Terbantu atau Buntu? Mengupas Dampak Kehadiran AI dalam Dunia Pendidikan - LPM Pena Kampus

Wadah Gali Nurani Mahasiswa

Breaking

Selasa, 18 Februari 2025

Terbantu atau Buntu? Mengupas Dampak Kehadiran AI dalam Dunia Pendidikan

(Sumber Ilustrasi: Chat GPT)

Digitalisasi nampaknya semakin merembak setiap sudut kehidupan, mulai dari mengubah cara manusia belajar, bekerja, hingga bermimpi. Salah satu hal yang menarik di era ini adalah Artificial Intelligence (AI) yang diartikan sebagai kecerdasan buatan. Kehadiran AI seperti menjelma sebagai penyangga di berbagai bidang, termasuk pendidikan. Ia menjadi obor yang mengakhiri jalan-lorong pembelajaran yang mulai meredup, membuka gerbang dan menawarkan jalan baru untuk memperoleh pengetahuan yang lebih instan dan fleksibel, tidak lagi terhalang ruang dan waktu. Tetapi, kehadiran AI di dunia pendidikan tampak seperti pedang bermata dua. Di satu sisi dapat mempermudah dan menjawab semua kebutuhan pembelajaran dengan lebih efisien. Di sisi lain, jika tidak digunakan dengan bijak, AI dapat mengikis daya kritis dan menimbulkan ketergantungan. 


Penulis sendiri masih berada di tengah-tengah sisi tersebut untuk menyeimbangkan keduanya agar tidak terjadi ketimpangan antara dampak baik dan dampak buruk yang ditimbulkan. Kehadiran AI tidak dapat disalahkan sepenuhnya, sebab ia hanyalah sebuah kecerdasan buatan yang tentu saja dibuat oleh manusia dengan kecerdasan yang masih belum bisa dikatakan sempurna. Namun, AI dibuat sebagai alat pendukung yang membantu manusia, khususnya kalangan pengajar dan pelajar yang membutuhkan. Sekali lagi, AI hanyalah alat pendukung, bukan pemeran utama yang dapat mengubah esensi pembelajaran yang sesungguhnya.


Sebagai pendukungnya, tentu AI memiliki dampak positif seperti menciptakan pengalaman belajar yang lebih personal dan cepat. Setiap pelajar memiliki gaya belajar, kecepatan memahami materi, serta tantangan yang berbeda. AI memungkinkan sistem pembelajaran untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan individu, sehingga proses pendidikan tidak lagi bersifat seragam atau berbasis “satu ukuran untuk semua”. Dengan teknologi pembelajaran adaptif berbasis AI, materi dapat disesuaikan secara otomatis dengan tingkat pemahaman siswa. Bagi mereka yang mengalami kesulitan, AI dapat memberikan latihan tambahan atau pendekatan yang lebih interaktif, sementara siswa yang lebih cepat memahami materi dapat langsung melanjutkan ke topik yang lebih menantang. Hal ini sudah diterapkan dalam berbagai platform edukasi, seperti Khan Academy , yang menggunakan AI untuk menyesuaikan soal latihan dengan tingkat pemahaman pengguna, serta DreamBox , sebuah sistem pembelajaran matematika berbasis AI yang secara dinamis mengubah metode pengajaran sesuai dengan respon siswa.


Selain itu AI juga mampu memberikan umpan balik secara real-time , tidak hanya siswa, namun AI juga dapat membantu guru dalam memantau perkembangan siswa dengan lebih akurat. Teknologi ini dapat menganalisis pola kesalahan, mengidentifikasi kelemahan, serta memberikan saran tentang metode belajar yang lebih efektif. Sebuah studi dari McKinsey & Company (2020) menemukan bahwa penggunaan AI dalam pendidikan dapat meningkatkan efektivitas belajar hingga 30% dengan memberikan rekomendasi pembelajaran yang lebih terarah.


AI juga berperan dalam meringankan beban administrasi bagi pengelola pendidikan. Tugas-tugas seperti tugas penilaian, koreksi ujian, hingga pengolahan data akademik yang biasanya menyita waktu kini dapat diotomatisasi oleh sistem berbasis AI. Guru dapat membantu untuk lebih fokus pada pengajaran dan interaksi langsung dengan siswa. Platform seperti Gradescope telah diterapkan di berbagai institusi pendidikan untuk mempercepat proses koreksi ujian hingga 70%, sementara chatbot AI membantu menjawab pertanyaan administratif siswa terkait jadwal kuliah atau prosedur akademik. Lebih dari itu, otomatisasi ini juga dapat mengurangi risiko burnout di kalangan energi pendidik. Sesuai dengan laporan Education Week (2021) yang dialami oleh 60% guru akibat tekanan administratif yang berlebihan. Dengan AI sebagai mitra dalam pengelolaan pendidikan, guru memiliki lebih banyak ruang untuk berinovasi dan membangun hubungan yang lebih erat dengan siswa, menciptakan lingkungan belajar yang lebih efektif dan bermakna.


AI memiliki peran penting dalam meningkatkan aksesibilitas pendidikan, terutama bagi mereka yang tinggal di daerah terpencil atau memiliki keterbatasan fisik. Dengan berkembangnya pembelajaran jarak jauh, AI memperkaya pengalaman belajar melalui platform otomatis, asisten virtual, dan aplikasi penerjemah bahasa yang memungkinkan lebih banyak individu mengakses pendidikan tanpa batasan geografis atau fisik. Bagi siswa berkebutuhan khusus, seperti tunanetra atau tunarungu, AI menyediakan berbagai perangkat bantu, seperti pembaca layar otomatis berbasis pemrosesan bahasa alami (NLP) dan penerjemah bahasa isyarat berbasis AI, yang membantu mereka memahami materi dengan lebih mudah. Contohnya, teknologi Looking AI dari Microsoft telah membantu ribuan penyandang disabilitas mengakses informasi tertulis melalui konversi teks ke suara, sementara perangkat seperti Google's Live Transcribe memungkinkan komunikasi real-time bagi tunarungu. Selain itu, AI juga berkontribusi dalam menghadirkan materi pendidikan yang lebih terjangkau dan dapat diakses secara luas, mencerminkan pendidikan antara wilayah perkotaan dan pedesaan.


Namun dibalik ribuan manfaat yang dihadirkan, AI juga dapat menimbulkan risiko ketergantungan berlebih yang dapat menghambat kemampuan berpikir kritis dan analitis siswa. Saat jawaban dapat diperoleh dalam sekejap, apakah mereka masih tertarik untuk menggali dan memahami konsep secara mendalam? Misalnya, dengan semakin banyaknya aplikasi yang menyediakan jawaban instan, siswa bisa meniru untuk menyalin tanpa memahami konsepnya. Fenomena ini sudah terlihat dalam penggunaan AI seperti ChatGPT untuk menyelesaikan tugas sekolah bahkan skripsi tanpa benar-benar menganalisis materi. Ketika AI menjadi “otak kedua” yang selalu siap memberikan jawaban, apakah otak pertama mereka tetap terasah?


Lebih dari itu, AI juga berisiko mengurangi interaksi sosial saat proses pembelajaran. Proses penting seperti diskusi dan debat adalah bagian dalam membangun pemahaman yang mendalam. Namun, jika siswa hanya mengandalkan AI untuk mendapatkan jawaban tanpa berdiskusi dengan rekan atau guru, mereka bisa kehilangan kemampuan berargumentasi dan berpikir kritis serta menghilangkan kreativitas jiwa. Jadi, mungkinkah AI membuat manusia terbantu atau malah menjadi buntu?


Secara keseluruhan, kecerdasan buatan memiliki potensi luar biasa untuk merevolusi dunia pendidikan. Dengan kehadirannya, kita dapat merasakan pembelajaran yang lebih personal, memperluas akses pendidikan hingga ke pelosok negeri, serta meringankan beban administratif para pendidik. Namun dibalik gemerlap manfaatnya, AI juga membawa tantangan yang tidak boleh diabaikan seperti berkurangnya interaksi sosial, ketergantungan berlebih, sikap terlalu mengandalkan hingga hilangnya kemampuan berpikir kritis atas ketersediaan jawaban atau informasi yang memanjakan.


Dalam menyambut era baru, kita tidak boleh kehilangan esensi pendidikan itu sendiri. Teknologi harus menjadi pendukung dan pelengkap, bukan pengganti. Pembelajaran harus tetap diterapkan pada nilai-nilai kemanusiaan, kreativitas, serta daya pikir kritis yang membentuk jati diri setiap individu. Maka, setiap langkah penerapan AI dalam pendidikan harus disertai dengan kebijakan yang berpijak pada prinsip keadilan, etika, dan keinginan. Hanya dengan keseimbangan yang bijaksana, kita dapat menguasai arus inovasi tanpa kehilangan kemanusiaan. Menjadikan AI sebagai cahaya penerang, bukan bayang-bayang yang meredupkan esensi belajar.

Oleh: Zohriani 
 

1 komentar:

  1. Menarik banget, tapi kalau dengan AI bukankah kita juga bisa berdiskusi?

    BalasHapus