oleh:
Indhi Wiradika
(Pembaca setia page Facebook; LPM Pena Kampus FKIP
Unram)
Sempat tertawa
sekaligus miris melihat sebuah postingan official
page LPM Pena Kampus FKIP Unram yang menampilkan gambar baliho tentang
aturan berpakaian mahasiswa. Sebuah fenomena unik yang saya lihat ketika kampus
mencoba untuk “menyembunyikan” aturan tentang upaya penggalian kreativitas dan
pemikiran, namun dengan lantang menampilkan aturan berpakaian. Berdasarkan
analisis sederhana saya, terlihat bahwa yang terjadi di Universitas Mataram
adalah aturan berpakaian mendahului aturan yang menumbuhkan pemikiran.
Saya sempat
mengeluarkan argumen yang bertentangan dengan beberapa komentator dalam official page LPM Pena Kampus. Karena
saya rasa komentar di FB tidak efektif dan argumen dari kawan diskusi saya seperti
komentar-komentar dalam page korea lovers,
maka sebagai mahasiswa ada saatnya saya harus berpendapat dengan cara yang
lebih elegan dan tidak alay, yaitu mengirim sebuah tulisan ke Redaksi LPM Pena
kampus.
Kembali ke titik
perhatian saya terhadap aturan berpakaian mahasiswa, tujuan pendidikan nasional
adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Tolak ukur kita terhadap pendidikan
adalah soal kecerdasan. Kecerdasan yang dimaksud tentu bukan sekedar jumlah IPK
ataupun jumlah followers instagram ,
melainkan kemampuan kita (Red: mahasiswa) dalam menganalisis permasalahan dunia
agar bangsa kita tidak dijajah, baik dalam segi pemikiran maupun tenaga.
Namun, kini pendidikan
kita seolah-olah mengalami disorientasi. Entah mengapa berpakaian yang rapi
merupakan hal yang urgent sehingga
harus dibuatkan aturan layaknya anak-anak remaja yang belum dewasa. Jika memang
tujuannya ingin rapi, rapi merupakan soal cara pandang yang membuahkan hasil
kepuasan yang bersifat emosional, tentu definisi rapi memiliki kecendrungan
subjektif,. Artinya kerapian, tidak bisa dinilai dengan aturan apalagi dimaknai
sekedar pakaian tanpa jeans.
Sejarah bangsa
mengungkapkan, negara kita pernah memiliki masa kelam tentang aturan
berpenampilan sejak masa orde baru. Untuk kawan-kawan yang giat membaca ataupun
menyukai sejarah pasti mengetahui tentang larangan berambut gondrong di
beberapa kampus Indonesia. Saat itu, pemuda yang berambut gondrong selalu
dikonotasikan dengan hal yang bersifat negatif seperti; dekat dengan dunia
narkoba dan seks bebas. Bahkan pada tahun 1970-an terdapat gerakan
anti-gondrong.
Dibalik aturan larangan
gondrong tersebut, ternyata terdapat ketakutan bagi kekuasaan pada saat itu
karena mahasiswa yang berambut gondrong dianggap oleh penguasa sebagai simbol
gerakan politik pemuda atau mahasiswa yang kontra-revolusioner terhadap
pemerintahan, sehingga dikeluarkanlah Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK/BKK)
yang bertujuan untuk menghilangkan peran mahasiswa dalam gerakan politik
apapun.
Fenomena Fisik
Fenomena mahasiswa yang
saya amati akhir-akhir ini mengambil benang merah bahwa mahasiswa memiliki
kecenderungan gila akan hal yang bersifat fisik. Kita seakan-akan seperti anak
kecil yang gemar permen dengan warna yang menarik, tanpa pernah menanyakan
kandungan yang terdapat dibalik warna yang menarik tersebut. Begitu juga dalam membaca
fenomena-fenomena sosial, kita cenderung lebih sering menyembunyikan hal
substantif dan menutup mata dengan kain fisik.
Refleksi saya tersebut
terbukti pada promosi UKM dan HMPS tahun ini, terlihat beberapa organisiasi
mahasiswa mengupayakan segala cara untuk menarik perhatian mahasiswa baru. Fenomena
yang menggelitik saya adalah ketika ada kakak senior kami di salah satu ormawa
menyediakan photo booth untuk sekedar
berselfie ria. Hingga belum genap 1x24 jam foto-foto tersebut viral di dunia
maya, foto-foto dengan berbagai pose ABG tersebut seolah-olah mengutarakan “Ini
lho kami, mahasiswa Universitas Mataram”. hmmm..
Sepemahaman saya selama
ini, ormawa meiliki peran yang fundamental terhadap kampus. Ide serta gagasan
mereka biasanya selalu segar dan diperhitungkan oleh pemangku kebijakan. Setiap
kali mereka berkumpul selalu mencerahkan pandangan orang-orang yang ada di
sekitarnya. Kreativitas mereka mampu melampaui jenjang pikiran mainstream. Ide
dan gagasan mereka selalu menjadi aksi yang mampu memutar roda kebangsaan.
Karena kini hal substantif
sudah terlamnpaui oleh hal-hal yang bersifat fisik, maka penyakit keterbatasan
akal menular. Mereka senang “dibadutkan” dan diseragamkan, bagi mereka yang
penting fisik (red:pakaian) mereka “rapi”, seperti kaum-kaum elit. Sehingga mereka
dapat memisahkan diri dari “masyarakat”.
Ajakan yang seharusnya
menjadi perspektif mahasiswa adalah “yuk, kita duduk, BERDISKUSI tentang masa
depan bangsa”, kini menjadi “yuk, kita duduk di bangku kuliah dan mengenakan
seragam, supaya seolah-olah tampak intelek dan TERLIHAT SEPERTI SEDANG
BERDISKUSI serius tentang masa depan bangsa”
Tak seharusnya pakaian
yang merupakan hal subjektif distandarkan bahkan diatur melalui kebijakan. Jika
kerapian masih dibicarakan dalam tatanan nasihat tentu sah-sah saja, namun jika
Rektor, Dekan, Kajur, Kaprodi hingga Dosen menggunakan kekuasannya untuk
mengatur cara berpakaian seseorang melalui sebuah kebijakan, maka hal tersebut
adalah tindakan yang keliru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar