Tragedi Stadion Kanjuruhan: Fanatisme Suporter Sepak Bola Indonesia - LPM Pena Kampus

Goresan Penamu Runtuhkan Tirani

Breaking

Kamis, 13 Oktober 2022

Tragedi Stadion Kanjuruhan: Fanatisme Suporter Sepak Bola Indonesia

Sumber: Akun Tik Tok @terdakwaa_

Oleh: Maulana Iwad Akbar

(Anggota Pena Kampus)


Berbicara tentang persepakbolaan Indonesia memang tidak akan ada habisnya. Sepak bola telah menjadi olahraga paling digemari di bumi pertiwi ini. Bahkan tidak sedikit penggemar sepakbola tanah air yang rela menghabiskan uang ratusan hingga jutaan rupiah hanya untuk sekadar menyaksikan tim kesayangan mereka untuk berlaga di stadion. Popularitas si kulit bundar di tanah air memang telah memiliki brandingnya tersendiri dalam dunia olahraga. Pertandingan yang digelar mulai dari kompetisi daerah, nasional, maupun internasional, telah berhasil memanjakan mata publik tanah air untuk menikmati sepak bola sebagai hiburan masyarakat.

 

Akan tetapi sangat disayangkan, seringkali akibat kecintaan masyarakat kita terhadap sepak bola yang berlebihan, membuat masyarakat kita menjadi terkesan terlalu fanatik dalam dunia sepak bola. Secara ringkasnya, fanatik merupakan keyakinan atau kepercayaan yang terlalu kuat terhadap suatu ajaran baik itu politik, agama, dan lain-lainnya. Fanatik dalam mendukung klub kebanggaan sebagai bentuk dukungan suporter terhadap klub kesayangan yang berlaga. Seringkali menimbulkan munculnya budaya fanatisme terhadap olahraga sepak bola itu sendiri, yang akibatnya tentu akan melahirkan perdebatan-perdebatan positif maupun negatif akibat fanatisme yang dilakukan oleh suporter kita.

 

Munculnya tindakan radikal yang terjadi pada suporter saat mendukung tim kebangaan memberikan dampak yang sangat signifikan bagi klub yang sedang melakukan pertandingan. Adanya motivasi untuk memenangkan pertandingan menjadi hal mutlak yang diinginkan oleh suporter manapun. Namun sangat disayangkan, seringkali budaya fanatisme ternodai oleh ulah beberapa oknum dan suporter yang tidak bertanggung jawab, yang secara tidak langsung memprovokator pertandingan itu sendiri.

 

Lantas sekarang yang menjadi pertanyannya adalah,  apakah fanatisme berujung duka atau suka? Tentu fanatisme dalam mendukung tim kebanggaan sangat digencarkan oleh suporter, tidak ada aturan yang melarang suporter melakukan dukungan terhadap sebuah tim kebanggannya, yang dimaksud di sini adalah fanatik dengan kreatifitas yang mempertontonkan aksi koreografi yang indah sehingga dapat mengobarkan semangat juang bertanding tim kebanggaan. Tentu saja hal tersebut akan menimbulkan tindakan positif untuk suporter lawan dan bahkan akan memberikan semangat lebih untuk para pemain. Akan tetapi yang perlu digaris bawahi adalah, kini nilai-nilai positif sudah mulai tercederai dengan adanya aksi kotor yang dilakukan suporter itu sendiri, dan imbasnya dapat merugikan kedua belah pihak. Fanatisme akan menjadi senjata yang sangat mematikan, ketika beberapa oknum yang melakukan perilaku yang tidak terpuji sampai memakan korban jiwa melalui aksi-aksinya yang brutal dalam mendukung tim kesebelasan.

 

Budaya fanastisme bukanlah sebuah warisan, anak cucu kita nanti tidak berhak mewarisi budaya tersebut, sudah banyak sekali tragedi yang terjadi karena ulah suporter kita, yang menyebabkan banyak korban jiwa di tanah air. Mau sampai kapan kejadian pada stadion sepak bola nasional berduka, seperti kejadian yang kemarin diberitakan oleh  KOMPAS.TV di mana seorang anggota The Jakmania mengalami aksi kekerasan usai menyaksikan pertandingan melawan Madura United pada pekan ke-10 Liga 1 2022/2023 di Stadion Patriot, Bekasi, Jawa Barat, Sabtu, 17 September 2022, belum lagi dengan keributan suporter yang dikabarkan dari berbagai media massa, tentang suporter yang sampai membakar ban, mobil, merusak stadion, dll.

 

Dan tidak berhenti sampai di sana, kini Stadion Kanjuruhan kembali menjadi saksi keberutalan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, akibat kebrutalan tersebut, banyak sekali yang menjadi korban, banyak sekali suporter yang mengalami luka-luka, dan lebih parahnya lagi banyak yang sampai meninggal dunia. Dikutip dari narasinewsroom mengungkapkan, kerumunan ini pecah setelah laga Arema vs Persebaya, skor akhir menunjukkan 3-2 untuk keunggulan tim tamu,  pendukung Arema pun turun ke lapangan, banyak yang menyebut aksi mereka sebagai bentuk kekecewaan, dan ada juga yang mengatakan bahwa aksi tersebut untuk turun memeluk pemain. 

 

Dalam dunia sepak bola kejadian tersebut sering terjadi meski dinilai problematika, tidak lama setelah suporter Arema turun ke lapangan, masa pendukung Arema dipaksa mundur oleh aparat, kemudian akibat masa yang turun semakin banyak, pengamanan pun disusul dengan pemukulan oleh aparat keamanan kepada masa, berbagai media meliput kejadian tersebut diawali dengan keributan antara aparat kepolisian dengan pihak suporter dan pemain sepak bola, dan akhirnya meluas hingga tak terhindarkan.

 

Kemudian gas air matapun dikeluarkan dengan harapan suporter bisa bubar dan menjauhi area keributan, namun naas sekali,  justru tindakan tersebut menimbulkan banyak jiwa melayang. Sangat disayangkan, ada banyak orang-orang pengidap sesak nafas, anak-anak hingga lansia, yang harus berdesakan karena ditembakkan gas air mata di tribun penonton. Dan naasnya lagi pada saat kejadian tersebut gerbang untuk keluarga dari stadion dalam keadaan terkunci, yang akibatnya banyak orang tidak bisa keluar untuk mengevakuasi diri. Sedangkan bukankah pemakaian gas air mata dalam pertandingan sepak bola di larang oleh Federation Internationale de Football Association (FIFA), lantas sekarang siapa yang bisa disalahkan?

 

Kompetisi sepak bola di Indonesia telah menelan banyak sekali korban jiwa hingga berjumlah ratusan orang yang seharusnya momentum kompetisi sepak bola menjadi ajang untuk berkumpul, dan menonton tim kebanggaan, namun berganti dengan peristiwa kematian, banyak sekali korban jiwa yang jatuh di tangan fanatisme karena suporter yang egois. Ketika rivalitas terjadi pada sebuah klub yang telah berlangsung lama membudayakan fanatisme, dalam mendukung sebuah kesebelasan, tentunya akan menimbulkan rasa tensi dan emosional yang tinggi, karena yang diinginkan hanya kemenangan, tanpa menjunjung nilai sportifitas. Fanatisme telah menjadi penyakit berbahaya yang dialami suporter kita dalam mendukung tim kebanggaan mereka.

 

Sejak kapan ajang persepakbolaan lebih berharga dari nyawa manusia, bahwasanya perlu untuk kita semua ketahui, satu nyawa dari korban yang meninggal dunia, telah membuat banyak hati orang tua terluka, satu nyawa dari mereka telah membuat banyak hati keluarga terluka. Suatu saat suporter pun akan kembali rame, suporter pun akan kembali bersorak, akan tetapi orang tua yang kehilangan anaknya, seumur hidup akan terus membenci sepakbola.

 

Kita sebagai generasi yang ikut berperan, yang diharapkan mampu membawa citra yang baik sebagai suporter persepakbolaan nasional, harus bisa memberikan contoh yang baik untuk generasi kita kedepannya, agar tidak ada lagi kejadian-kejadian serupa yang terulang lagi,  akan di kemanakan nama persepakbolaan tanah air jika terus seperti ini, sebisa mungkin kita harus bisa memutuskan budaya fanatisme dalam mendukung kesebelasan.

 

Harapan saya,  siapapun yang bertanggungjawab dalam laga tersebut harus berani berbicara lantang untuk mengatakan bertanggunjawab, seluruh korban jiwa harus benar-benar di santuni dengan layak. Negara harus secepatnya hadir memberi motivasi dan solusi yang sebaik-baiknya. dan untuk pihak yang berwenang dalam hal ini, sebisa mungkin untuk memberikan hukum dan memberikan tindak pindana terhadap pelaku yang melakukan keributan.

 

Akhir kata Pray for Stadion Kanjuruhan semoga para korban yang telah meninggal dunia di tempatnya di sisinya, dan untuk korban yang masih hidup, semoga secepatnya diberikan kesehatan, dan untuk semua keluarga yang telah ditinggalkan semoga diberikan ketabahan dan kesabaran, Aamiin. Peristiwa ini menjadi pelajaran untuk kita semua, terlebih bagi negara dan pengelola sepak bola untuk mengedepankan integritas moral, dan semakin mengedepankan arti kemanusiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar