Sebesar Apa Ujianmu Hingga Kau Mengeluh? - LPM Pena Kampus

Goresan Penamu Runtuhkan Tirani

Breaking

Minggu, 19 April 2020

Sebesar Apa Ujianmu Hingga Kau Mengeluh?




Oleh: Ema Septiani
(Anggota LPM Pena Kampus)

Seberkas sinar menyusup melalui dinding kamar yang mulai retak oleh kebisingan. Malam ini begitu menggigil, tubuhku meringkus ketakutan di sudut kamar tempatku mengasingkan diri saat suara-suara pecah itu menerkamku. Kelam, sunyi, hitam pekat yang kurasakan. Hidupku begitu hancur saat  reruntuhan-reruntuhan ujian itu menimpaku.

Kutengadahkan wajahku pada langit yang bersinar kemudian perlahan berubah menjadi kelabu, seolah menggambarkan harapanku yang mulai memudar. Ketentraman yang aku impikan mungkin adalah sebuah harapan ilusi.

“Oh…Tuhan, apa salahku hingga Engkau memberiku ujian yang tak ada ujungnya? Mengapa? Engkau membiarkan mereka  tidur dengan nyenyak, kehidupan yang serba berkecukupan, hidup rukun dengan keluarganya dan sementara aku, kau biarkan hidup melarat!”

Entah sudah keberapa kalinya aku menyalahkan Tuhan terhadap apa yang telah menimpaku. Selama ini, yang selalu menjadi semangat hidupku adalah sosok ayah yang selalu sabar dan tegar meskipun seringkali ibu selalu menyakiti perasaannya.

“Saya akan berhenti melacur jika kuliah Zahra diberhentikan! Siapa yang akan membiayainya? Kamu kira saya bekerja seperti ini hanya cuma-cuma? Ini semua demi anak kita, Mas!”

Tepat sekali, sebagian besar keluarga selalu dihadapkan oleh permasalahan ekonomi dan  itulah yang terjadi di keluargaku. Ayahku yang sudah lama berhenti bekerja karena masalah  kesehatan membuat ibu terpaksa turun tangan mencari nafkah dengan cara kotor itu.

Merintih batin ini saat mengetahui pekerjaan ibuku sebagai seorang pelacur, omongan tetangga sudah tidak bisa ditampung lagi karena kebanjiran hujatan. Tidak hanya tetangga, bahkan semua teman-temanku menjauh. Di dunia ini aku hanya hidup sendirian tanpa seorang teman.

Suatu ketika, saat itu aku melihat ibu dijemput oleh seorang laki-laki dengan mobil mewah, entah mau dibawa ke mana. Ku lihat ayah berdiri di depan pintu tanpa berkata sepatah katapun, namun yang kulihat dari raut wajahnya adalah jiwa yang menjerit meronta-ronta kesakitan.

Aku sudah tidak tahan lagi melihat kesedihan ayah, akhirnya kuputuskan untuk berhenti dari dunia perkuliahan dan memilih mencari lowongan pekerjaan untuk membiayai kebutuhan keluarga, aku berharap dengan ini ibu akan meninggalkan pekerjaannya. Aku mulai mencoba melamar pekerjaan bermodalkan ijazah tamatan SMK. Dan alhamdulillah, aku diterima bekerja di sebuah perhotelan terkenal yang tidak terlalu jauh dengan rumahku.

Sudah lima bulan lamanya aku bekerja, rasanya hidupku sudah cukup membaik karena kebisingan-kebisingan yang kudengar dari ayah dan ibu sudah tak menguap lagi. Iya, ibuku sudah meninggalkan pekerjaan kotor itu. Dan hari ini, aku begitu bahagia karena kami bisa saling menebar senyuman seperti ‘keluarga’ yang disebut oleh mereka walaupun sebenarnya aku merindukan suasana belajar di kampus.

Keesokan harinya, ketika aku hendak berangkat bekerja tak sengaja kulihat ibuku diperjalanan bersama dengan laki-laki lain, aku mulai membuntutinya dari belakang. Dan kecurigaanku mulai bertambah saat mereka bergandengan tangan. Seketika badanku roboh saat melihat ibuku kembali melakukan kesalahan yang sama.

Rupanya ujianku tidak berhenti sampai di sana, ujian hidupku kali ini benar-benar membuat keadaan psikologisku terganggu. Betapa lebih hinanya aku dibandingkan dengan ibuku. Kali ini aku benar-benar kehilangan seluruh hidupku saat aku melakukan hubungan terlarang dengan bos tempatku bekerja. Kala itu pikiranku memang sedang kacau, aku benar-benar kehilang akal.

Kejadian itu tidak diketahui oleh siapapun termasuk oleh ayah dan ibuku. Selang beberapa bulan kemudian aku dinyatakan positif hamil. Ketika kuminta pertanggungjawaban darinya, Darma malah berkelit dari masalah ini. Aku sudah tidak tahu harus bagaimana lagi.

Tentunya aku tidak bisa berbohong lagi saat tubuhku mulai terlihat berubah, ayah dan ibu mulai curiga denganku. Sepertinya, bangkai ini lama-lama akan tercium juga. Setelah mendengar pernyataan dari saya, ibu lantas mengusirku dari rumah tanpa rasa kasihan denganku.

Sempurna sudah penderitaan ini, aku kehilangan keluargaku, kehilangan pekerjaanku dan tanpa berkawan dengan seorangpun. Saat-saat seperti ini, kehampaan dijadikan sebagai ruang kosong untuk mengelabuiku menggugurkan janin yang ada di dalam kandunganku. Waktu itu,  aku sempat mengambil benda tajam untuk membunuh janinku namun Allah hadirkan sosok lelaki yang menolong bayi tanpa dosa itu, ia bersedia menjadi ayah dari bayi yang sedang kukandung. Dia adalah sosok lelaki yang baik, taat beribadah dan tidak pernah memandang bulu.

Kehidupan baru-pun dimulai dan kami hidup dengan tentram namun rasanya ada yang hilang dari hidup ini. Aku rindu dengan keluargaku, aku selalu terngiang dengan ayah.

“Bagaimanakah kabarmu wahai ayah, apakah kau baik-baik saja di sana, apakah ibu masih bekerja sebagai seorang pelacur?”

Tring...tring…tring…. (nada handphoneku berbunyi)

Kulihat panggilan itu dan yang terpampang adalah nomer yang tidak dikenal.

“Halo, Assalamualaikum? Zahra, Nak, Ibu begitu rindu denganmu. Bagaimana kabarmu di sana? Maafkan ibu, ibu sungguh menyesal.”

“Waalaikumussalam, ini benar dengan ibu? Aku di sini baik-baik saja, bu, aku sungguh merindukan kalian. Bagaimana keadaan kalian di sana?”

“Pulanglah, Nak, ibu sudah berhenti dari pekerjaan kotor itu. Ayahmu sudah berubah, ia sudah tidak mau lagi memperhatikan kesehatannya. Setiap hari ayahmu mabuk-mabukkan dan sementara adikmu, Nida mengkonsumsi narkoba akibat dari seorang laki-laki yang menghamilinya.”

Kabar dari ibu, mendorongku untuk mudik bersama dengan keluarga. Aku benar-benar khawatir dengan mereka.

Sesampainya di sana, aku melihat botol-botol minuman keras bertebaran, kulihat ayahku yang terbujur kaku di beranda rumah, kulihat adikku yang yang terlihat seperti orang gila yang tak mau mengurus dirinya.

“Siapa pria yang sedang bersama kakak itu?”

“Dia adalah suamiku, kakak iparmu dek. Kenapa memangnya?”

“Ketahuilah kak, dia adalah laki-laki brengsek yang telah membuat saya seperti ini, dia yang sudah menghamili saya namun dia hilang tanpa kabar sepatah katapun.”

“Maafkan aku, Nida. Istriku, aku tidak bermaksud menyakiti Nida. Dulu aku memang belum mengenal Tuhanku. Hidupku selalu diisi dengan hal-hal yang tidak bermanfaat. Dulu aku bukanlah lelaki seperti apa yang kamu tahu sekarang.”

Apalagi yang harus aku keluhkan kepada Tuhan, hanya Dialah yang Maha mengetahui atas semua ujian ini. Semua wanita mungkin tak rela di madu apalagi dengan adik kandungku sendiri, namun jika ini adalah jalan yang telah ditentukan oleh-Nya aku rela dan ikhlas. Sesungguhnya hanya Allah-lah tempat kembali semua yang ada di langit dan bumi.

Peristiwa yang pernah aku alami mengajarkan arti dari sebuah kehidupan, ketegaran dan keikhlasan. Untuk ayah dan ibuku semoga engkau tenang di alam sana, pesan darimu sungguh sangat mengharukan, berlinang bercucuran air mataku;

“Ibu sudah lama bekerja sebagai seorang pelacur demi keluarga kita, namun ibu sungguh menyesal. Apa yang ibu lakukan ternyata salah. Bahagia itu tidak selamanya dengan uang. Ibu telah salah dalam mengartikan kebahagiaan. Nak, Ibu ada tabungan untukmu. Terimalah, insyaallah itu adalah uang halal yang dapat kau pergunakan. Sekali lagi, maafkan ibu, Nak. Salam sayang. Semoga kita berjumpa di jannah-Nya.”

Bagaimanapun seorang ibu, ia tetap menjadi ibu kita. Bagaimanapun prilakunya, seorang ibu tidak akan pernah hilang nalurinya sebagai seorang ibu.

Serangkaian bagaimana alur dari kehidupan yang pernah aku jalani mengingatkanku dengan firman Allah dalam Q.S Al-Mulk:2

“Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun.”

Betapa ayat ini sungguh kaya akan makna sebuah kehidupan. Tidak ada manusia yang sempurna, tidak ada munusia yang tidak diuji, entah itu dengan keluarga, pasangan, teman, tetangga, ekonomi, dan pendidikan. Tugas kita hanya bersabar, berusaha dan berdoa kepada-Nya.

-Tamat-












Tidak ada komentar:

Posting Komentar