NAMAKU HINDANIA: BEGINILAH NASIBKU HARI INI - LPM Pena Kampus

Goresan Penamu Runtuhkan Tirani

Breaking

Jumat, 20 Agustus 2021

NAMAKU HINDANIA: BEGINILAH NASIBKU HARI INI


Image © mixkit.co


Oleh : Riza Zohaeriah (Anggota LPM Kampus)


Ada setitik noda pada warna suara nenek ketika wanita tua itu kembali mengulang kisah usangnya hari ini. Anjani masih mengamati bagaimana nenek bercerita tentang kerusakan pada tubuh ibu ketika mulut berkeriput tak ada gigi itu bergetar dan perlahan hanya mengeluarkan gumaman lirih. Di sudut pondok kayu beralaskan tikar pandan, Anjani duduk memeluk lututnya sembari melihat warna suara nenek perlahan berubah menjadi biru pekat. Ada kebohongan juga kegelisahan yang sedang disembunyikan nenek hari ini.


Suasana tegang memenuhi pondok ketika Anjani melihat keadaan nenek yang menangis tersedu-sedu, sambil sedikit terhuyung karena terbentur satu sama lain, ketiga saudara laki-laki Anjani memapah nenek untuk berbaring di atas dipan. Mereka berempat kini duduk bersila di lantai menghadap nenek. Tak ada suara selain embusan napas nenek dan beberapa binatang malam terdengar samar.


“Nek, ibu yang nenek sering ceritakan itu siapa?” Anjani memberanikan diri membuka suara, mengabaikan para abangnya yang menggelengkan kepala kearahnya, pertanda menyuruhnya jangan bertanya aneh. Anjani tak hiraukan, perhatiannya penuh pada sosok jelita sang nenek, paras ayu dan rambutnya yang meskipun memutih seutuhnya tetapi masih lebat terawat itu bersinar di bawah kuning lampu pondok. Anjani selalu penasaran, pada apa pun yang nenek ceritakan. Terutama pada sosok ibu yang selalu nenek ceritakan setiap bulan kemerdekaan negerinya tiba.


Bulatkan saja menjadi lima tahun, selama lima tahun itu nenek selalu menceritakan kisah ibu yang mulai sekarat akibat perbuatan anaknya sendiri. Akan tetapi, nenek tidak pernah sama sekali menyebutkan siapa ibu dalam cerita yang dia kisahkan.


Bibir keriput itu bergetar, setetes air mata jatuh melewati kulit nenek yang keriput. Melihat itu, Arjuna, abang tertua Anjani menatap tidak suka pada adik bungsunya. Tapi, sekali lagi, Anjani tidak peduli. Gadis remaja itu semakin mendekatkan dirinya pada sang nenek. Telinganya dia posisikan sejajar dengan bibir keriput sang nenek ketika mendengar neneknya berbicara.


“Ibu dan anak berada pada garis mati.”


Hanya sebaris kalimat patah-patah yang berhasil Anjani dengar, saat tiba-tiba nenek menarik napas berat dan putus-putus. Semua tercekat. Teriakan abang ketiganya membangunkan Anjani dari keterkejutan. Arjuna dan Garuda, abang keduanya panik luar biasa. Ketika tersadar dari keterkejutan, ada luka gores memanjang di lengan kiri Anjani. Itu diakibatkan oleh goresan dinding bambu saat tak sengaja terdorong oleh Garuda karena berusaha menyingkirkannya dari hadapan nenek.


“Nenek tidak apa-apa….” Gumaman lirih sang nenek sedikit meredakan kepanikan ketiga saudara Anjani. Sedangkan Anjani sendiri masih berusaha menetralkan detak jantungnya akibat keterkejutan yang dia terima serta rasa sakit di lengannya.


Semua saudaranya menyebar di ruangan kecil pondok bambu itu. Rama, abangnya nomor tiga, yang tadi pagi membanggakan mereka semua karena berhasil menjadi anggota paskibraka di provinsi, duduk bersimpuh dengan kepala diletakkan di atas dipan menatap lekat wajah keriput nenek. Garuda duduk di atas kusen jendela yang terbuka sembari mengatur napasnya, dan Arjuna, abangnya yang paling penyayang, kini sedang mengulurkan tangan pada Anjani dan mengajaknya duduk di beranda depan pondok. Di tangan kirinya ada kain dan beberapa jenis dedaunan serta sebaskom kecil air hangat. Mereka berdua duduk bersila di bawah sinar rembulan.


“Coba abang lihat lukanya?”


Anjani menyerahkan lengan kirinya pada Arjuna, mengamati bagaimana telatennya tangan Arjuna membersihkan luka goresnya dengan air hangat.


“Anjani sepertinya ada pertanyaan? Tanya sama abang saja, ya?”


Suasana malam yang diselimuti berisiknya suara binatang malam menguasai dua kakak adik itu. Anjani masih diam mengamati kakaknya menghaluskan dedaunan dengan batu yang semula dijadikan pengganjal pintu. Sampai panggilan Anjani memecahkan sunyi.


“Abang?”


“Hmm?”


Mendapat respons dari abangnya membuat Anjani kembali mengatupkan bibirnya ragu. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin dia tanyakan, tapi Anjani merasa tak enak. Melihat bagaimana raut wajah saudara-saudaranya tadi membuat Anjani tidak berani bertanya, dan juga takut pada respons Arjuna pada pertanyaannya nanti.


“Masih penasaran sama sosok ibu itu, ya?” tanya Arjuna tepat sasaran. Ragu-ragu, Anjani menganggukkan kepalanya membenarkan ucapan sang abang. Arjuna tersenyum sembari mengoleskan getah daun yodium di lengan adiknya yang terluka.


“Namanya Hindania. Lahir di waktu fajar menyingsing. Ia bersuamikan seorang Brahmana dari Hindustan, yang kelak berpulang ke kahyangan.”


Arjuna terkekeh melihat kerutan di kening adik bungsunya. “Kenapa? Ceritanya memang berawal dari sana, kok. Abang enggak mengada-ngada, loh. Nenek sendiri yang menceritakan abang kisah ini.”


“Mau lanjut, enggak?” Melihat warna suara abangnya yang jernih, Anjani mengangguk sebagai jawaban.


Setelah membalurkan daun binahong halus pada luka di lengan adiknya, Arjuna kemudian membalutnya menggunakan kain sembari melanjutkan ceritanya.


“Suatu ketika, datang seorang musafir dari barat bernama Wolandia. Musafir ini berusaha keras membujuk Hindania untuk menikah, tapi Hindania tidak mau. Karena menurut Hindania, si musafir ini terlalu miskin. Si musafir ini bahkan lebih peduli pada harta Hindania ketimbang anak-anak Hindania.” Setelah selesai membebat luka di lengan adiknya, Arjuna bersandar di pilar pondok, Anjani kemudian menyandarkan kepalanya di bahu sang abang.


“Sampai suatu hari, terjadi perubahan besar di barat sana. Katanya, sang maharaja Mars naik tahta. Namun, justru kabar kebengisan maharaja Mars ini malah menyadarkan Wolandia, dia yang saat itu sudah memperistri Hindania kemudian memperlakukan Hindania dengan amat baik. Seakan-akan takut Hindania akan membuangnya. Begitu. Tamat.”


“Bohong!” Anjani mendorong bahu abangnya, gadis itu memberengut membuat Arjuna hampir meledakkan tawa. Tangan Arjuna kemudian mengusak pelan rambut sebahu sang adik.


Anjani kembali bersandar pada bahu Arjuna. “Kalau dengar dari cerita abang, Hindania ini berarti Indonesia, ‘kan? Terus musafir itu, Wolandia, itu Belanda?”


“Iya, benar.”


Arjuna melanjutkan, “Setelah anak-anak Hindania dewasa, mereka memberontak. Mereka mengusir Wolandia dan beberapa yang mencoba mendekati ibu mereka. Sampai akhirnya mereka menang. Dan ya, seperti yang terlihat sekarang, Hindania, Indonesia, ibu pertiwi kita, sudah berulang-ulang kali merayakan kemerdekaannya.”


Kening gadis remaja itu kembali berkerut dalam, “Lalu, apa maksud perkataan nenek tentang ibu dan anak berada pada garis mati?”


“Yah, Anjani lihat saja keadaan negeri kita hari ini. Hindania memang masih indah seperti sedia kala, tapi itu juga tidak bisa menutup segala kerusakan yang ada. Bencana alam yang terjadi beruntun itu bisa dicegah jika kita bisa menjaga alam. Tapi masalahnya, anak-anak Hindania, ah, ibu pertiwi, sekarang tumbuh menjadi manusia rakus.”


Tangan Arjuna menepuk-nepuk kepala adiknya, “belum lagi anak-anak ibu pertiwi yang duduk di kursi kehormatan sana. Mereka seakan suci. Tanpa menyentuh, mereka bisa menghancurkan segala yang mereka inginkan. Anehnya, mereka bahkan dengan mudahnya membunuh saudara mereka sendiri. Mereka yang berkuasa, menguasai harta, justru meminta pertolongan atas kesalahan yang mereka perbuat. Sedangkan saudara-saudara mereka yang terlantar, yang seharusnya menerima pertolongan, sama sekali tidak pernah mereka hiraukan.”


Tatapan Arjuna berlabuh pada seekor burung hantu yang mendarat tidak sempurna di dahan pohon jambu.


“Ah, rasanya tidak adil jika kita hanya menyalahkan anak-anak Hindania yang berada pada kursi kehormatan. Tapi, ya, contoh gampangnya ya mereka.”


Suara burung malam terdengar bersahutan dengan jangkrik. Hening menguasai Arjuna dan Anjani.


“Itulah yang ingin dikatakan nenek. Ibu dan anak berada pada garis mati. Entah itu negeri maupun rakyatnya, sama-sama tidak aman pada kata selamat.”


Anjani mendongak melihat wajah abangnya, “Jadi, bagaimana nasib Hindania hari ini?”


Arjuna menggeleng. Tersenyum menatap mata legam adiknya.


“Entah? Setiap kepala punya pemikiran mereka sendiri. Setiap orang punya sudut pandang mereka pribadi. Kalau menurut Anjani, bagaimana nasib Hindania hari ini?”

 

***

 

Cerpen ini berlandaskan pada cerpen berjudul Nasib Hindania karya Mohammad Hatta dari Majalah Jong Sumatra Orgaan Vid Jong Sumatranen Bond Onder Redactievih Hoofdbestuur. No. 5, 1920 hal. 90-93.

 

Salam indah Puspa Langka,

Riza.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar