oleh perempuan itu sendiri. Apa dampaknya? Barangkali kita mafhum, perempuan tentu berbeda dan makna kecantikan bagi setiap wanita tidaklah sama. Setiap perempuan, tentu tidak ingin dibandingkan dengan siapapun atau bahkan apapun. Kesadaran ini tertanam jauh di relung hati perempuan. Bahkan, kesadaran di atas seringkali digunakan sebagai bentuk perlawanan kepada laki-laki yang (katanya) sering membanding-bandingkan perempuan.  

Akan tetapi, sadar maupun tidak, perempuan memang dikonstruksi lewat banyak hal, terutama tentang standarisasi kecantikan. Apakah ini murni kesalahan perempuan? Tentu tidak. Laki-laki memang turut andil dalam merekonstruksi kecantikan pada perempuan. Wacana kecantikan dan feminitas tidak dapat dilepaskan dari konstruksi budaya patriarki yang memberikan kuasa kepada laki-laki untuk memberikan pengakuan atas feminitas perempuan di satu sisi dan perempuan selalu mencari pengakuan atas feminitasnya dari laki-laki di sisi lain.

Lepas dari keterlibatan laki-laki, sebetulnya, sejarah membuktikan dalam peradaban manusia, awal dari setiap ketertindasan suatu kelompok, dimulai atas dasar ketidakmampuan kelompok yang termarjinalkan untuk peka terhadap setiap hal yang dapat merugikan kepentingan kelompoknya. Dalam hal standarisasi kecantikan ini, diri perempuanlah yang paling bertanggungjawab selaku subjek tunggal. Sebelum terlalu jauh, mengapa standarisasi kecantikan ini dapat dikatakan membawa dampak negatif bagi perempuan?

Barangkali kita semua lazim mendengar istilah "Gerakan Feminisme". Feminisme tidak hanya menjadi paham, tetapi telah menjadi filosofi hidup bagi sebagian perempuan. Perempuan disebut feminis ketika ia punya kesadaran bahwa ada konstruksi sosial di budaya patriarki yang merugikan perempuan. Ketika perempuan sudah mulai sadar mengalami ketidakadilan hanya karena mereka perempuan, maka disitulah mereka memegang nilai-nilai feminis. Sederhananya, kaum feminis berusaha melabrak status quo yang telah mengakar dan mengerdilkan eksistensi perempuan.

Salah satu hal yang ditolak kaum feminis adalah wacana standarisasi kecantikan. Standarisasi kecantikan ini menjadikan perempuan tidak memiliki otoritas atas tubuh. Mereka terbelenggu dalam wacana kebebasan yang sebenarnya mendorong perempuan untuk saling menjatuhkan. Implikasinya, masyarakat, khususnya perempuan, sudah terlanjur memesan pesona kecantikan perempuan yang dilumuri bahan kimia di wajahnya, lipstik di bibirnya, pipi kemerah-merahan, alis badai dan sebagainya, sebagai standarisasi kecantikan. Ini tentu buruk, terutama bagi perempuan.

Menilik kembali semangat feminisme, bahwa kesadaran perempuan adalah kunci melawan peradaban. Namun, saat perempuan di satu sisi berusaha mendobrak konstruksi sosial yang dapat merendahkan martabat perempuan, di sisi yang lain, perempuan juga turut serta dalam membangun konstruksi yang makin mengekang kemerdekaan perempuan. Hal inilah yang disebut Marx sebagai kesadaran palsu. Kesadaran palsu adalah ketikdakmampuan suatu kelas sosial untuk menyadari ketertindasan atas perilakunya. Sederhananya, kesadaran palsu ini mencakup lemahnya pengetahuan nyata atau sebuah wujud ketidakpedulian atas sebab-sebab yang memengaruhinya. Dan kesadaran palsu ini, barangkali masih hinggap dalam diri beberapa perempuan.

Barangkali, pemikiran perempuan konservatif, ada sesuatu yang hilang pada tubuh dan harus dilengkapi, kenapa perempuan sampai kepada pemahaman itu? Faktor eksternal atau sebut saja kapitalislah yang menyuap mereka dengan sugesti, bahwa diri mereka hanya ditemukan pada apa yang mereka konsumsi, bukan pada apa yang dihasilkan. Lalu imaji-imaji yang seksis diciptakan perempuan berupa wajah yang ideal dan menarik sebagai simbol kecantikan lewat berbagai pernak-pernik kosmetik dan kegiatan lain yang menambah kesan eksotis. Fenomena ini membawa keanehan tersendiri, perempuan berusaha melengkapi sesuatu yang hilang dalam diri dan menjadikan sesuatu yang di luar dirinya sebagai pengganti.

Lalu bagaimana perempuan akan keluar dari kungkungan realitas ini? Mengimani semangat feminisme, perempuan harus sadar dan peka terhadap segala aspek yang berpotensi mengekang kemerdekaan perempuan. Perempuan harus bisa meninggalkan setiap hal yang coba mereduksi dan menimbulkan jurang perbedaan dalam diri perempuan. Selanjutnya, perempuan memang harus menyadari betapa Tuhan menganugerahkan kesempurnaan pada setiap diri mereka. Perempuan harus menegaskan bahwa kecantikan berasal dari dalam diri sendiri, bukan dari luar diri  sebagai usaha melawan standarisasi kecantikan yang monoton.

Jika hal demikian dapat dilakukan, semangat feminisme bukanlah mimpi di siang bolong. Terwujudnya tatanan kehidupan yang setara tentu perlu dimulai dari hal-hal sederhana. Jika mengutip dari Simon de Beauvior, salah seorang filsuf feminis-eksistensialis bahwa "Jenis kelamin adalah produk biologis yang tidak memihak pada salah satu komponen, baik laki-laki maupun perempuan, tapi gender adalah produk sosial yang membuat laki-laki cenderung di atas perempuan".

Seyogianya, perempuan dan laki-laki punya tanggung jawab yang sama dalam mematahkan konstruksi sosial yang telah mapan tentang jurang pemisah antara kedua kelompok sosial. Lebih lagi bagi perempuan, mereka punya beban sosial yang lebih tinggi, sebab kunci kesetaraan ada di dalam genggamannya. Akan tetapi, sekali lagi, menyadur pernyataan Soe Hok Gie "perempuan akan selalu di bawah laki-laki kalau yang dipikirkan hanya baju dan kecantikan".

Catatan:

*berugaq = bangunan berupa panggung terbuka dengan empa atau enam tiang beratap berbentuk seperti lumbung

*ciwi - ciwi =  sebutan atau istilah lain untuk menyebut perempuan  

4 komentar:

  1. Memberi kesempatan pada perempuan yang mengungkapkan perasaannya pada lelaki semestinya adalah keharusan untuk org yg menyuarakan feminisme ��

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lha ngapain perlu dikasih kesempatan? Kesempatan selalu ada, Gon, di sini ceweknya yang mesti ditarik dari "kesadaran palsu" supaya nggak lagi gengsian 😂

      Hapus
  2. gagasan lama yang masih selalu menarik (dan perlu) untuk terus ditulis. bisa tuh jadi bahan obrolan ciwi-ciwi di kampus 🥂

    BalasHapus
  3. Kesadaran palsu selalu menjadi momok menakutkan andaikata semua orang mampu menyadarinya. Hanya saja, sayang sekali, hal itu berada di antara bayang-bayang yang cenderung silap di mata.

    BalasHapus