(Ilustrasi: Pinterest)
Oleh: Hamba Allah
Anime sering dianggap sebagai hiburan. Tapi tak jarang, di balik layar penuh warna dan tawa lepas para karakter, tersimpan kritik sosial yang tajam dan refleksi politik yang dalam. Salah satunya One Piece, kisah bajak laut paling legendaris dari dunia fiksi Jepang.
Tapi apakah One Piece hanya sekedar petualangan mencari harta karun? Atau justru sebuah alegori tentang kebebasan, perlawanan, dan dunia tanpa pilih-pilih?
Monkey D. Luffy tidak pernah bermimpi menjadi raja dalam artian penguasa. Ia ingin menjadi "Raja Bajak Laut" bukan untuk menguasai laut, tapi karena bagi dia, itulah gelar untuk orang paling bebas di dunia.
Kebebasan menjadi nilai paling suci dalam cerita ini. Luffy menolak dikendalikan oleh siapa pun. Ia tidak peduli pada jabatan, kasta, bahkan aturan negara. Ia bergerak karena keinginan, bukan karena perintah. Hal ini selaras dengan cita-cita anarkisme, memerdekakan manusia dari otoritas yang menindas, baik itu negara, korporasi, maupun struktur sosial hierarkis.
Dalam One Piece, Pemerintah Dunia adalah entitas maha-kuat, korup, dan brutal. Mereka menutupi kebenaran sejarah (Void Century), memanipulasi informasi, dan melindungi bangsawan dunia (Tenryuubito) yang hidup di atas hukum. Kelautan sebagai alat kekuasaan tak segan menghancurkan kota atau membungkam kelompok yang dianggap ancaman. Ini semua menggambarkan negara sebagai alat represi, gambaran klasik yang dikritik oleh pemikir anarkis seperti Mikhail Bakunin dan Emma Goldman.
“Jika negara adalah kekuasaan yang dipertahankan dengan kekerasan, maka kekuasaan tersebut bukanlah pelindung rakyat, melainkan penindasnya.” Emma Goldman
Kru Topi Jerami bukan organisasi militer. Luffy memang kapten, tapi tidak pernah memaksakan kehendak. Zoro, Nami, Sanji, hingga Robin, mereka semua ikut karena kepercayaan, bukan karena kepatuhan. Kehidupan kru dibangun atas dasar, sukarela, saling percaya, kemandirian, dan solidaritas. Model ini sangat dekat dengan gagasan kolektivisme anarkis, komunitas tanpa dominasi, namun tetap memiliki ikatan yang kuat melalui nilai bersama.
Bendera Topi Jerami (Mugiwara) tak hanya jadi lambang kelompok. Ia adalah simbol harga diri, impian, dan perlawanan. Dalam cerita, siapa pun yang melecehkan bendera ini dianggap menodai kehormatan seluruh kru dan mereka siap bertarung habis-habisan.
Menariknya, akhir-akhir ini, bendera ini juga mulai dikibarkan di dunia nyata. Di kampus, acara publik, bahkan ruang digital. Banyak yang berspekulasi cuma fandom (komunitas penggemar). Tapi bisa jadi ini adalah bentuk kritik estetika, bentuk perlawanan yang dibungkus dalam simbol fiksi.
Orang-orang mencari simbol baru, karena simbol resmi kehilangan makna. Ketika masyarakat merasa simbol-simbol formal seperti bendera negara, institusi hukum, atau pemimpin tak lagi mewakili mereka, simbol fiksi yang bebas, egaliter, dan jujur menjadi representasi alternatif.
Anarkisme bukan tentang kekacauan. Ia tentang membangun dunia di mana tak ada yang berdaya atas yang lain. Dalam dunia One Piece, khususnya Luffy ini digambarkan bukan sebagai teori politik, tapi sebagai mimpi pembohong yang berkelanjutan mati-mati.
One Piece, mungkin tanpa sengaja, memberi kita imajinasi tentang dunia lain, tanpa penguasa absolut, tanpa kebenaran tunggal, dan dengan ruang bagi impian dan perbedaan
Bisa jadi, One Piece adalah dongeng anarkis yang menyamar jadi petualangan anak muda. Tapi justru karena itulah ia efektif, menyebarkan luas, membentuk imajinasi baru, dan menghidupkan kembali pertanyaan-pertanyaan besar:
Apa itu kebebasan? Siapa yang mampu? Kenapa banyak orang lebih percaya pada bendera bajak laut daripada lambang negara?
“Ketika penindasan menjadi hukum, pemberontakan menjadi kewajiban.” Thomas Jefferson
Dan mungkin, seperti Luffy, kita semua sedang menjelajahi lautan yang sama, berusaha menemukan tempat di mana tanpa ada yang diperintah, dan tidak ada yang memerintah.
Referensi
Bakunin, M. (1873). Statisme dan Anarki
Goldman, E. (1910). Anarkisme dan Esai-esai Lainnya
Graeber, D. (2004). Fragmen Antropologi Anarkis
One Piece, Eiichiro Oda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar