Image
© mixkit.co
Oleh : Riza Zohaeriah (Anggota LPM Kampus)
Ada setitik noda pada
warna suara nenek ketika wanita tua itu kembali mengulang kisah usangnya hari
ini. Anjani masih mengamati bagaimana nenek bercerita tentang kerusakan pada
tubuh ibu ketika mulut berkeriput tak ada gigi itu bergetar dan perlahan hanya mengeluarkan
gumaman lirih. Di sudut pondok kayu beralaskan tikar pandan, Anjani duduk
memeluk lututnya sembari melihat warna suara nenek perlahan berubah menjadi biru
pekat. Ada kebohongan juga kegelisahan yang sedang disembunyikan nenek hari
ini.
Suasana tegang memenuhi
pondok ketika Anjani melihat keadaan nenek yang menangis tersedu-sedu, sambil
sedikit terhuyung karena terbentur satu sama lain, ketiga saudara laki-laki
Anjani memapah nenek untuk berbaring di atas dipan. Mereka berempat kini duduk
bersila di lantai menghadap nenek. Tak ada suara selain embusan napas nenek dan
beberapa binatang malam terdengar samar.
“Nek, ibu yang nenek
sering ceritakan itu siapa?” Anjani memberanikan diri membuka suara,
mengabaikan para abangnya yang menggelengkan kepala kearahnya, pertanda
menyuruhnya jangan bertanya aneh. Anjani tak hiraukan, perhatiannya penuh pada
sosok jelita sang nenek, paras ayu dan rambutnya yang meskipun memutih
seutuhnya tetapi masih lebat terawat itu bersinar di bawah kuning lampu pondok.
Anjani selalu penasaran, pada apa pun yang nenek ceritakan. Terutama pada sosok
ibu yang selalu nenek ceritakan setiap bulan kemerdekaan negerinya tiba.
Bulatkan saja menjadi
lima tahun, selama lima tahun itu nenek selalu menceritakan kisah ibu yang mulai
sekarat akibat perbuatan anaknya sendiri. Akan tetapi, nenek tidak pernah sama
sekali menyebutkan siapa ibu dalam cerita yang dia kisahkan.
Bibir keriput itu
bergetar, setetes air mata jatuh melewati kulit nenek yang keriput. Melihat
itu, Arjuna, abang tertua Anjani menatap tidak suka pada adik bungsunya. Tapi, sekali
lagi, Anjani tidak peduli. Gadis remaja itu semakin mendekatkan dirinya pada
sang nenek. Telinganya dia posisikan sejajar dengan bibir keriput sang nenek
ketika mendengar neneknya berbicara.
“Ibu dan anak berada pada
garis mati.”
Hanya sebaris kalimat patah-patah
yang berhasil Anjani dengar, saat tiba-tiba nenek menarik napas berat dan
putus-putus. Semua tercekat. Teriakan abang ketiganya membangunkan Anjani dari
keterkejutan. Arjuna dan Garuda, abang keduanya panik luar biasa. Ketika
tersadar dari keterkejutan, ada luka gores memanjang di lengan kiri Anjani. Itu
diakibatkan oleh goresan dinding bambu saat tak sengaja terdorong oleh Garuda
karena berusaha menyingkirkannya dari hadapan nenek.
“Nenek tidak apa-apa….”
Gumaman lirih sang nenek sedikit meredakan kepanikan ketiga saudara Anjani.
Sedangkan Anjani sendiri masih berusaha menetralkan detak jantungnya akibat
keterkejutan yang dia terima serta rasa sakit di lengannya.
Semua saudaranya menyebar
di ruangan kecil pondok bambu itu. Rama, abangnya nomor tiga, yang tadi pagi
membanggakan mereka semua karena berhasil menjadi anggota paskibraka di provinsi,
duduk bersimpuh dengan kepala diletakkan di atas dipan menatap lekat wajah
keriput nenek. Garuda duduk di atas kusen jendela yang terbuka sembari mengatur
napasnya, dan Arjuna, abangnya yang paling penyayang, kini sedang mengulurkan
tangan pada Anjani dan mengajaknya duduk di beranda depan pondok. Di tangan
kirinya ada kain dan beberapa jenis dedaunan serta sebaskom kecil air hangat.
Mereka berdua duduk bersila di bawah sinar rembulan.
“Coba abang lihat
lukanya?”
Anjani menyerahkan lengan
kirinya pada Arjuna, mengamati bagaimana telatennya tangan Arjuna membersihkan
luka goresnya dengan air hangat.
“Anjani sepertinya ada
pertanyaan? Tanya sama abang saja, ya?”
Suasana malam yang
diselimuti berisiknya suara binatang malam menguasai dua kakak adik itu. Anjani
masih diam mengamati kakaknya menghaluskan dedaunan dengan batu yang semula
dijadikan pengganjal pintu. Sampai panggilan Anjani memecahkan sunyi.
“Abang?”
“Hmm?”
Mendapat respons dari
abangnya membuat Anjani kembali mengatupkan bibirnya ragu. Sebenarnya ada
banyak hal yang ingin dia tanyakan, tapi Anjani merasa tak enak. Melihat
bagaimana raut wajah saudara-saudaranya tadi membuat Anjani tidak berani
bertanya, dan juga takut pada respons Arjuna pada pertanyaannya nanti.
“Masih penasaran sama
sosok ibu itu, ya?” tanya Arjuna tepat sasaran. Ragu-ragu, Anjani menganggukkan
kepalanya membenarkan ucapan sang abang. Arjuna tersenyum sembari mengoleskan
getah daun yodium di lengan adiknya yang terluka.
“Namanya Hindania. Lahir
di waktu fajar menyingsing. Ia bersuamikan seorang Brahmana dari Hindustan,
yang kelak berpulang ke kahyangan.”
Arjuna terkekeh melihat
kerutan di kening adik bungsunya. “Kenapa? Ceritanya memang berawal dari sana, kok.
Abang enggak mengada-ngada, loh. Nenek sendiri yang menceritakan abang
kisah ini.”
“Mau lanjut, enggak?”
Melihat warna suara abangnya yang jernih, Anjani mengangguk sebagai jawaban.
Setelah membalurkan daun
binahong halus pada luka di lengan adiknya, Arjuna kemudian membalutnya
menggunakan kain sembari melanjutkan ceritanya.
“Suatu ketika, datang
seorang musafir dari barat bernama Wolandia. Musafir ini berusaha keras
membujuk Hindania untuk menikah, tapi Hindania tidak mau. Karena menurut
Hindania, si musafir ini terlalu miskin. Si musafir ini bahkan lebih peduli
pada harta Hindania ketimbang anak-anak Hindania.” Setelah selesai membebat
luka di lengan adiknya, Arjuna bersandar di pilar pondok, Anjani kemudian
menyandarkan kepalanya di bahu sang abang.
“Sampai suatu hari,
terjadi perubahan besar di barat sana. Katanya, sang maharaja Mars naik tahta.
Namun, justru kabar kebengisan maharaja Mars ini malah menyadarkan Wolandia,
dia yang saat itu sudah memperistri Hindania kemudian memperlakukan Hindania
dengan amat baik. Seakan-akan takut Hindania akan membuangnya. Begitu. Tamat.”
“Bohong!” Anjani
mendorong bahu abangnya, gadis itu memberengut membuat Arjuna hampir meledakkan
tawa. Tangan Arjuna kemudian mengusak pelan rambut sebahu sang adik.
Anjani kembali bersandar
pada bahu Arjuna. “Kalau dengar dari cerita abang, Hindania ini berarti
Indonesia, ‘kan? Terus musafir itu, Wolandia, itu Belanda?”
“Iya, benar.”
Arjuna melanjutkan, “Setelah
anak-anak Hindania dewasa, mereka memberontak. Mereka mengusir Wolandia dan
beberapa yang mencoba mendekati ibu mereka. Sampai akhirnya mereka menang. Dan
ya, seperti yang terlihat sekarang, Hindania, Indonesia, ibu pertiwi kita,
sudah berulang-ulang kali merayakan kemerdekaannya.”
Kening gadis remaja itu
kembali berkerut dalam, “Lalu, apa maksud perkataan nenek tentang ibu dan anak
berada pada garis mati?”
“Yah, Anjani lihat saja
keadaan negeri kita hari ini. Hindania memang masih indah seperti sedia kala,
tapi itu juga tidak bisa menutup segala kerusakan yang ada. Bencana alam yang
terjadi beruntun itu bisa dicegah jika kita bisa menjaga alam. Tapi masalahnya,
anak-anak Hindania, ah, ibu pertiwi, sekarang tumbuh menjadi manusia rakus.”
Tangan Arjuna
menepuk-nepuk kepala adiknya, “belum lagi anak-anak ibu pertiwi yang duduk di
kursi kehormatan sana. Mereka seakan suci. Tanpa menyentuh, mereka bisa
menghancurkan segala yang mereka inginkan. Anehnya, mereka bahkan dengan
mudahnya membunuh saudara mereka sendiri. Mereka yang berkuasa, menguasai
harta, justru meminta pertolongan atas kesalahan yang mereka perbuat. Sedangkan
saudara-saudara mereka yang terlantar, yang seharusnya menerima pertolongan,
sama sekali tidak pernah mereka hiraukan.”
Tatapan Arjuna berlabuh
pada seekor burung hantu yang mendarat tidak sempurna di dahan pohon jambu.
“Ah, rasanya tidak adil
jika kita hanya menyalahkan anak-anak Hindania yang berada pada kursi
kehormatan. Tapi, ya, contoh gampangnya ya mereka.”
Suara burung malam terdengar
bersahutan dengan jangkrik. Hening menguasai Arjuna dan Anjani.
“Itulah yang ingin
dikatakan nenek. Ibu dan anak berada pada garis mati. Entah itu negeri maupun
rakyatnya, sama-sama tidak aman pada kata selamat.”
Anjani mendongak melihat
wajah abangnya, “Jadi, bagaimana nasib Hindania hari ini?”
Arjuna menggeleng.
Tersenyum menatap mata legam adiknya.
“Entah? Setiap kepala
punya pemikiran mereka sendiri. Setiap orang punya sudut pandang mereka
pribadi. Kalau menurut Anjani, bagaimana nasib Hindania hari ini?”
***
Cerpen ini berlandaskan
pada cerpen berjudul Nasib Hindania karya Mohammad Hatta dari Majalah Jong
Sumatra Orgaan Vid Jong Sumatranen Bond Onder Redactievih Hoofdbestuur. No. 5,
1920 hal. 90-93.
Salam
indah Puspa Langka,
Riza.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar