ANUGERAH TERINDAH YANG
BUKAN UNTUKKU
By:
St. Nurwahidah (PPKn/2011)
Keindahan itu ada dan sempurna saat teduh mata
bintangmu tertatap. Bening hadirmu bekukan gundah, lumerkan resah. Hadirmu tak
terduga, melintas di depanku begitu saja. Paksa nurani untuk mencarimu. Namun
tak ada yang dapat kulakukan. Takdir telah berkata lain. Maut telah berkuasa.
Tak ada lagi teduh mata bintangmu yang kutatap. Tak ada lagi bening hadirmu.
Yang tersisa hanyalah air mata, yang terkuak hanyalah penyesalan.
Sore itu, mendung
putih yang setengah jam lalu menggantung di atap langit sebelah utara kini
berubah gelap. Angin lembut berubah garang dengan kekuatannya yang membuat
dedaunan akasia berguguran satu persatu. Tetesan gerimis mulai turun membasuh
tanah yang seperti berteriak bersyukur diberi kesejukan oleh Sang Pencipta
setelah dari pagi dihujani angkuhnya terik sang bagaskara.
Gerimis senja telah berubah
menjadi hujan deras. Kecipak air terdengar saat bulir-bulir hujan yang
membentuk bola kristal mungil itu bergulir dari daun akasia, lalu kemudian
luruh jatuh di atas rerumputan. Dua ekor burung dara putih yang tadi asyik
bercengkrama di salah satu dahan, kini kembali dalam sarangnya yang hangat.
Demikian juga orang-orang tadi yang banyak di pantai itu semuanya berhamburan,
pulang menjauh dari guyuran hujan dan dekapan udara dingin yang mulai
membungkus kulit.
Tapi, aku masih tegak berdiri
menatap langit. Menikmati setiap tetesan hujan yang jatuh menyapu wajahku.
Hujan. Begitu banyak kenangan indahku bersama hujan. Anganku kemudian
mengembara, kembali pada satu bulan yang lalu.
Kriiiiinnngg……!!
Kriiiinnnggg…!
Dering
suara ponsel membangunkan aku dari mimpi indahku. Dengan gontai aku meraih
ponsel di atas meja belajar. Ada panggilan masuk dari Deni.
“ Moshi…moshi….” jawabku.
“ Ayo banguuunnnn…..!! dasar
pemalas..! “ ujarnya ketus.
“ Aduuuhh… apaan sih?? Pagi-pagi
sudah teriak. Kenapa? “ tanyaku tak kalah ketusnya.
“Nanti sore aku jemput yah ”
jawab Deni.
“ Iyah…iyah… selalu buat janji
mendadak… shhhhh..” desisku.
Deni adalah kekasihku. Sudah
lebih dari satu tahun kami memadu kasih. Tak hanya telepon dan sms yang
mengalir deras, Deni kerap kali terlihat di halaman rumahku. Sore, ketika senja
memerah scarlet, Deni datang menjemputku. Tak lupa sebatang Cadburry digenggamannya.
“ Ayo dong cepetan! Sunset keburu
hilang tuh…” celoteh manjaku terdengar riuh saat roda mobil Deni menginjak
pasir pantai. Aku sangat menyukai pantai. Aku begitu cinta dengan debur ombak
yang seperti membanting pesan untukku. Tak heran Deni selalu mengajakku kesana.
Sekedar untuk melihat sunset ataupun mencari inspirasi ketika kami kehilangan
denyut semangat.
Deni hanya tersenyum melihatku.
Blits kameranya mengikuti setiap gerakanku. Dibiarkannya aku berlari kecil
menuju riakan air pantai yang putih.
“ Sayang, jika ada yang ingin
kamu minta dariku, katakanlah! Aku pasti memenuhinya.” ucapku dengan wajah
menggoda dan seringai senyum jenaka. Deni hanya tersenyum memandangku.
“ Aku cuma mau bilang kalau aku
cinta banget sama kamu, makanya aku mau jadiin kamu sandal jepit aku.. “
jawabnya diiringi tawa.
“ Masa sandal jepit sih?? Uugh,
nggak romantic banget!” ujarku jutek.
“ Jangan ngambek dong… walaupun
sandal jepit, yang terpenting setianya….” Hiburnya sembari menarik ujung
hidungku. Aku kemudian memeluknya manja.
“ Janji yah, apapun yang terjadi
kita nggak akan terpisah. Biarlah Tuhan yang akan memisahkan kita “ ucapku
manja.
“ Iyah. Aku janji! Aku bersumpah
takkan pernah meninggalkanmu apapun yang terjadi.. “.
Aku sangat mencintai Deni. Kami selalu
terlihat mesra. Kemesraan kami pun kerap membuat pasangan lain merasa iri.
Tidak heran juga, banyak orang yang ingin merusak hubungan kami. Tapi kami tak
pernah memikirkannya. Bagi kami, kepercayaan dan kejujuran adalah kunci utama
kebahagiaan.
Tibalah moment terpenting dalam
hidup kami. Hari itu, tepat peringatan Anniversari kami yang ke-4 tahun.
Seperti biasa, saat senja merah scarlet, Deni menjemputku. Deru suara mobil
sport merahnya terhenti pada pelataran pasir pantai. Deni membiarkanku membuka
sendiri pintu mobil dan berlari kecil menjajali pasir pantai. Deni melangkah
mengikutiku. Ia tersenyum namun matanya memancarkan keseriusan.
“ Kita harus berpisah..” ucapnya
tiba-tiba.
“ Orang tuaku tidak merestui
hubungan kita…” lanjutnya.
Aku terdiam. Bingung dan tak
percaya dengan apa yang kudengar. Sedetik kemudian, beribu pertanyaan terpatri
kuat dalam otakku. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa begini?. Aku hanya mampu
terdiam menanti setiap kaliamat yang terlontar dari bibir manisnya.
“ Maafkan aku, sayang. Hubungan
kita harus diakhiri. Aku tidak ingin menjadi anak yang durhaka. Di sisa
hidupku, aku ingin membahagiakan kedua orang tuaku. Maaf untuk janji yang
teringkari. Maaf untuk sumpah yang terdustai “ ujarnya dengan suara bergetar.
Aku tak bergeming. Hanya mampu
memandang debur ombak yang terus membanting pesan kehidupan. Tak terasa bulir
air menetas menuruni pipiku. Lidahku kelu. Hatiku pun berdarah mendengar
ucapannya. Aku memandang wajahnya, namun tak kuasa tuk menatap matanya.
“ Tapi… tapi kenapa? Apa salahku?
Apa karena aku tidak seperti kalian? Apa aku begitu hina sehingga mereka tidak
menyukaiku? ” tanyaku dengan berderai airmata.
“ Bukan begitu. Aku mungkin bukan
yang terbaik untukmu. Tapi demi Tuhan dan demi Dhenu, aku sangat mencintaimu”
jawabnya. Dhenu adalah sebutan bagi cinta kami. Cinta yang begitu aku agungkan.
Cinta yang begitu aku jaga. Aku kemudian ambruk mendengar ucapannya. Kini aku
bersimpuh. Duduk terdiam pada pasir yang basah.
“ Jika memang kau bahagia dengan
perpisahan ini, aku tak mengapa. Biarlah aku yang mengalah demi kebahagiaanmu.
Tapi cinta dan sayang yang sudah ada ini, akan selalu ada untukmu..” jawabku
getir.
Malamnya, ketika jarum jam tepat
pukul 01.38 WITA, aku melihat layar HP-ku. Ada inbox dari Deni. Aku yang
terluka karena perpisahan tadi membuatku begitu bersemangat membaca pesannya.
Berharap ia berubah pikiran.
“ Sayang, aku minta maaf untuk
perpisahan ini. Aku berharap kamu tidak membenciku. Jangan pernah menyesali
pertemuan kita. Ini semua di luar kehendakku. Ijinkan aku berbakti pada orang
tuaku. Aku tidak ingin melukainya dan aku juga tidak sanggup berpisah denganmu.
Namun, pada akhirnya kini kita harus berpisah. Maafkan aku. Terima kasih untuk
semua cinta dan kebahagiaan yang telah kau berikan untukku selama ini. Aku
mencintaimu dan aku takkan pernah melupakanmu. Salam terakhir.. “ kalimat itu
yang Deni kirim untukku.
Aku menagis membaca pesan
darinya. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku menatap pantulan diriku
di kaca yang tergantung apik pada dinding biru kamarku. Ada perasaan benci yang
timbul dalam hatiku. Aku benci pada diriku sendiri. Aku benci pada hatiku yang
telah terlanjur mencintainya. Setiap detik, perasaan sakit itu mengikat kuat
jiwaku. Aku tak tahu, apakah aku sanggup melewatinya?? Sanggupkah aku melewati
hari tanpa sapaan mesra darinya?? Aku tak tahu. Imajinasiku tak beraturan. Aku
seperti melihat bayanganku menertawakan penderitaanku. Semakin lama, suara
tawanya pun semakin keras. Menggelegar menyumbat pendengaranku. Dan akhirnya,
aku tak kuasa.
“
Praaaaaaaaaaaaaannggkkk!!!!! “ serpihan –serpihan kaca berserakan di lantai
kamarku.
Aku
menghela nafas panjang. Hujan sudah mulai reda. Matahari senjapun perlahan
menghilang. Ujung mataku kini sudah dihiasi dua bulir air mata yang kemudian
jatuh menimpa sebuah potret diriku dan Deni. Dibagian belakang potret itu
tertulis kalimat, “ Nuri, jika kamu memegang potret ini, berarti aku sudah
bukan milikmu lagi. Tapi ketahuilah, aku mencintaimu dan aku ingin kamu tetap
jadikan aku sebagai anugerah terindah untukmu “. Potret itu diberikan Deni
tepat pada peringatan hari jadian kami.
“ Kau memang bukan untukku. Kau
adalah anugerah terindah yang bukan untukku…” gumamku sembari berjalan
meninggalkan pantai yang menyimpan begitu banyak kenangan indah kami.
Mataram,
04 Agustus 2012
(
Untuk Dhenu, Cinta sederhana aku dan kamu )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar