PELESTARIAN BUDAYA HANYA PARADOKS - LPM Pena Kampus

Goresan Penamu Runtuhkan Tirani

Breaking

Rabu, 25 November 2015

PELESTARIAN BUDAYA HANYA PARADOKS



Selasa siang 24 November 2015, Arena Budaya Unviersitas Mataram (Arbud Unram) diselimuti atmosfir kebudayaan yang pekat. Festival Teater Modern Pelajar (FTMP) yang diselenggarakan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Putih Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) mengemas acara pembukaan secara sederhana, namun berhasil mengetuk hati insan muda Nusa Tenggara Barat (NTB). Membuat orang-orang yang hadir kala itu bersorak sorai menikmati salah saru proses pelestarian budaya—tanpa mereka tahu, ada suatu hal paradoks di sana.

Teater TeRENG SMKN 3 Mataram menyerahkan piala gubernur untuk kembali diperebutkan

Sejatinya kebudayaan di suatu daerah mampu dilestarikan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan mengadakan perlombaan kebudayaan. Dan, salah satu organisasi mahasiswa (ormawa) di FKIP Unram telah berusaha melakukannya selama 17 tahun sejak berdirinya mereka yang sudah lebih dari 30 tahun. Teater Putih, yang beranggotakan mahasiswa, secara aktif melibatkan siswa dalam progresnya melestarikan kebudayaan seni teater.
Di 2015 ini, Arbud menjadi saksi bisu kerja kreatif mereka—yang sebelumnya tetap dilaksanakan di Taman Budaya NTB. Seperti yang kita ketahui pementasan teater memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus dalam penggarapannya, salah satunya adalah gedung yang memadai. Di NTB, hanya Taman Budayalah yang memenuhi syarat. Akan tetapi, dengan agenda renovasi dari pemerintah, gedung tertutup belum dapat digunakan. Jadilah Teater Putih “menyulap” Arbud—yang dekorasinya lebih cocok untuk resepsi pernikahan mewah—menjadi gedung pementasan tertutup. Cukup layak untuk pementasan meski mereka harus bersikeras menempel backdrop hitam yang mereka miliki di dinding-dinding, mengatur lampu warna-warni penyempurna pementasan, dan aspek-aspek lainnya.
Itu hanya sekelumit dari kesusahan yang dirasakan oleh pelestari budaya. Haruskah saya menyampaikan kesusahan yang satunya lagi? Ini agak sensitif karena berdekatan dengan politik birokrasi. Dan, saya rasa Anda sekalian mulai mengangguk-anggukkan kepala. Entah paham, atau entah membiarkan saya untuk tidak menyampaikannya di sini.
Perwakilan gubernur NTB membuka acara FTMP XVII secara resmi
Saya akan ceritakan itu secara eksplisit. Kini mari kita beralih ke atmosfir budaya yang dihadirkan panitia FTMP XVII UKMF Teater Putih. Tidak ada asas keuntungan atau pembelaan di sini. Saya hanyalah penikmat seni yang memberontak ketika sebuah hal yang harusnya berjalan dengan wajar menjadi tiba-tiba “ditidakwajarkan”. Begini; budaya, menurut Teaurus Bahasa Indonesia (2008) adalah (1) akal budi, pikiran; (2) adat, kebiasaan, rasam;
Kebudayaan dibangun oleh generasi terdahulu. Baik dari akal budi, pola tingkah laku cara berfikir, adat, kesenian, dan segalanya yang mampu membentuk kepribadian manusia ber-budaya. Sekarang ini, sebagai bentuk penghormatan kepada gerasi terdahulu atas kerja kerasnya, kita sebagai generasi muda patutlah melestarikan kebudayaan tersebut. dalam konteks ini, generasi muda sedang mencoba melestarikan budaya kesenian yang dibalut dalam tubuh pertunjukan teater dan tari.
 Nano Riantiarno, pendiri Teater Koma sejak 1 Mater 1977, hingga kini masih aktif melestarikan budaya berteater. Ia telah membuktikan kepada kita semua bahwa fungsi dari teater tidak sekedar mempertahankan “gambaran” budaya di dalam seni pertunjukan, tetapi juga sebagai alat refleksi. Bagaimana kita yang tadinya tidak pernah mau peduli akan nasib orang-orang kecil, di dalam teater kita diajak untuk ikut memahami perasaan mereka melalui sebuah peran. Replika kehidupan nyata. Segala jenis kebudayaan mampu ditampilkan ke atas panggung. Banyak orang yang merasa beruntung karena mampu mengenal budaya orang lain dengan cara menonton teater. Kita sama-sama ikut merasakan detak dunia dalam simulasi panggung.
Nah, kini kembali ke FTMP XVII. Seyogyanya para mahasiswa ini mengikut jejak N. Riantiarno, dan mereka sedang melakukan itu. Generasi “tua” memproduksi budaya, generasi  muda melestarikan budaya. Sederhana. Akan tetapi lain cerita yang dihadapi mereka. generasi “tua” mereka merasa enggan kebudayaannya dilestarikan.
Mereka lebih suka otak kiri mendominasi lulusan universitas mereka. Entahlah. Saya hanya seorang penikmat seni yang enggan pula dicetak sebagai anak otak kiri (saja). Bahkan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang ketiga: Pengabdian masyarakat—pun tak diindahkan. Wadah kompetisi sehat mampu menghasilkan kebiasaan untuk jujur. Tidak curang dalam mencapai cita-cita. Dan, FTMP telah  mengamalkan itu semua untuk para pelajar se-NTB. Pelajar berbudaya bersuka-cita dalam ajang ini.
Sederhanyanya, betapa mungkin mereka tak mau paham akan hakekat manusia yang unik? Jika Tuhan menempatkan mereka dalam kotak hidup yang “pasti-pasti”—serupa eksak, militer. Maka mereka pun harus paham bahwa Tuhan juga telah menempatkan beberapa dari kita dalam kota hidup yang “absrtak”.
Begini saja, saya yakin kita semua pernah mendengar lagu ini dari sebuah acara pencari bakat di televisi: Mari berkarya Dalam puisi dan lagu Musik dan tari Layar perak panggung gerak Adalah tempat kita Insan dunia ekspresikan diri. Apa yang tersirat dari lagu tersebut telah epik disampaikan kawan-kawan Teater Putih dalam tarian sambutan pembukaan siang ini. Sebuah kegelisahan yang mereka tutupi. Akan pengekangan kebebasan berekspresi. Sebuah protes yang paradoks. Ketika mereka berhasil memboyong piala dalam ajang nasional, mengharumkan nama almamater, mereka dielu-elukan. Dipuji-puji. Namun ketika proses dan progres ingin dijalani, mereka dikekang. Generasi “tua” itu acuh tak acuh.
Pramoedya Ananta Toer, yang dulu semasa hidupnya menghabiskan dinding-dinding penjaranya dengan coretan kata, bersikap bahwa manusia yang hidup dengan ilmu pengetahuan namun enggan bersentuhan dengan seni adalah serupa hewan pintar yang terlatih. Dan mungkin saya patut meminta maaf kepada pembaca karena tidak berhasil membawa atmosfir kebudayaan di dalam ruangan gelap ini. Gelap oleh paradoks elit-akademisi yang menginginkan susu dan daging sapi namun enggan mengembalai sapi ke tanah lapang penuh rumput.


BAIQ ILDA KARWAYU
Penikmat Seni

5 komentar:

  1. Pramoedya Ananta Toer, yang dulu semasa hidupnya menghabiskan dinding-dinding penjaranya dengan coretan kata, bersikap bahwa manusia yang hidup dengan ilmu pengetahuan namun enggan bersentuhan dengan seni adalah serupa hewan pintar yang terlatih.
    Suka bagian yang itu. Pas banget.

    BalasHapus
  2. terima kasih komentarnya, pak. nanti kami sampaikan ke penulisnya.
    ayo, bapak juga sumbang tulisan ke redaksi Pena Kampus! ditunggu..

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus