Cerpen - LPM Pena Kampus

Goresan Penamu Runtuhkan Tirani

Breaking

Sabtu, 06 Oktober 2012

Cerpen


ANUGERAH TERINDAH YANG BUKAN UNTUKKU
By: St. Nurwahidah (PPKn/2011)


                  Keindahan itu ada dan sempurna saat teduh mata bintangmu tertatap. Bening hadirmu bekukan gundah, lumerkan resah. Hadirmu tak terduga, melintas di depanku begitu saja. Paksa nurani untuk mencarimu. Namun tak ada yang dapat kulakukan. Takdir telah berkata lain. Maut telah berkuasa. Tak ada lagi teduh mata bintangmu yang kutatap. Tak ada lagi bening hadirmu. Yang tersisa hanyalah air mata, yang terkuak hanyalah penyesalan.
                     Sore itu, mendung putih yang setengah jam lalu menggantung di atap langit sebelah utara kini berubah gelap. Angin lembut berubah garang dengan kekuatannya yang membuat dedaunan akasia berguguran satu persatu. Tetesan gerimis mulai turun membasuh tanah yang seperti berteriak bersyukur diberi kesejukan oleh Sang Pencipta setelah dari pagi dihujani angkuhnya terik sang bagaskara.
               Gerimis senja telah berubah menjadi hujan deras. Kecipak air terdengar saat bulir-bulir hujan yang membentuk bola kristal mungil itu bergulir dari daun akasia, lalu kemudian luruh jatuh di atas rerumputan. Dua ekor burung dara putih yang tadi asyik bercengkrama di salah satu dahan, kini kembali dalam sarangnya yang hangat. Demikian juga orang-orang tadi yang banyak di pantai itu semuanya berhamburan, pulang menjauh dari guyuran hujan dan dekapan udara dingin yang mulai membungkus kulit.
               Tapi, aku masih tegak berdiri menatap langit. Menikmati setiap tetesan hujan yang jatuh menyapu wajahku. Hujan. Begitu banyak kenangan indahku bersama hujan. Anganku kemudian mengembara, kembali pada satu bulan yang lalu.
Kriiiiinnngg……!! Kriiiinnnggg…!
Dering suara ponsel membangunkan aku dari mimpi indahku. Dengan gontai aku meraih ponsel di atas meja belajar. Ada panggilan masuk dari Deni.
               “ Moshi…moshi….” jawabku.
               “ Ayo banguuunnnn…..!! dasar pemalas..! “ ujarnya ketus.
               “ Aduuuhh… apaan sih?? Pagi-pagi sudah teriak. Kenapa? “ tanyaku tak kalah ketusnya.
               “Nanti sore aku jemput yah ” jawab Deni.
               “ Iyah…iyah… selalu buat janji mendadak… shhhhh..” desisku.
               Deni adalah kekasihku. Sudah lebih dari satu tahun kami memadu kasih. Tak hanya telepon dan sms yang mengalir deras, Deni kerap kali terlihat di halaman rumahku. Sore, ketika senja memerah scarlet, Deni datang menjemputku. Tak lupa sebatang Cadburry digenggamannya.
               “ Ayo dong cepetan! Sunset keburu hilang tuh…” celoteh manjaku terdengar riuh saat roda mobil Deni menginjak pasir pantai. Aku sangat menyukai pantai. Aku begitu cinta dengan debur ombak yang seperti membanting pesan untukku. Tak heran Deni selalu mengajakku kesana. Sekedar untuk melihat sunset ataupun mencari inspirasi ketika kami kehilangan denyut semangat.
               Deni hanya tersenyum melihatku. Blits kameranya mengikuti setiap gerakanku. Dibiarkannya aku berlari kecil menuju riakan air pantai yang putih.
               “ Sayang, jika ada yang ingin kamu minta dariku, katakanlah! Aku pasti memenuhinya.” ucapku dengan wajah menggoda dan seringai senyum jenaka. Deni hanya tersenyum memandangku.
               “ Aku cuma mau bilang kalau aku cinta banget sama kamu, makanya aku mau jadiin kamu sandal jepit aku.. “ jawabnya diiringi tawa.
               “ Masa sandal jepit sih?? Uugh, nggak romantic banget!” ujarku jutek.
               “ Jangan ngambek dong… walaupun sandal jepit, yang terpenting setianya….” Hiburnya sembari menarik ujung hidungku. Aku kemudian memeluknya manja.
               “ Janji yah, apapun yang terjadi kita nggak akan terpisah. Biarlah Tuhan yang akan memisahkan kita “ ucapku manja.
               “ Iyah. Aku janji! Aku bersumpah takkan pernah meninggalkanmu apapun yang terjadi.. “.
               Aku sangat mencintai Deni. Kami selalu terlihat mesra. Kemesraan kami pun kerap membuat pasangan lain merasa iri. Tidak heran juga, banyak orang yang ingin merusak hubungan kami. Tapi kami tak pernah memikirkannya. Bagi kami, kepercayaan dan kejujuran adalah kunci utama kebahagiaan.
               Tibalah moment terpenting dalam hidup kami. Hari itu, tepat peringatan Anniversari kami yang ke-4 tahun. Seperti biasa, saat senja merah scarlet, Deni menjemputku. Deru suara mobil sport merahnya terhenti pada pelataran pasir pantai. Deni membiarkanku membuka sendiri pintu mobil dan berlari kecil menjajali pasir pantai. Deni melangkah mengikutiku. Ia tersenyum namun matanya memancarkan keseriusan.
               “ Kita harus berpisah..” ucapnya tiba-tiba.
               “ Orang tuaku tidak merestui hubungan kita…” lanjutnya.
               Aku terdiam. Bingung dan tak percaya dengan apa yang kudengar. Sedetik kemudian, beribu pertanyaan terpatri kuat dalam otakku. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa begini?. Aku hanya mampu terdiam menanti setiap kaliamat yang terlontar dari bibir manisnya.
               “ Maafkan aku, sayang. Hubungan kita harus diakhiri. Aku tidak ingin menjadi anak yang durhaka. Di sisa hidupku, aku ingin membahagiakan kedua orang tuaku. Maaf untuk janji yang teringkari. Maaf untuk sumpah yang terdustai “ ujarnya dengan suara bergetar.
               Aku tak bergeming. Hanya mampu memandang debur ombak yang terus membanting pesan kehidupan. Tak terasa bulir air menetas menuruni pipiku. Lidahku kelu. Hatiku pun berdarah mendengar ucapannya. Aku memandang wajahnya, namun tak kuasa tuk menatap matanya.
               “ Tapi… tapi kenapa? Apa salahku? Apa karena aku tidak seperti kalian? Apa aku begitu hina sehingga mereka tidak menyukaiku? ” tanyaku dengan berderai airmata.
               “ Bukan begitu. Aku mungkin bukan yang terbaik untukmu. Tapi demi Tuhan dan demi Dhenu, aku sangat mencintaimu” jawabnya. Dhenu adalah sebutan bagi cinta kami. Cinta yang begitu aku agungkan. Cinta yang begitu aku jaga. Aku kemudian ambruk mendengar ucapannya. Kini aku bersimpuh. Duduk terdiam pada pasir yang basah.
               “ Jika memang kau bahagia dengan perpisahan ini, aku tak mengapa. Biarlah aku yang mengalah demi kebahagiaanmu. Tapi cinta dan sayang yang sudah ada ini, akan selalu ada untukmu..” jawabku getir.
               Malamnya, ketika jarum jam tepat pukul 01.38 WITA, aku melihat layar HP-ku. Ada inbox dari Deni. Aku yang terluka karena perpisahan tadi membuatku begitu bersemangat membaca pesannya. Berharap ia berubah pikiran.
               “ Sayang, aku minta maaf untuk perpisahan ini. Aku berharap kamu tidak membenciku. Jangan pernah menyesali pertemuan kita. Ini semua di luar kehendakku. Ijinkan aku berbakti pada orang tuaku. Aku tidak ingin melukainya dan aku juga tidak sanggup berpisah denganmu. Namun, pada akhirnya kini kita harus berpisah. Maafkan aku. Terima kasih untuk semua cinta dan kebahagiaan yang telah kau berikan untukku selama ini. Aku mencintaimu dan aku takkan pernah melupakanmu. Salam terakhir.. “ kalimat itu yang Deni kirim untukku.
               Aku menagis membaca pesan darinya. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku menatap pantulan diriku di kaca yang tergantung apik pada dinding biru kamarku. Ada perasaan benci yang timbul dalam hatiku. Aku benci pada diriku sendiri. Aku benci pada hatiku yang telah terlanjur mencintainya. Setiap detik, perasaan sakit itu mengikat kuat jiwaku. Aku tak tahu, apakah aku sanggup melewatinya?? Sanggupkah aku melewati hari tanpa sapaan mesra darinya?? Aku tak tahu. Imajinasiku tak beraturan. Aku seperti melihat bayanganku menertawakan penderitaanku. Semakin lama, suara tawanya pun semakin keras. Menggelegar menyumbat pendengaranku. Dan akhirnya, aku tak kuasa.
            “ Praaaaaaaaaaaaaannggkkk!!!!! “ serpihan –serpihan kaca berserakan di lantai kamarku.
Aku menghela nafas panjang. Hujan sudah mulai reda. Matahari senjapun perlahan menghilang. Ujung mataku kini sudah dihiasi dua bulir air mata yang kemudian jatuh menimpa sebuah potret diriku dan Deni. Dibagian belakang potret itu tertulis kalimat, “ Nuri, jika kamu memegang potret ini, berarti aku sudah bukan milikmu lagi. Tapi ketahuilah, aku mencintaimu dan aku ingin kamu tetap jadikan aku sebagai anugerah terindah untukmu “. Potret itu diberikan Deni tepat pada peringatan hari jadian kami.
               “ Kau memang bukan untukku. Kau adalah anugerah terindah yang bukan untukku…” gumamku sembari berjalan meninggalkan pantai yang menyimpan begitu banyak kenangan indah kami.

                                                                                                            Mataram, 04 Agustus 2012
                                                                        ( Untuk Dhenu, Cinta sederhana aku dan kamu )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar