Corona dan Kredo Kematian Tuhan - LPM Pena Kampus

Goresan Penamu Runtuhkan Tirani

Breaking

Senin, 30 Maret 2020

Corona dan Kredo Kematian Tuhan


Oleh: Lalu Muhamad Helmi Akbar
(Anggota LPM Pena Kampus)

Sumber foto: Tirto.id

Umat manusia, tengah dihadapkan pada suatu kondisi ketaklaziman yang amat memedihkan. Bagaimana tidak? Munculnya wabah corona atau yang saat ini dikenal dengan covid-19 ini  menjadi masalah pelik yang hadapi bersama, tidak hanya di Indonesia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara resmi telah mengeluarkan maklumat bahwa covid-19 telah menjadi pandemi. Dalam arti paling jauh, covid-19 ini telah menjadi penyakit dalam skala global.

Dalam rentang waktu ditemukannya hingga hari ini, dampak yang ditimbulkan oleh penyebaran Covid-19 dalam skala global bisa dikatakan dahsyat. Penyebarannya yang cepat dan kian masif memantik kepanikan global yang memunculkan orkestra satu nada yang sama; vaksin. Lalu, sejauh ini, apa kemajuan yang telah dicapai negara – negara di dunia dalam memerangi Covid-19 ini? Dalam beberapa hal barangkali tidak ada, selain munculnya teori konspirasi.

Iya, teori konspirasi tentang spekulasi asal – usul dari mana corona ini berasal masih terus menjadi perdebatan menarik, tidak hanya dikalangan elit penguasa dunia dan akademisi, tetapi bahkan menjadi obrolan yang sengit di beberapa warung kopi pedesaan yang kebanyakan berasumsi berdasarkan berita hoax yang mereka konsumsi. Akan tetapi, kita menjadi mafhum, ihwal hal ini memang penting untuk dicarikan setidaknya “alternatif” jawaban yang dapat memuaskan dahaga umat manusia. Sebab sekali lagi, corona bukan hanya sekadar soal kesehatan, ia juga mengobrak-abrik tatanan sosial, pendidikan, ekonomi, bahkan yang terburuk, hubungan percintaan.

Beragamnya teori konspirasi yang muncul ihwal penyebab terjadinya virus ini makin menambah kebisingan. Mulai dari stigma bahwa virus bermula dari hewan, bocornya pabrik senjata pemusnah massal China, atau bahkan atas nama memenangkan perang dagang? Selain itu, masih tedapat teori konspirasi lain yang rasanya makin jauh dari kebenaran. Jawaban pastinya memang belum ada yang menyeruak ke permukaan.

Teori kosnpirasi memiliki kecenderungan untuk muncul berkaitan dengan saat – saat krisis umat manusia. Beruntungnya, teori konspirasi semakin mendapatkan tempat dalam masa penuh ketidakpastian dan ancaman. Saat kita berusaha memaknai dunia yang kacau. Ihwal teori konspirasi ini, kita seperti diarahkan untuk memaknai covid-19 ini secara parsial. Dalam arti lain, persepsi kita untuk menilai hal ini (baca: covid-19) menjadi terkotak – kotak. 

Sebetulnya, pertanyaan yang lebih tajam dibandingkan memperdebatkan dari mana wabah ini berasal adalah siapakah pasien nol dalam arti siapakah orang pertama yang terjangkit virus corona ini? Tampaknya, jawaban dari pertanyaan ini akan lebih representatif digunakan untuk membedah pandemi covid-19 ini.

Secara rasional, barangkali setiap teori konspirasi yang muncul terkait covid-19 ini seharusnya dapat kita terima sebagai suatu alternatif kebenaran. Hal ini penting agar kita tidak terjebak pada fanatisme kebenaran yang sebetulnya bias. Memang, jawaban terkait asbabun nuzul  virus ini berasal sangat dinantikan dan cenderung menegangkan. Bahkan, ini sama menegangkannya dengan menunggu siaran konferensi pers terkait data terbaru penyebaran corona di Indonesia, setiap sorenya.

Akan tetapi, jika kita menganggap pandemi ini sebagai medium perang dagang antara negara – negara adikuasa (sebut saja Amerika dan China) atau tuduhan terkait bocornya pabrik senjata biologis itu benar, maka kita sebenarnya sedang dipertontonkan orkestra yang begitu subtil tentang “negosiasi” kapan sebetulnya kiamat akan terjadi.

Bagaimana dengan Corona di Indonesia?

Dalam kenyataannya, berdasarkan pengalaman, Indonesia (masyarakatnya) selalu mempunyai cara yang khas dan cenderung meremehkan dalam memaknai setiap peristiwa. Secara epistemik, mungkin ingatan kita masih begitu kuat tentang bagaimana masyarakat menanggapi munculnya wabah ini sebelum masuk ke Indonesia. Padahal pada saat yang sama, negara – negara di belahan lain dunia tengah berjibaku melawan ganasnya wabah ini, terlalu angkuh bukan? Silahkan Anda beri penilaian sendiri.

Lalu bagaimana keadaan Indonesia hari ini? Rasio penyebaran kasus terdampak positif covid-19 di Indonesia terus berpacu. Meski masih di bawah Malaysia dan jauh di bawah Amerika sebagai episentrum terbesar terdampak covid-19 dengan total kasus 123.271, tetapi tingkat kematian terdampak positif covid-19 di Indonesia termasuk dalam kelompok tertinggi di dunia. Tentu ini merupakan kenyataan yang seharusnya tidak disematkan pada Indonesia.

Kredo Kematian Tuhan dalam Kasus Corona 

Friedrich Wilhellm Nietzsche merupakan seorang filsuf  yang mempopulerkan tentang kematian Tuhan. Menurut Nietzsche,  Tuhan telah mati dan manusialah (kita – kita inilah) pembunuhnya.  Tuhan sebagai isi kepercayaan menurut Nietzsche telah mati. “Kematian Tuhan” tidak dapat dimaknai secara harfiah, sebaliknya, inilah cara Nietzsche untuk mengatakan “menolak” gagasan tentang Tuhan tidak lagi mampu untuk berperan sebagai sumber dari semua aturan moral atau teologis.

Menurut Nietzsche, Tuhan sebagai matahari sudah terbenam, tetapi matahari – matahari lain diciptkan manusia, dalam arti lain, Tuhan – Tuhan baru juga dicipatkan manusia. Nietzsche menggunakan cara yang begitu menarik dalam mewartakan kematian Tuhan. Ia menggambarkan tentang kisah orang gila (tentu tidak dalam arti sebenarnya) yang disengaja menyalakan lentera pada siang bolong, lalu berlarian ke pasar kemudian berteriak – teriak. “Aku mencari tuhan, Aku mencari Tuhan”. Lantas kemudian kelaukan orang gila tersebut mengundang gelak tawa orang – orang di pasar. Berdasarkan awal cerita tersebut, selanjutnya diceritakan terjadi dialektika antara si orang gila dengan orang – orang pasar.

Untuk memaknai peristiwa tersebut, tentu kita harus masuk ke dalam konteks sejarah tempat Nietzsche tinggal. Saat itu, ia hidup pada suatu zaman di mana orang – orang memang telah menerima bahwa Tuhan telah mati. Kematian Tuhan merupakan suatu hal yang lumrah dan tidak perlu diperdebatkan. Melalui peristiwa itu, Nietzsche sebagai pembawa kabar,  ingin menyampaikan bahwa kematian Tuhan bukanlah merupakan sesuatu hal yang biasa. Semua orang harus bertanggungjawab atas hal itu.

Tentu kita menyadari betul bahwa warta kematian tuhan ini perlu ditafsir dengan hati – hati. Terlebih lagi, pemikiran Nietzsche  cenderung beraroma aforisme. Seiring dengan itu, pemikiran Nietzsche memang terbatas dalam konteks budaya saat ia hidup. Akan tetapi, setidaknya, warta tentang kematian Tuhan ini dapat kita jadikan sebagai pintu masuk dalam memaknai pandemi covid-19 ini.

Dalam mengartikulasikan pandemi covid-19 ini, terdapat perbedaan curam antara kaum saintis dan agama dalam merespon hal ini (covid-19).  Kebenaran dari kedua institusi itu sering dipandang sebagai dua hal yang dikotomi. Kebenaran yang dikehendaki para saintis memang seringkali tidak sejalan dengan konsep mazhab teologis. Sejalan dengan itu, Nietzsche menganggap bahwa kematian Tuhan juga diakibatkan oleh kesalahan umat beragama dalam memaknai atau merespon setiap realitas yang ada.

Dalam kasus corona ini, akan tampak pemahaman terkait agama yang parsial. Kenyataan ini sangat menjengkelkan bagi sebagian besar orang. Seringkali, pemahaman yang kurang sempurna terkait agama ini justru menambah buruk keadaan. Lihat saja, bagaimana sikap sebagian besar orang Indonesia terkait corona. “Kami tidak takut kepada corona, kami hanya takut kepada Tuhan kami”. Realitas ini, dalam arti sempit dapat dimaknai sebagai gejala kematian Tuhan. Tuhan telah mati dalam belah pisau kita sendiri. Subjek rasionalitas kemanusiaan dalam arti transendental telah mati. Manusia yang mempunyai akal dalam arti dapat menafsirkan realitas yang ada juga telah mati, barangkali ia ikut dimakamkan bersama pemakaman Tuhan.

Dalam konteks keindonesiaan hari ini, diperlukan suatu pemahaman yang sama terkait bahaya yang dibawa corona. Implikasinya,  kerja kolektif antara semua kalangan mutlak diperlukan guna memutus rantai penyebaran. Pemerintah, tokoh agama atau siapapun yang memenuhi pelataran publik jangan membuat gaduh suasana. Masyarakat juga harus mafhum terkait dengan instruksi pemerintah. Geliat physical distancing  yang terus disuarakan seharausnya menjadi cambuk agar masyarakat sadar bahaya yang sedang kita hadapi bersama. Di sisi lain, karantina wilayah dalam arti tertentu juga baik. Akan tetapi, jika kondisi masyarakat tetap tidak patuh terhadap imbauan pemerintah, barangkali kebijakan tersebut terlalu mahal untuk dilakukan jika masyarakat tidak taat aturan. Sebab selain pertimbangan ekonomi, aspek keamanan juga jangan disepelekan.

Dalam kasus lain, keterkaitan Indonesia dengan politik memang tampak hubungan resiprokal. Segala sesuatu, seringkali dipandang dari optik politik, tak terkecuali kasus corona ini. Kepentingan politik masih membayangi setiap kebijakan yang diambil, tak hanya oleh pemerintah, tetapi eksponen lain seperti partai politik. Partai politik dalam hal ini (corona) belum menunjukkan sumbangsihnya terhadap setiap proses yang ada. Kenyataan ini semakin mereduksi keberadaan partai politik. Seyogianya, momen corona ini dapat dijadikan media redefinisi terhadap makna kepartaian di Indonesia. Tunggalkan corona dan tinggalkan kepentingan partai politik semata.

Sekali lagi, Indonesia masih punya waktu untuk melakukan tindakan preventif dalam mengahadapi corona ini. Berdasarkan penelitian yang dilakukan para ahli, sepertinya kita haqqul yaqin juga percaya bahwa pandemi ini akan berakhir, tetapi entah kapan. Mungkin, berakhirnya pandemi ini akan menjadi awal kehidupan yang baru; kiamat. Ataukah barangkali sebenarnya bisa jadi kita inilah, umat manusia, adalah hama sesungguhnya di planet ini. Corona lantas menjadi 'antivirus' atas keserakahan kita semua. Di lain sisi, tampaknya Israfil sedang membersihkan tangannya dengan hand sanitizer sembari men-sucikan terompet sangkakala tuanya yang penuh debu dan bercak dari kegaduhan manusia, lalu kemudian bersiap melakukan penyemprotan disinfektan.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar