Awal kita berjumpa adalah ketidaksengajaan. Aku tidak sengaja menabrakmu. Kita terhempas, dan kau dengan wajah panik bergegas menolongku.
“Maafkan aku, kau tidak apa-apa?”
Aku tertegun. Aku yang salah, tapi kenapa kau yang meminta maaf?
Mungkin karena kau mengira aku linglung, kita berjabat tangan dan secara verbatim kau mengenalkan diri. Kau tak hentinya meminta maaf sehingga membuatku risih, karena sesungguhnya yang bersalah ketika itu adalah aku. Kau hanya berdiam diri melihat sebuah entitas kala itu, dan entah daya tarik apa yang membuatku melangkah menghampirimu, tanpa sadar, dan aku yang bodoh membuat kita bertabrakan.
Barangkali karena aku terpikat pesonamu, mungkin juga ada belenggu yang membuatku tidak bisa jauh darimu, aku tidak bisa lari darimu. Melihat mata coklatmu, rambut indahmu, dan senyuman itu. Kau membuatku bertahan di sisimu. Tapi, toh, aku tidak mempermasalahkannya. Kau adalah entitas pertama yang menawarkanku pertemanan. Dan sesungguhnya, akulah yang tidak bisa jauh darimu.
Kita menjadi teman semenjak hari itu. Dan hari-hari berikutnya, kau mengenalkanku pada segalanya.
***
Ketika itu, tepat seratus lima puluh hari setelah kita berteman, kau menawarkan diri bercerita tentang kisah dua entitas. Tentang perbedaan mereka, tentang status mereka, dan tentang ketidakmungkinan kisah cinta mereka.
Aku tidak terlalu paham apa yang kau ceritakan. Tapi, aku terus mendengarkan. Terlepas dari betapa senangnya aku melihatmu berbicara, melihat rambut biru gradasi hijaumu kau mainkan ketika bercerita, aku menyadari, kau membutuhkan wadah untuk menampung apa yang tidak sanggup kau tampung sendirian. Ketika kurva yang seharusnya terbentuk senyum menawan itu melengkung ke bawah, seketika itu pula kau membuatku menjadi entitas tak berguna.
“Mereka saling cinta, tapi terlalu menyakitkan untuk tetap bersama. Ketika mereka bersama, entitas yang sempurna akan menyakiti entitas yang biasa saja. Walaupun lebih sering entitas yang sempurna melakukannya secara tak sengaja, tapi seharusnya dia mengerti apa dampaknya pada entitas yang biasa saja.
“Ini benar-benar menyakitkan! Entitas yang sempurna tidak akan bisa hidup tanpa entitas yang biasa saja, tapi entitas yang sempurna selalu menyakiti entitas yang biasa saja. Tapi, tapi, entitas yang biasa saja terlalu mencintai entitas yang sempurna! Entitas yang biasa saja bahkan selalu memaafkan entitas yang sempurna, apa pun yang dilakukan entitas yang sempurna, walaupun itu menyakitkan bagi entitas yang biasa saja.
“Apa yang harus mereka lakukan? Entitas yang biasa saja bahkan berseru tak akan sanggup hidup tanpa entitas yang sempurna. Apakah mereka benar-benar harus berpisah?”
Aku tidak mengerti. Ucapannya terlalu taksa untuk dicerna otakku. Tapi, bukankah melepaskan adalah pilihan yang seharusnya mereka lakukan? Karena dengan melepaskan, mereka dapat belajar. Belajar dalam segala hal.
“Aku tidak tahu bagaimana seharusnya aku menanggapi. Tapi, bukankah seharusnya mereka saling melepaskan? Dengan melepaskan, mereka dapat belajar, ‘kan?”
Selesai aku menanggapi ceritamu, kau menatapku tidak percaya. Mata coklatmu melebar ketika menatap mata perakku.
Tepat ketika kau berkata, “kau benar-benar tidak mengerti!” Aku seolah kehilangan pijakan hidupku.
Untuk pertama kali dalam kisah pertemanan kita, kau marah padaku. Dan aku tetap tidak mengerti.
Hari-hari berikutnya, kau mendiamkanku. Tapi, sudah kukatakan, aku tidak bisa jauh darimu. Aku membutuhkanmu, dan kau membutuhkanku. Walaupun kau sekarang tak acuh padaku, aku tetap berada di sampingmu.
***
Seperti kataku, kita saling membutuhkan. Tak lama setelah kau marah padaku, kau datang dan meminta maaf. Dengan air mata yang mengalir dari mata coklat indahmu itu, mana sanggup aku tidak memaafkanmu.
Tepat ketika pertemanan kita berusia 4.680 hari, kau kembali menceritakan kisah cinta dua pasang entitas itu. Kali ini, aku menahan diri untuk tidak gegabah menanggapi.
Tak ada air mata ketika kau bercerita, pun tak ada kurva tersemat di bibirmu. Kau hanya menceritakan tentang suatu hal yang apa adanya dan terkesan biasa. Entah ini karena kau tak sanggup menceritakannya lagi padaku (mengingat responsku waktu lalu), atau kau yang sudah enggan dengan kisah dua entitas itu.
Ketika aku memberanikan diri bertanya, responsmu pun biasa saja. “Aku tak tahu kelanjutan hubungan mereka. Bisa jadi mereka baik-baik saja, tapi sekali waktu mereka juga bisa tidak baik-baik saja.”
Kau diam. Dan aku memilih untuk tak menanggapi.
Beberapa ratus milyaran hari kemudian, kau mulai berubah. Kau melemah, sering sakit, dan berdarah. Tapi, aku tahu, kau adalah entitas yang tangguh.
Kau kembali buka suara dan menceritakan kisah cinta sepasang entitas. Kali ini, kau menangis. Dan ketika kau kembali bercerita, akhirnya aku menyadari, siapa dua entitas yang selama ini sering kali kau ceritakan.
“Selama ini dia mencoba mencari penggantiku. Aku memang mulai melemah, aku sakit-sakitan, tapi aku ingin terus bersamanya, aku sanggup memberikan apa yang dia inginkan. Aku tidak ingin kehilangan dia. Aku harus bagaimana?”
Kau sangat tangguh. Sangat tangguh hingga kau sanggup menyimpan sebuah rahasia besar dariku.
Terjawab sudah, mengapa waktu itu kau marah padaku dan memutuskan tak acuh padaku. Kukira kau hanya terbawa perasaan pada kisah cinta dua entitas itu. Namun, dugaan tetaplah dugaan.
“Aku tidak tahu.”
Kurasa, kau pun masih ingin merahasiakan rahasia besar ini. Ketika kau mendongak menatapku, bola matamu membulat terkejut. Kau menangis meraung di hadapanku. Ingin rasanya aku tak peduli. Tapi, sekali lagi ini dirimu, entitas yang tak bisa kuabaikan.
“Kenapa kau rahasiakan?”
Dan aku tak mengapa, ketika kau tak sanggup menjawab pertanyaanku.
***
“Masih sanggup? Kau terlalu memaksakan diri, tidak apa-apa jika kau istirahat sejenak.”
“Bagaimana caranya?”
“Kau hanya perlu berbaring, ‘kan?”
Rambut indahmu bergerak lembut ketika kau menggeleng. “Bukan itu.”
Aku mengernyit, “apa?”
“Bagaimana caranya kau setangguh ini? Aku bahkan sudah mulai lelah.”
“Aku tidak mengerti, kau hanya perlu istirahat.”
“Kau tidak menjawab pertanyaanku.”
Helaan napasku menjadi satu-satunya suara di antara kita. “Aku tidak setangguh itu, aku bahkan hanya mengekorimu.” Selalu mengekorimu, walau entitasku mengabur ketika entitas cahaya terlalu bersinar dan kau yang tak peduli aku ada di mana.
Mata coklatmu kau pejamkan, tarikan napasmu entah mengapa terdengar begitu berat olehku.
“Kau tahu? Kau adalah entitas paling tangguh yang pernah kujumpai. Kau menganggapku berharga, tapi aku menanggapimu biasa saja. Kau bahkan selalu ingat pertemuan pertama kita, sedangkan aku sudah lupa. Dan sekarang kau tahu alasannya mengapa, tapi kau tetap berada di sampingku. Sekarang bahkan aku malu walau sekadar menatap matamu. Aku ingin menjauh darimu, tapi aku tak sanggup hidup tanpamu. Aku tanpamu atau kau tanpaku sama saja artinya. Dan sekali lagi kau sudah tahu ini jauh sebelum aku menyadarinya.”
Semenjak aku tahu pemeran kisah cinta sepasang entitas itu, kau perlahan mulai terbuka padaku. Bagaimana awal kisah itu terjadi, bagaimana kau melalui lika-liku kisah menyakitkan itu, dan sekarang, barangkali, akhir kisah itu sudah mulai tampak.
Entitas yang sempurna itu terlalu membanggakan kesempurnaannya, entitas seperti dirimu bahkan akan mudah dia tinggalkan ketika penelitian bertajuk penemuan entitas yang luar biasa itu dia rampungkan.
Sekarang kau tidak bisa apa-apa lagi, sakitmu semakin parah, lukamu semakin berdarah, dan luka batinmu, aku tidak tahu seperti apa.
“Bulan? Bolehkah aku bersandar di pundakmu? Aku agak lelah.”
Entah seperti apa akhirnya nanti, semoga entitas biasa tapi tangguh seperti dirimu dapat merasakan sebuah rasa yang dia namakan kebahagiaan. Semoga. [ ]
*Oleh: Riza Zohaeriah (Anggota Magang LANJUT XVIII)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar