Musim panas
di bulan agustus, pulau Lombok terasa sangat panas karena pembangunan yang tak
henti dilakukan oleh pemerintah profinsi NTB membuat yang berkendara dengan
roda dua akan merasa kulitnya terbakar tersengat panasnya matahari. Hmm ini
mengingatkan aku tentang masa mudaku yang indah bersama suamiku tercinta yang
dulunya kami adalah sepasang muda mudi yang dimabuk asmara tanpa ikatan yang
jelas. Tahun ini juga aku bersama suamiku, yang berbeda hanya kami ditemani
oleh sahabatku yang sekaligus maduku, istri ke dua suamiku. Hahaha. Rasanya
lucu ketika aku yang meminta lia untuk menjadi istri kedua suamiku sendiri.
Hari itu
memang terasa dekat namun jauh, kadang penyesalan melintas dalam benakku tapi
tak sebanding dengan kebahagiaan yang aku peroleh dari mereka, dari para pendamping
hidupku yang selalu setia menemaniku walau terkadang harus adil dalam bagian
apapun. Aku menikmati indahnya berbagi bersama sahabat sekaligus guru mengajiku
sewaktu kuliah.
Entah apa
yang aku pikirkan setelah 3 tahun pernikahan kami, kami belum dikaruniai
seorang anak yang kami impikan ketika pacaran dulu. Mas ba’im suka membicarakan
tentang nama anak kami kelak, jika perempuan akan diberi nama rif’atul aisyah
dan laki-laki bernama muhammad arsyad, masa muda memang indah ya. Seperti kata
salah satu motifator saya semasa kuliah pak Mario teguh dalam acaranya golden
ways mengatakan “galaunya masa muda itu indah ya.” Ya memang benar yang beliau
katakan, karena masa muda kita sering memikirkan hal yang mustahil bersama
kekasih kita.
______############______
Ibrahim
dengan IPK 3,76 mendapat predikat kum
laut dalam program studi bahasa sastra Indonesia FKIP UNRAM, sedangkan aku
hanya mendapatkan IPK 3,44 di program studi PG PAUD. Kami lulus bersamaan pada
tanggal 22 agustus 2015. ketika orang tuanya begitu bangga maju bersamanya,
anadai aku bias seperti ia sewaktu kuliah, memanage waktu dengan baik dan penuh
perhatian ketika ia sedang menuntut ilmu. Hahaha, aku mengingat ketika ia
memarahiku karena aku mengganggu jam kuliahnya hanya karena sebuah SMS minta
bertemu. Yang begitu membuatku membanggakannya ialah ketegasannya dalam
kelembutannya.
Aku
mengenal Ibrahim al khaifan sejak sekloah menengah atas. Dengan sosok tinggi
kurus yang acak-acakan yang adalah ciri khasnya, dengan sosok yang penuh amarah
dan selalu mengeluh. Menganggap semua pekerjaan adalah hal yang berat dan
menyebalkan, entahlah apa yang pikirkan saat itu hanyalah bermain dan
bersenang-senang. Aku tidak mempedulikan dia atau mengenggap hubungan
bersamanya adalah serius, aku juga tidak berfikir kalau dia akan menjadi
suamiku. Yang ku fikir hanyalah dia seorang anak manusia yang tidak memiliki
hubungan kekerabatan sama sekali dengan keluargaku.
Ngomong
ngomong tentang keluarga, aku adalah henny wilya anak pertama dari 3
bersaudara, adik perempuanku nomer 3 adalah teman curahat setia dan sekaligus
musuhku di rumah. namanya suci rizkiana, seorang periang dan selalu membuatku
tersenyum dengan tigkahnya yang menggemaskan. Sedangkan adik laki-laki bernama
sasori kuchiki, nama yang kontrofersial ini sering membuatnya terganggu ketika
keluar rumah. Hahaha, aku selalu menjelaskan panjang lebar ketika ada seorang
temanku menanyakan namanya. Aku terlahir di keluarga sederhana, ayahku adalah
seorang pedagang toko kecil di kampung kami, dusun kekalik jaya ia sering
disapa dengan nama pak narto. Ibuku
seorang ibu rumah tangga yang baik hati dan adil dalam kasih sayang
menurutku, para tetangga sering menyapanya dengan nama kecilnya bu hur.
Kehidupan
sederhana dan rumah tangga yang damai yang aku rasakan dalam keluarga kecil
ini. Tentang sosialisasi GenRe yang disosialisasikan BkkbN menurutku inilah
dia, dengan keluarga yang harmonis dan bahagia, walau anaknya 3, lebih 1 kan gak
papa, hehe. mengawali hari dengan memasak air panas untuk 5 gelas the hangat
dan menggoreng beberapa ubi yang diberikan papuk uti, tetangga sebelah. Liat
papuk uti, ia tua renta namun penuh dengan senyuman yang membuatku selalu
bahagia dan mencium pipinya jika berjumpa, seraya menunggu air matang, time for
imagination :D, membuat percakapan dalam kepala sendiri dan merenungi apa yang
sebenarnya tak ku butuhkan, hihi.
“lihat ia,
tua, renta namun penuh senyum, dan selalu memberi tanpa mengharap imbalan,
sedangkan kau? Muda dan penuh rasa mengeluh.”
“Hey itu bukan
aku, mas baim yang mengajarkannya.!”
“kamu yakin
kalau baim yang mengajarkannya? Apa mungkin kamu yang membuat baim selalu
mengeluh?”
“tidak-tidak,
dia selalu bahagia jika bersamaku, tapi. . .”
“ya, tapi
baim tak pernah mengeluh jika ia tidak bersama kamu.”
“Ttttttuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuutttt.
. .”
“anih, ini
suara kentutmu apa suara air mendidih sih?”
“kamu ni
suci, ganggu orang menghayal aja, bantu tu, buatin semuanya teh.”
“giliranmu
week… :P” sambil memukul bokongnya ke hadapanku.
Seraya
melempar sendalku ke arahnya, “ii…. Dasar adik durhaka.”
Pagi yang
ramai itu serasa damai dalam hatiku, dengan segelas the hangat di masing-masing
tangan, perbincangan keluarga yang begitu hangat, aku serasa tak ingin
meninggalkan mereka. Apa kelak aku harus meninggalkan ini semua? Apakah aku
harus meninggalkannya untuk seorang pria? Apakah ia? Aku tak mau, aku ingin ini
untuk selamanya. Di pangkuan ibu yang begitu hangat dan belaian ayah yang
begitu nyaman dan celotehan adik-adikku yang begitu riang “anak manja :P” walau
kata sindiran yang keluar dari bibir mereka tapi aku tahu hati mereka
sebenarnya iri.
“kamu sudah
berumur 21 tahun nak, kelak setelah menikah kau akan meninggalkan kami.”
Kata yang
tiba-tiba diucapkan ibu membuat suasana gaduh menjadi sepi, semua memandang
kepadaku dan akupun terbangun dari pangkuan ibu, mengapa mata itu seperti ingin
mangusirku, mata-mata itu, mereka semua melihatku. Apa yang barusan ibu
ucapkan?
“ibu bilang
apa tadi?”
“kan bentar
lagi kamu nikah.” Suci menyaut.
“eh? Ngawak
anak ini, siapa ngajarin nyantut?”
“ia itu
katanya ibu tadi.” Sasori memperjelas, aku tahu kali ini aku tak salah dengar
dan percaya, ia masih begitu polos, mana mungkin ia berbohong.
“benarkah
bu? Tapi henny gak mau, biar dah henny 10 tahun lagi hidup seperti ini,
hhmmmm.”
“kamu mau
jadi perawan tua nak?”
“bapak ini
lagi, kalo udah datang jodoh henny, henny nikah dah.”
*******
“baiklah,
sampai sini dulu materi perkuliahan kita hari ini, ada pertanyaan sebelum
minggu depan kita ujian? Ya kamu lia.”
“begini
pak, sebelumnya assalamu’alaikum warahmatullah wabarokatuh, terimakasih atas
kesempatan yang diberikan kepada saya, saya ingin menanyakan tentang materi
yang sebelumnya. . . . “
Lia
Yuliatin, sahabatku dari kami masuk kuliah, begitu cerdas dalam berbicara,
kritis dan pintar dalam berdebat, melihatnya memberikan pertanyaan kepada dosen
kami membuatku semakin kagum akan kecerdasan berbicaranya, lulusan pondok
pesantren dan aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia membuatnya
semakin terlihat anggun dihadapanku. Jilbab yang terurai panjang dan warna
gamis biru putih favorit yang ia kenakan hari itu menambah pesona para ikhwan
ku yakin. Hihi, keteguhannya untuk tidak pacaran yang kadang membuatku malu
mengenalkan mas baim padanya. Scara mas baim kan pacar gue. Walau ia sudah tahu
kalau kami pacaran, ia kadang menggodaku atau tepatnya menceramahiku kali ya,
menceramahiku untuk tidak berpacaran lagi, taapi entahlah, rasanya hati ini
tidak kuat untuk berpisah dengan mas baim.
“Apa
jawaban dosen tentang pertanyaanmu tadi?”
“beliau
bilang, kalau kamu punya anak langsung saja praktikan teori itu.”
“hahaha,
ii.. dosen aneh, jadi inget kata ibu tadi pagi.”
“emang
ibumu bilang apa?”
“saya nikah
bentar lagi katanya, mmm, gak mau saya, kan saya masih pingin manja-manja sama
ibu.”
“ya bagus
sih, siapa bilang setelah nikah kamu gak bisa manja-manja sama ibumu? Lagian
daripada kamu pacaran gak jelas sama baim kayak gini, emang baim udah ngelamar
kamu?”
“adu lia. .
. . please deh, kita kan masih kuliah, loe pikir nikah bisa segampang itu?”
“insyaAllah
dimudahkan loh, kalo kita niatnya baik itu, coba tanya baim cepet. Siapa tahu
dia udah siap, cie cie yang mau nikah.”
“apa
cobak.” Pipiku mulai memerah sembari menepuk bahunya.
Menghabiskan
waktu di kos lia sambil belajar mengaji dan memperbaiki tartil bacaan Qur’an
yang masih morat-marit seperti bayi yang baru belajar berbicara, jika mas baim
mengibaratkan memperbaiki tartil ucapan arab seperti belajar fonologi,
terkadang ia terus mengoceh tentang matakuliahnya yang tidak aku mengerti sama
sekali, ia mengambil kaca spion motornya dan memberikannya padaku seraya
berkata
“Liat
bibirnya, bilang “ba” ,yang mana mendekati yang mana?”
“bibir
bawah itu gerakannya ke atas deketin bibir atas.”
“nah itu,
yang bergerak namanya articulator dan yang diam namanya titik artikulasi dan
huruf bilabial itu jika blab la bla.”
Membosankan
ketika ia mulai mengembangkan pembicaraan tentang kecerdasannya, sebenarnya aku
ingin mengucapkan “mas, saya nggak ngerti, udah apa, lainan diomongin.” Namun
melihatnya bahagia dan membuatnya merasa cerdas adalah kebahagiaan buatku.
Mungkin benar yang dikatakan shahrukh kan dalam film rabb ne bana de Jodi
“cinta tak memiliki rasa sakit.” Inilah yang aku rasakan, sakit akan kebosanan tak
terasa juga walau harus berjam-jam mendengar kuliah dari mas baim tentang
kebanggaannya yang sering ia sebut Linguistik.
“kho.
Khakhikhu bakh, khukhan khanikhakhnaminalmukhni makhikhan khanikhakha.”
“bukan
seperti itu nny, gini, suara tenggorokan bagian atas.”
“khoo ohk
ohk,”
“bukan
suara batuk, kamu gak bisa serius ah, males saya ngajarin.”
“ayo apa
lia, janji dah saya serius, mas baim gak terima istri gak bisa ngaji kayak
saya, kamu mau saya batal nikah?”
“ele,
alesannya, makanya sekarang telfon baim bilang lamar saya baru saya mau
ngajarin lagi.”
“eh? Mana
bisa, kita kan masih kuliah, masih semester 6 lagi.”
“gapapa,
emang ada aturan kampus bilang “DILARANG MENIKAH BAGI MAHASISWA?”
“mmmm, , ,
saya cobak aja ya? Hehe, menurut lia kalo saya nanyain nikah sekarang ke mas
baim apa responnya dia?”
“kalo dia
cowok dia pasti bilang ia, tapi kalo dia bencong dia bilang “kita pacaran
dulu”.”
“kamu ni,
gak ada tawaran lain apa selain saya putus sama baim?”
“itu kan
nikah sayangku yang imyuutt.” Seraya mencubit kedua pipku.
“iii… sakit
tau,”
“cie merah
pipinya yang mau nikah.”
“bukan ini
bekas cubitan.” Menutup pipiku yang memerah menahan malu.
Berselang
beberapa detik, dering cerrybelle yang waktu itu popular tiba-tiba terdengar
dari ponselku, aku tersenyum nyengir melihat gelengan lia yang heran mendengar
dering itu. Sekali lagi aku melihat betapa cantiknya sahabtku ini, dengan
rambut yang lurus dan kulit yang putih mulus, kadang aku iri, namun ayolah
seseorang di sana menunggu jawaban telfonmu jadi taka da waktu untuk iri saat
ini.
“mas baim?”
“angkat
hen, siapa tau yang kita bicarakan telah tiba,ayo angkat!”
“baik,
tapi, ambilin minum, saya gugup ni.”
assalamu’alaikum
warahmatullah wabarokatuh, mas, tumben nelfon ada apa? Ia, kenapa? Adek gak
salah denger kan mas? Mas? Mas yakin dengan keputusan ini? Ia kalau begitu itu
keputusan terbaik yang mas buat saya terima, assalamu’alaikum warahmatullah
wabarokatuh.
Mungkin
langit ini pecah? Apakah matahari terbit dari barat? Air mataku tak terasa
mengalir deras, seakan taka da kehidupan setelah aku menutup telfon tadi,
melihat sekelilingku seperti efek blur air yang ada di program edit foto, samar
dan hitam, aku tak memikirkan apapun bahkan tak mengerti apa yang aku tangisi,
mencekam, seperti fonis hukuman mati yang dibacakan hakim kepada terdakwa dalam
pengadilan, menyesal dan terluka, lumpuh tak berdaya. Lia yang kembali dari
dapur meloncat menepuk bahuku sembari berkata.
“hey,
gimana de. . . kamu kenapa menangis?”
Aku hanya
bisa menggeleng dan memeluknya dengan erat, menangis sejadi-jadinya. Aku tak
menyangka hal ini yang akan terjadi, apa salahku selama ini? Kenapa mas baim
begitu kejam kepadaku, aku tahu ia tak sejahat itu, aku tahu ia mencintaiku,
tapi itu yang aku tahu, ternyata banyak yang ku tak ketahui tentangnya.
Terisak-isak
aku menjawabnya sambil terus melelehkan cairan dari hidungku “kami, hiks hiks,
lia, kami. . . . kami putus. PUTUS LIA.”
Ruangan
sebesar 3x3 meter itu serasa semakin menyempit oleh perasaan sempit yang ada
dalam hatiku, rasanya selama 2,5 tahun kami pacaran tak menghasilkan apa yang
baik, yang dihasilkan hanyalah kedustaan, yang ku rasakan hanya penyesalan di
hati, yang ku rasakan hanyalah sakit, sakit hati yang begitu mendalam, serasa
menusuk ke setiap sendi, membuatku lumpuh dan tak berdaya, dan saat ini yang ku
punya hanyalah lia, ya Lia, ia yang ku peluk erat yang menjadi penyanggaku
diasaat aku seperti ini, dengan kata-katanya yang begitu menyejukkan hatiku.
“sudah
sayang, kamu seharusnya bahagia, Allah menyayangimu dengan menunjukan sifat
asli baim sebelum ia menjadi pendamping hidupmu untuk selamanya, seandainya
Allah tak menyayangimu maka ia kan menjadi suamimu dan setelah kalian menikah
kamu akan dicampakkan seperti ini, segala sesuatu memiliki hikmah, yang sabar
ya. Sekarang tegakkan kepalamu, saya ingin melihat henny wilya yang periang
itu, mana dia?” menarik pipiku dan memaksaku membuat senyuman untuknya.
Bersyukur
akan membuat segalanya lebih baik, aku kembali mengingat kata motivasi itu.
Memang efek lunglai yang terasa di badan masih ada, fikiran pun masih
membayangkan betapa bodohnya aku bisa pacaran. Padahal, selama ini aku
bersikukuh pada diri sendiri untuk tidak pacaran, sekarang apa? Yang ku nikmati
hanyalah ratapan kata “PUTUS”, sekarang aku merasakannya, dulu teman-teman mengatakan
putus aku selalu mengejek mereka dengan kata “ngapain nangisin orang? Suamimu
juga bukan.” Mengingat itu aku tertawa sendiri. Ya, kadang pembuktian akan
segera didatangkan atas apa yang kita ucapkan. Allahku maha adil.
________############___________
“Matamu
kenapa bengkak?”
“diem kamu
anak kecil.”
“ayo, abis
kelai sama mas baim ya?”
Anak ini
banyak tanya (gerutuku dalam hati), “pergi sana, tutup pintu kamar itu.”
“ndak mau
ayok, critain kita makanya.”
“SUCI
RIZKIANA!!! PERGI!!”
14.30 aku
pulang dari kos lia dengan mata bengkak, makan siang ku tunda untuk
mengistirahatkan badan ini, kasian adikku menjadi tempat pelampiasan perasaan
kesal gara-gara anak manusia yang pernah sangat dekat denganku 2,5 tahun
belakangan ini, 2,5 tahun, oh sudahlah, sampai kapan aku harus meratapi hal
ini. Imam syafi’I pernah mengatakan sebuah pesan yang kurasa untuk semua umat
islam seluruh dunia ini “jika kau tidak disibukkan dengan perkara kebaikan,
maka kau kan disibukkan dengan perkara keburukan.” Pegang teguh itu henny!
“nak, sudah
makan?”
Melihat ke
arah pintu terlihat sosok berwibawa yang ku idolakan selama ini, dengan jumlah
uban yang semakin bertambah di sela-sela rambutnya yang lurus dan hitam. Bapak
mendekatiku dan mulai mengelus jilbabku yang belum ku lepas dari pulang tadi.
“jika ada
seseorang yang menyakitimu saat ini. Cerita sama bapak.”
“bapak sok
tau ni.”
“bapak kan
pernah muda, gimana kalau saran dari bapak? Boleh?”
“mmmm.. .
emang sarannya apa?”
“kamu focus
kuliah, jangan pacaran sampe wisuda, dan 1 lagi.”
“bapak, ni
saran apa aturan sih pak?”
“hehe, kamu
ini, ia kalo kamu mau jadikan aturan boleh, tapi kalo mau jadi saran juga
boleh.”
“hmmm ia
aturan aja dah ya, henny capek sakit hati.”
“tu kan
ketahuan lagi sakit hati sama cowok, anak bapak udah bisa pacaran ya.”
“mmm udah
gak kok pak, henny janji sama bapak juga, mulai sekarang sampe henny nikah
henny gak akan pacaran lagi, trus yang satunya lagi apa pak?”
“jadi anak
bapak yang solehah.”
“ii… bapak
ini, emang henny kurang solehah dari mana ayo? Jilbab udah panjang, sholat ma
puasa kan rutin.”
“mana ada
orang sholehah ngaku nak, kamu ni. ngajimu itu diperbaiki, bapak kasi kamu
nginep di kos lia, yang penting kamu belajar ngaji di sana, bapak percaya sama
kamu. Siapapun yang menyakiti kamu saat ini kalau dia jodoh kamu maka trimalah
dia, karena jodoh adalah ketetapan Allah, pahami itu anakku.”
Lihatlah
hai dunia. Allah begitu menyayangiku dengan memberikanku ayah yang begitu
bersahaja, ibu yang begitu lembut dan saudara-saudaraku yang begitu pengertian,
aku bangga pada mereka semua, sahabatku Lia yang begitu cantik dan bersemangat
dengan dakwahnya. Aku adalah hamba Allah yang beruntung. Pemikiranku perlahan
mulai terbuka untuk melupakan hal bodoh yang dinamakan “pacaran” itu,
menggantinya dengan hal yang bermanfaat, mengikuti kajian islami bersama
sahabatku, membaca buku dan hal menarik lainya yang tak pernah ku rasakan
ketika dalam belenggu pacaran.
1 tahun
berjalan setelah aku putus dengan mas baim, kami berdua wisuda di waktu yang
bersamaan, 22 agustus 2015, aku fikir mengapa ia yang cerdas menunda wisudanya,
padahal wisuda bulan april ia bisa, masa bodoh, memangnya dia siapa. Siapanya
saya juga bukan. Hehe entahlah, mengapa aku memikirkannya saat hari wisudaku?
Ia karna dia menjadi pusat perhatian karena predikat kum lautnya, berpidato dan
bla bla bla. Tapi hey?
“henny
wilya yang duduk di sebelah sana.”
Mengapa
orang-orang melihat padaku? Dan kenapa ia menyebut namaku? Apa maksudnya ini?
Apa dia mau pamer kecerdasannya kepadaku? Atau mempermalukanku dihadapan semua
audien yang ada di auditorium M.Yusuf Abubakar ini? Beribu kemungkinan, oh
bukan, berjuta pertanyaan yang muncul dari sepersekian detik dari efek tuturan
si jenius itu. Makin aneh lagi jika kekuatan konteks yang ia timbulkan dari
ucapannya berdampak langsung ke orang-orang sekitarku yang langsung memberi
tepuk tangan ke arahku. Apa sebenarnya yang terjadi, saat itu ibu yang duduk di
sampingku langsung memelukku bahagia, dan juga bapak melepas togaku dan mencium
keningku. Semakin aneh dan apa sebenarnya terjadi di sini, aku merasa
dipermainkan.
“apa yang
terjadi ibu? Pak?”
“kamu baru
saja dilamar oleh baim di sini.”
“apa? Orang
itu? Aku tak sudi menikah dengannya!”
“apa kamu
ingat tentang apa yang ayah katakan waktu kalian putus? Siapapun yang menyakiti
kamu saat ini kalau dia jodoh kamu maka trimalah dia.”
“tapi bapak
gak tahu apa masalahnya.”
“kamulah
yang tak tahu masalah sebenarnya, baim ke rumah hari itu, dan ketika ia
menelfonmu juga ia sedang bersama kami. ia bilang untuk serius melamarmu ketika
sudah wisuda, ia memilih untuk tidak pacaran karena merasa bersalah secara
agama dan semua, ia merasa kalau pacaran hanya membawa mudhorat untukmu dan
untuknya, ia mengatakannya pada bapak dan ibumu langsung, tanyakan saja pada
ibu jika kamu tak percaya.”
“benakah
bu?”
Dengan mata
yang sudah berkaca-kaca ibu mengangguk mengiyakan. Air mata ini. Ini lagi, bukan! Ini berbeda dari hari itu, ini
air mata yang berbeda, jika hari itu air mataku menyempitkan ruang, sekarang
air mata ini meluaskan ruangku, mengisi setiap ruang yang ada dalam hati ini,
membangun kekuatan di setiap sendiku dan membuat taman bunga dalam hatiku, lia
mendekatiku dan memelukku dengan haru
yang hampir sama denganku, aku yakin itu sama. karena ia nangisnya hampir sama denganku,
hihi. Seperti biasa ia bisa saja membuatku tersenyum.
“udahan ah
nangisnya, kasian udah di make up kayak gini nangis lagi, kan luntur, ntar gak
jadi foto-foto.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar