Oleh: Nur Islamiyati (Anggota LPM Pena Kampus)
Ku pikir tak apa jika sesekali menghadapi badai
Mengorbankan segala helaian daun, bunga, mahkota, dan tangkai
Kini yang tertinggal hanyalah batang tubuh yang rapuh
Lalu pada bagian mana harus ku sambung agar ia kembali utuh?
Katamu,
Yang indah tak melulu tentang bunga
Dan menjadi bunga tak selamanya harus berwarna
Pantaskah aku tumbuh kembali menjadi ilalang?
Lalu dengan benang yang mana harus ku rajut agar tak hanya jadi angan?
Jalanan terasa semakin sempit seiring tembok yang kian menghimpit
Tersembunyi segenap keraguan pada pilihan antara hitam atau putih
Aku meringkih,
Suara-suara itu kembali membuatku tertatih;
Lolongan anjing,
Dan tetangga-tetangga yang senang bergunjing
Siapa aku?
Apa aku serupa iblis yang tangisnya adalah hujan yang mereka nanti?
Atau malaikat yang kemarahannya adalah petir-petir yang justru mereka hindari?
Atau semacam petaka yang mereka kutuk abadi dalam hati?
Atau mungkin dimata mereka aku tak lebih dari seorang pemuak bumi
Mereka bahagia atas senyum yang telah lama tenggelam di ujung Sahara
Aku duduk di tepi tebing, merangkul rasa bersalah yang mengganda
Sampai kematian melakukan bagiannya,
Lari dari amukan singa atau bertahan dengan gigitan kobra, akhirnya akan tetap sama;
Aku tamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar