(Ilustrasi: Pena Kampus)
Naskah karya Arthur S. Nalan dari lakon Prodo Imitatio adalah pementasan teater tunggal yang menampilkan Prodo sebagai mahasiswa pemalas dari keluarga kaya. Kritik dan sarkasme dibangun dalam setiap adegan, memperlihatkan uang yang dapat membeli semua jenis gelar. Prodo yang mengenakan jubah hitam menjadi sarjana dengan gelar doktor imitasi, sedang menjalankan bisnis jual beli gelar di lingkungan akademik. Ia menawarkan bisnisnya untuk orang-orang yang ingin memiliki kekuasaan dan gila akan kehormatan di negeri Amarakua.
Gambaran di atas sepertinya dapat kita saksikan langsung di negeri sendiri. Kita tidak perlu membeli tiket untuk melihat perilaku drama yang semacam ini. Kita cukup membuka media sosial kemudian dapat melihat banyaknya pemberitaan oleh media pers nasional terkait dengan isu skandal jual beli gelar ini. Tak main-main yang dibeli bukan sekedar gelar sarjana, melainkan gelar “Guru Besar”.
Skandal jual beli gelar guru besar telah menjadi sorotan tajam dalam pendidikan tinggi Indonesia. Praktik ini tidak hanya mencoreng nama baik lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi pilar Pembangunan intelektual, tetapi juga menimbulkan pertanyaan serius terkait etika, kejujuran, dan kualitas akademik negeri ini. Namun, juga menimbulkan kecurigaan internasional dengan jurnal yang diterbitkan oleh akademisi Indonesia.
Dikutip dari majalah Tempo.co, hal ini pun turut mencoreng wajah pendidikan Indonesia di mata internasional. Vit Machacek dan Martin Srhokec, peneliti dari Republik Ceko mencatat, Indonesia berada pada posisi kedua dalam hal ketidakjujuran akademik di bawah Kazakhstan. Temuan itu didasari oleh penelitian terhadap berbagai jurnal predator sepanjang 2015 – 2017. Tahun lalu, Nahuel Monteblanco, Presiden Asosiasi Ilmuwan Peru yang meneliti ketidakjujuran akademik, menyebut peneliti Indonesia sebagai “kolaborator yang patut dicurigai”.
Data dari berbagai sumber juga menunjukan bahwa kasus skandal jual beli gelar guru besar cukup meresahkan. Masih dari laporan majalah Tempo.co, dari sejumlah kasus yang terungkap di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, terdapat sebelas dosen yang menjadi guru besar lewat jalan pintas. Bagi mereka, jabatan tinggi akademik mendatangkan dua hal, yaitu pengakuan dan penghasilan. Dengan menjadi profesor mereka mendapatkan pengakuan akademik sekaligus tambahan slip gaji dari kampus atau jabatan lain di pemerintahan.
Pengangkatan gelar guru besar sendiri merupakan prestasi akademik tertinggi di Indonesia, yang seharusnya mencerminkan kontribusi nyata dalam bidang ilmu pengetahuan dan kecakapan akademik yang diakui oleh komunitas ilmiah. Namun, dalam beberapa tahun terakhir terungkap bahwa proses pengangkatan gelar ini tidak jarang dipengaruhi oleh praktek-praktek yang tidak etis, seperti intervensi politik, nepotisme dan yang sedang hangat adalah “Jual Beli Gelar”.
Dampak terhadap dunia Pendidikan Tinggi
Skandal yang seperti ini tidak hanya dapat mempengaruhi citra perguruan tinggi yang sudah buruk menjadi semakin bobrok, tetapi juga dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem pendidikan tinggi secara keseluruhan, lalu mengakibatkan terkikisnya integritas dan kredibilitas akademik di Indonesia. Proses seleksi dan pengangkatan guru besar yang tidak transparan menghancurkan integritas akademik. Gelar yang seharusnya menjadi simbol keunggulan akademik, kini dipandang dengan skeptis oleh masyarakat luas.
Hal ini juga berdampak pada penurunan kualitas pendidikan di Indonesia dengan prioritas yang diberikan pada pertimbangan politik atau finansial daripada keunggulan akademik. Kualitas pendidikan yang dihasilkan dari skandal semacam ini bisa menurun amat drastis, guru besar yang diperoleh melalui praktek jual beli mungkin tidak memiliki kompetensi atau dedikasi yang sama dengan yang murni mendapatkan gelar tersebut tanpa bantuan pintu belakang dalam memajukan ilmu pengetahuan dan pendidikan.
Masyarakat terutama mahasiswa dan calon mahasiswa mungkin akan mulai meragukan gelar akademik yang diperoleh di Indonesia benar-benar mencerminkan keunggulan intelektual atau hanya teleknya saja. Hal ini bisa saja dapat mengurangi minat terhadap pendidikan tinggi di negeri ini yang merugikan masa depan Pembangunan sumber daya manusia Indonesia.
Saran Bagi Pengelola Pendidikan
Mungkin pengelola pendidikan dapat lebih cermat dalam hal yang seperti ini, seperti diskusi saya beberapa saat lalu bersama dengan salah seorang senior di Ormawa yang kebetulan juga sebagai dosen di Universitas Mataram, pemerintah mungkin dapat mengadakan proses seleksi yang lebih ketat pada tenaga pendidik atau dari kalangan manapun yang ingin mengajukan status sebagai guru besar. Pengelola pendidikan dapat melihat bagaimana track record dari yang mengajukan status ini, apakah semasa menjadi dosen biasa rutin melakukan pengabdian pada masyarakat dan negara, apakah sudah ada bukti empiris dari yang dosen itu lakukan saat menjalani profesinya.
Kemudian untuk pengawasan independen mungkin diperlukan lembaga pengawas yang dapat memantau seleksi dan pengangkatan guru besar secara objektif. Lembaga ini nantinya harus memiliki wewenang untuk memeriksa dan menilai setiap tahapan proses seleksi secara ketat, guna mencegah praktek-praktek yang tidak etis.
Skandal jual beli gelar “guru besar” adalah cerminan dari kerusakan yang serius dalam sistem pendidikan tinggi Indonesia. Untuk membangun masa depan pendidikan yang lebih baik, kita perlu bertindak tegas untuk menghilangkan praktek-praktek tidak etis ini dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan tinggi. Dengan reformasi yang tepat dan komitmen yang kuat, kita dapat memastikan bahwa gelar akademik yang diberikan di Indonesia benar-benar mencerminkan keunggulan intelektual dan dedikasi yang tinggi dalam memajukan ilmu pengetahuan dan pendidikan.
Oleh: M. Alimudin Ramdhani (Pemimpin Umum LPM Pena Kampus 2024)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar