Cerpen: Tuan Putri - LPM Pena Kampus

Goresan Penamu Runtuhkan Tirani

Breaking

Senin, 15 Agustus 2016

Cerpen: Tuan Putri


(image: ogang)

Riuh rendah suara kucuran air mancur, ikan-ikan kecil sibuk mecucut potongan kecil roti. Berenang kesana kemari, menggeliat memamerkan corak indah tubuhnya. Seperti pengawal kerajaan sedang berjaga. Diseberang sana, tertata bermacam-macam bunga yang indah, beraneka warna dan bentuk. Terkadang melambai malu tertiup angin yang menggoda. Berebut manja siraman hangat mentari pagi, terbuai pesona langit jingga pengantar mentari.
Dany sedang duduk di bangku taman, asik dengan stopwatch di tangan, di temani teh hangat. Satu putaran lagi, teriak Dany. Dengan nafas terengah Inda membungkuk didepan Dany. Berapa menit?, tanya Inda. 15 menit 43 detik, jawab Dany sambil menyodorkan minuman, lumayan bagus, tapi masih harus ditingkatkan lagi, lanjutnya. Nanti sore temenin latihan lagi ya, pinta Inda setelah selesai meneguk setengah botol air mineral. Siap, Dany menjawab.
Burung-burung gereja mulai ramai, singgah mencicit pada dahan-dahan pohon, menggoda para betinanya. Sisa embun yang menempel pada rerumputan mulai hilang, seiring memudarnya warna jingga. Orang-orang juga mulai meninggalkan taman, tergoda imajinasi lezatnya teh hangat dan roti bakar yang menunggu.
Saya masih mau disini, kamu pulang saja duluan, Dany menyuruh Inda. Memangnya kamu mau ngapain disini, orang-orang juga sudah pulang semua, jawab Inda. Tidak ada, aku hanya masih ingin disini, Dany menjawab. Iya sudah kalau begitu, aku duluan ya, jawab Inda. Sesosok tubuh masih duduk termenung di ujung sana, melemparkan potongan-potongan roti untuk ikan-ikan kecil. Sedari tadi sosok itu mengganggu mata dan pikiran Dany. Setelah beberapa lama, Dany akhirnya memberanikan diri mendekati sosok tersebut. Dany ikut melemparkan potongan roti ke dalam kolam ikan. Kita lihat roti siapa yang paling disukai oleh ikan-ikan tersebut, Dany berkata. Ia masih diam, seakan tak peduli dengan kehadiran dan perkataan Dany. Potongan roti terakhir ia lemparkan, kemudian ia berlalu tanpa menoleh maupun berkata-kata kepada Dany. Dany hanya tersenyum melihat sikap wanita tersebut.
Juli membuka lemari makanan, mengambil dua helai roti kemudian memasukkannya ke pemanggang. Ditemani lantunan musik alternatif rock dari penyanyi Avril Lavigne menambah decakan pesona pagi yang indah. Setelah menandaskan sarapan Juli segera menuju kamar mandi dengan masih berkomat-kamit mengikuti lirik lagu yang sedang dimainkan.
Why should i care,
You want there, but i was care,
I was so alone
Sedikit penggalan lirik lagu yang sayup terdengar dari sudut kamar mandi.
Entah apa yang sedang menghasut benak Dany, sedari tadi ia masih duduk melamun, berfikir tentang wanita misterius yang ia lihat di taman. Ia merasa ada yang aneh dengan dirinya, wanita itu benar-benar membuatnya menjadi pelamun. Di tengah lamunan yang tak kunjung habis, tiba-tiba dering handphone Dany berdering. Setelah bergetar sampai handphone tersebut hampir terjatuh dari atas meja, Dany akhirnya mengangkat telepon tersebut. Hai!, Dan, suara Inda dari seberang sana. Kenapa, Nda, jawab Dany sedikit malas. Minggu depan ada rencana gak?, kita ikut pergi kemah yuk, temen-temen kampus ngadain acara kemah, gimana?, cerocos Inda. Lihat besok ya, jawab Dany singkat. Iya sudah, besok kita omongin lagi di kampus, balas Inda.
Juli berjalan santai menuju ruang kelas, kaos lengan panjang, celana jeans, dengan ransel. Dia tipe wanita yang santai, tidak terlalu ribet dalam berpenampilan, hanya sedikit merias wajah. Dany baru tiba di kampus, dengan mata yang masih lusuh dan mulut masih beberapa kali menguap. Semalaman Dany susah terlelap, ia hanya terjaga, masih berfikir tentang wanita misterius di taman. Ia berjalan menuju kantin kampus, mencari segelas kopi dan roti untuk mengisi perut. Beberapa meter di depannya Juli berjalan sedikit menunduk. Dany menangkap mata yang mulai tak asing dalam penglihatannya, ia mencoba membuka mata selebar mungkin, melawan lusuh mata yang masih mengambang. Mendelik membenarkan mata bahwa ia tak salah lihat, Dia, Dany bergumam. Belum sempat Dany melangkah untuk mendekat, wanita tersebut sudah hilang di balik tembok.
Dany menyeruput kopinya, membuat sedikit pening kepalanya hilang. Apakah yang ku lihat tadi, benar-benar dia?, Dany bertanya dalam hati. Bersenda gurau bersama teman-temannya membuat Dany bisa sedikit melupakan wanita tersebut. hai! Dan, sapa Inda yang tiba-tiba datang. Ehh, Hai! Nda, balas Dany. Duduk!, jadi, siapa aja emang yang mau pergi kemah minggu depan itu?, sambung Dany. Lumayan, udah ada 11 orang, kalau kamu jadi ikut jadi 12 orang. Kamu ikut kan, seru pasti acaranya, Jawab Inda. Lama mereka bercakap-cakap, Dany akhirnya pamit untuk pulang. Baru saja Dany berdiri dari duduknya, ekor matanya menangkap wajah yang masih mengambang dalam kepalanya. Dengan cepat Dany beranjak, memberanikan diri sekali lagi untuk mendekati wanita tersebut. Dany mensejajarkan langkah dengannya, hai!, sapa Dany. Wanita itu menoleh sejenak, lalu kembali melihat langkahnya. Kamu yang di taman kemarin kan, Dany masih berusaha. Wanita itu masih tak menjawab. Dany memelankan langkahnya, kemudian menghembuskan nafas kesal, tapi ia sudah kepalang, pantang untuk menyerah sekarang, gumamnya. Boleh saya tahu namamu?, Dany bertanya. Wanita itu masih tak bergeming. Dany akhirnya mengalah, ia putar balik badannya kemudian berlalu.
Pagi-pagi buta, dengan mata yang lusuh, tapi enggan terpejam. Dany beranjak menuju taman, menikmati pagi duduk melamun. Beberapa orang sudah terlihat memulai lari pagi, beberapa yang lainnya menggunakan sepeda olahraga. Aroma sisa embun yang menguap di barengi semilir angin pagi meniup mata Dany. Alunan kaki serta kayuhan sepeda menjadi harmoni indah mengantarkan kantuk menuju mimpi. Bereaksi dengan hangat mentari pagi membuat tubuh nyaman untuk dibaringkan. Dany akhirnya beranjak dari duduknya, ia ingin mengikuti godaan kantuk yang sudah mulai menguasainya.
Telepon Dany berdering, Inda, Dany berkata. Halo! Nda, Dany menyapa. Dan, jadi ikut kan kemah itu, besok jam 9 kita kumpul di kampus, berangkat samaan dari sana, saya udah masukin namamu, Inda bercerocos. Hmmmm, Dany berdeham, iya sudah, kalau begitu saya ikut, Dany akhirnya berkata. Dany sudah membayangkan bagaimana suasana kemah nantinya, menurutnya kemah tersebut akan membosankan, sebab tak begitu banyak dari peserta kemah yang ia kenal. Kemah disebuah bukit akan sangat melelahkan, keluhnya. Belum sempat ia sadar dari bayangan membosankannya kemah, telepon Dany kembali bergetar. Pesan singkat dari Inda, dalam pesannya, Inda mengirimkan apa saja yang akan dipersiapkan untuk kemah besok.
Pukul setengah sepuluh pagi, handphone Dany berdering, membuatnya terbangun dari tidurnya. Ya, Nda, sapa Dany. Dan, udah jam berapa ini, kamu kok masih tidur, bentar lagi bus mau berangkat, ayo cepetan bangun, ketua panitia kemahnya udah nanyain dari tadi, Inda berserapah. Iya, ini udah bangun kok, mandi bentar baru berangkat kesana, jawab Dany malas-malasan. Dannnnyyy, udah gak usah mandi, udah telat ni, ayolah!, Inda memohon kesal. Iya, iya, bawel, cuci muka ni, terus berangkat, Dany mencoba kalem. Bus baru keluar dari gerbang kampus, saat Dany baru tiba. Dany, pak stop, itu Dany. Pinta Inda. Inda keluar dari bus dan memanggil Dany untuk segera naik ke bus. Kamu ni yaaaa. Omel Inda. Dany langsung duduk di kursi dekat pintu bus, merebahkan kepalanya yang masih terasa berat.
Bus memasuki kawasan perbukitan, berderet sawah-sawah dengan tanaman padi yang baru tumbuh. Beberapa petani berjalan di pematang sawah, beberapa lainnya sedang sibuk menyiangi rumput liar yang mengganggu tanaman mereka. Juli yang duduk di kursi belakang dekat jendela yang sedari tadi sibuk membaca, mengalihkan pandangannya keluar, menikmati dan memotret pemandangan yang terhampar di luar sana. Dany terbangun  dari tidurnya setelah bus tiba di pelataran parkir. Baiklah, semuanya, kita sudah sampai, kita mulai dari sini, siapkan diri kalian untuk berjalan menyusuri bukit. Okta, katua panitia bersuara. Dany turun dari dari bus, meregangkan tubuhnya, menghirup sebanyak-banyaknya oksigen segar yang membuat matanya segar kembali. Ia berjalan ke sudut melihat pemandangan yang terbentang, seluas mata memandang, barisan perbukitan yang indah. Semuanya berkumpul, kita absen dan ceklist perlengkapan dulu, sebelum kita mulai mendaki, Okta menggema. Dany baru membalik badan untuk menghampiri asal suara, matanya menangkap sesosok yang beberapa hari ini membuatnya mati penasaran. Dengan percaya diri dan sedikit gaya cuek, Dany melangkah menuju sumber suara. Ia mulai merasa menikmati liburan ini.
Setelah semua persiapan selesai, Okta memimpin rombongan berjalan menyusuri jalan setapak. Dany berjalan paling belakang, Inda berada di depannya. Satu jam sudah mereka semua berjalan, Okta menginstruksikan untuk beristirahat. Minum Jul, Ryan menawarkan air kepada Juli. Iya, makasi yan, Juli menerima air yang di sodorkan Ryan. Dany yang melihat kejadian tersebut menjadi lemas, ia meneguk air kemudian menghembuskan nafas. Kamu kenapa?, tanya Inda. Ah, kenapa apanya?, Dany membalas. Yeee, saya nanya kok malah ditanya balik, ketus Inda. Ayo, perjalanan masih 2 jam lagi, kita bergegas supaya tidak terlalu larut kita sampai di tempat perkemahan, perintah Okta. Berjalan dan berjalan, masing-masing orang sibuk dengan pikiran masing-masing. Dany hanya melangkah, semangatnya berkurang setelah kejadian tadi. Istirahat, kemudian berjalan lagi, seterusnya, hingga akhirnya mereka tiba di puncak bukit, Okta mengkomandoi peserta, membagi tugas masing-masing. bagus ya pamandangannya, cerah lagi langitnya, Inda berceloteh. Dany hanya menganggukkan kepala tanpa semangat.
Senja yang bersahabat, warna merah yang memiliki kepekatan warna terpanjang memantulkan sinar mentari yang akan beranjak, menghasilkan hiasan corak jingga di langit, gumpalan titik-titik awan putih menjadi penghias, betapa indah sore hari ini. Semenjak kembali dari acara kemah dulu, Dany masih berfikir tentang wanita tersebut, sekuat apapun dirinya untuk tidak berfikir tentangnya, semakin kuat pula wajah wanita tersebut hadir dalam benaknya. Terkadang ia merasa menjadi orang yang paling bodoh, karena terus berfikir tentang seseorang yang bahkan tidak ia kenal. Baiklah, Tuan Putri, kita lihat sampai mana kemampuanku bertahan dan berjuang untuk bisa mengenalmu, Dany bergumam pada dirinya. Tuan Putri, menjadi nama yang disematkan Dany kepada orang asing yang mempengaruhi pikirannya selama ini.
Beberapa kali Dany terus mencoba menyapa Tuan Putrinya, tapi seberapa kali ia mencoba, Tuan Putri masih tak bergeming, masih dengan sikap yang sama. Hingga Dany merasa usahanya akan mencapai batas, dan ia merasa akan menyerah. Percobaan kesekian kalinya Dany menyapa wanita tersebut, hai!, Tuan Putri, sapa Dany. Wanita itu menoleh, nama saya bukan Tuan Putri, akhirnya wanita itu mengeluarkan suara. Ohh, maaf, Dany berucap kemudian berlalu. Dany merasa sangat senang akhirnya wanita itu menjawabnya, ia berlalu karena terlalu merasa canggung untuk melanjutkan percakapan.
Juli sedang asik memotong roti kemudian melemparkannya ke dalam kolam, memberi makan ikan-ikan manja. Dany muncul dari belakangnya, selamat pagi, Tuan Putri, sapa Dany. Wanita itu menoleh, lalu kembali memalingkan wajah, nama saya bukan Tuan Putri, dia menjawab. Keberatan memangnya kamu kalau saya manggil seperti itu?, Dany bertanya. Tidak, tapi itu bukan nama saya, timpal Juli. Kalau begitu itu menjadi panggilan dari saya buat kamu, timpal Dany. Apa yang membuatmu berfikir untuk memanggilku seperti itu?, tanya Juli. Saya juga tidak tahu, itu hanya terlintas di kepala saya ketika saya berfikir tentangmu, jawab Dany. Boleh saya duduk, sambungnya. Silahkan, Juli mempersilahkan.
Daun yang bertahan di dahan pohon ketika angin bertiup kencang merupakan daun yang kuat dan memiliki kamampuan, akan tetapi daun yang gugur ketika itu, kemuidian membiarkan dirinya terbang terbawa angin adalah daun yang memiliki pengalaman. Ia membiarkan dirinya bebas, mengikuti kemana angin akan membawanya, menjadikannya kuat dan memiliki kemampuan untuk bertahan, hingga pada akhirnya ia tersangkut, menikmati keindahan dengan cara yang berbeda, kemudian layu, hingga akhirnya menyatu dengan tanah.
Banyak hal yang kemudian menjadi nyata ketika kita berani untuk mencoba, melepas ego pikiran, kemudian mencoba memadankannya dengan pikiran-pikiran orang lain hingga kita bisa beradaptasi dengan semua cara berfikir. Takdir telah tertulis dengan jelas, tapi kita mempunyai rentang waktu yang harus di isi sebelum kita menjumpai takdir tersebut. keluh-kesah, sedih, kecewa, tertekan, senang, bahagia, sukses, merupakan beberapa bagian yang bisa menjadi pengisi rentang waktu tersebut, tinggal bagaimana memilah dan memproporsikan bagian tersebut.
Tuan Putri, waktu tidak akan memihak, ia hanya berputar, kitalah yang harus memihak kepada waktu. Sebagaimana waktu menjadi pengingat tentang apa yang telah kita lakukan, apa yang sedang kita lakukan, dan apa yang akan kita lakukan. Menjadi pengiring terbit dan terbenamnya mentari, akan tetapi dengan keadaan yang berbeda setelahnya.

Andy Jangkrik

1 komentar:

  1. Tulisan ini benar-benar menjadi pengantar baik untuk mengenang perjuangan yang pernah saya alami. Kisah Dany, memberi saya wejangan yang harus diingat, seberapa besar perjuangan untuk meraih hati seseorang, komitmen serta mengatur jarak adalah utama. Berikan ruang kepada orang yang kita kagumi untuk juga mengenal kita♥️

    BalasHapus