Suara-Suara Gelisah dalam Talijiwo - LPM Pena Kampus

Goresan Penamu Runtuhkan Tirani

Breaking

Minggu, 16 September 2018

Suara-Suara Gelisah dalam Talijiwo

“...Maka, waktu luang itu jangan dimanfaatkan dengan melulu main gadget. Rongga-rongga waktu keseharian di antara masifnya kehidupan rutin mencari nafkah sebaiknya lebih lapang diisi dengan diri sendiri maupun ngobrol dengan sesama dalam situasi silarurrahmi bersama musik, makanan, dan pemandangan”. Begitulah ungkap Sujiwo Tejo pada awal buku Talijiwo.

Seraya jiwa menggerutu menguak kesedihan yang dialami oleh para pencari kesunyian jiwa yang dibarengi oleh hiruk-pikuk kehidupan. Talijowo yang kerap mendapat cengkraman dari kehidupan dunia. Hati memang menjadi penggerak raga, perilaku, serta sikap semua manusia. Kesibukan hati tergambarkan melalui kenangan yang kerap mengisi selir kehidupan oleh kesedihan dan kegembiraan.

Dan merdeka dari kenangan itu ternyata lebih pedih dari para pendekar yang kerap mencari kebebasan. Manusia seringkali dibelenggu kenangan sehingga kerap merenungi kesedihan-kesedihannya. Maka, buku ini memberikan sentilan-sentilan pedas untuk manusia yang disibukkan oleh masalah cinta,  politik, dan sosial.

Terlihat dari sub judul pertama yang diberi judul “Melakoni Lakon”, Sujiwo Tejo memberikan pesan mendalam terhadap para manusia yang melakoni kehidupan dunia sebagai makhluk yang kerap disibukkan oleh masalah cinta. “Berbahagialah para penempuh jalan baru yang belum pernah mereka lakoni sebelumnya, Kekasih. Karena setiap jengkal di jalan itu, mereka tak terikat pada kenangan....”

Cinta bukanlah seluruh kata-kata yang pernah ada, sebab rasa itu tak tentang kata. Manusia memang takkan bisa lepas dari permasalahan cinta. Namun, Sujiwo Tejo juga mengajak pembaca untuk memahami di samping masalah cinta, bahwa pasar adalah sumber penggerak kehidupan sosial manusia. Selama manusia masih hidup, selama itu juga mereka tinggal di dalam pasar, karena hidup itu pada dasarnya adalah “jual beli”, hingga akhirnya saat ini tak hanya dapat membeli dan menjual barang dan jasa, akan tetapi, saat ini kita dapat menjual perasaan dan pendapat.

Pada bagian sub judul “Tongkol”, Sujiwo Tejo mengajak pembaca untuk lebih peka terhadap permasalahan negeri yang kian makin ruwet. Di mana para politikus yang eksis di balik jeruji besi menggunakan rompi kuning saat kena OTT dari KPK,  mereka senyum sumringah eksis di depan para wartawan yang dipertontonkan depan publik. OTT Sedang menjadi trend di dunia politik sekarang, yaitu trend korup dari pelaku politik yang tertangkap KPK. Lihat saja, dari 45 DPRD Kota Malang, hanya empat anggota DPRD yang tidak kena OTT dari KPK. Namun, yang dimaksudkan oleh Sujiwo Tejo adalah korupsi itu luas, korupsi adalah tentang perilaku korup yang banyak macamnya. Yaitu, korupsi “waktu” dan korupsi “perhatian”.

Dosa terbesar orang-orang yang terkena Operasi Tangkap Tangan oleh KPK adalah mereka yang membuat kita merasa suci”. Maksudnya ialah seolah-olah kita yang tidak bermain politik tidak akan pernah kena OTT oleh KPK. Akan tetapi, Sujiwo Tejo berpendapat dalam Talijiwo bahwa manusia seringkali lalai terhadap perhatian menjaga persatuan, sehingga memicu memecah belah bangsa. Maka generasi Z saat ini tak boleh bangga dengan dirinya yang hidup di zaman milenial.  Mereka kian merunduk memerhatikan gadget bermain game, scrool laman IG, facebook, dan update status WhatsApp. Benar yang dikatakan Sujiwo Tejo, generasi merunduk itu juga pelaku korup, yaitu korupsi waktu.  Generasi Z seringkali waktunya habis dengan melakukan hal yang kurang bermanfaat. Maka belum tentu orang yang tidak terkena OTT oleh KPK tidak melakukan korupsi yang dikatakan Sujiwo Tejo.

Pada bagian sub judul “Mas Salman”, Sujiwo Tejo dalam Talijiwo berpesan untuk terus menghidupkan demokrasi yang sering membuat kita cukup kebingungan. Demokrasi adalah hal sederhana. Menurut Romeo dan Juliet, Mawar akan tetap harum andai bernama lain. “Kau sebut mawar dengan bunga, Aku menyebutnya kembang". Berbeda pendapat itu merupakan hal yang lumrah, namun membedakan antara bunga dan kembang adalah kesalahan. Maka kau telah melanggar demokrasi itu. Demokrasi itu sungguh sederhana, Sujiwo Tejo berpesan. “Kekasih, cara paling sederhana untuk mensyukuri otak adalah meninggalkan penceramah kalau dia sudah mulai menyalah-nyalahan agama lain".

Buku Talijiwo ini tentu sangat menarik untuk para pecinta, pendo’a, dan para akademisi tentunya. Buku ini banyak sentilan-sentilan yang menggugah hati serta pikiran kita. Bahwa hidup tak melulu tentang cinta dan perasaan, akan tetapi hidup sangat dekat dengan keadaan sosial, politik, dan agama. Buku ini sengaja disajikan dalam ruah bahasa yang ringan dan gaya Sujiwo Tejo yang nyinyir dalam menayampaikan persan moral. Hiruk-pikuk keadaan dalam menjalani kehidupan adalah penting untuk terus berpikir jernih serta bagaimana menjalani serta mengolah keluhan hidup kita menjadi Senandung.

Judul : Talijiwo
Penulis: Sujiwo Tejo
Jumlah Halaman: 170
Penerbit : PT Bentang Pustaka

*Penulis, Ahmad Viqi Wahyu Rizki
Anggota LPM Pena Kampus FKIP Unram

Tidak ada komentar:

Posting Komentar