Sterilisasi Gerakan Mahasiswa - LPM Pena Kampus

Goresan Penamu Runtuhkan Tirani

Breaking

Sabtu, 06 Oktober 2012

Sterilisasi Gerakan Mahasiswa


            Gerakan mahasiswa sebagai salah satu gerakan moral memiliki sejarah panjang dalam perjalanan terbentuknya bangsa-bangsa di dunia. Gerakan mahasiswa terutama dalam bentuk demonstrasi kerap menjadi penentu arah dinamika negara. Banyak bukti hasil konkret gerakan mahasiswa di berbagai penjuru dunia.
Di beberapa negara besar dunia, gerakan mahasiswa tidak pernah kehilangan momentum. Mahasiswa bersama rakyat selalu ambil bagian dalam penggulingan rezim. Misalnya, penggulingan rezim Juan Peron di Argentina tahun 1955, Perez Jimenez di Venezuela tahun 1958, Ayub Khan di Paksitan tahun 1969, Reza Pahlevi di Iran tahun 1979, Chun Doo Hwan di Korea Selatan tahun 1987, Ferdinand Marcos di Filipinan tahun 1985, dan lain sebagainya. Lalu bagaimana dengan di Indonesia?   
            Indonesia bisa dikatakan tidak mau kalah dengan negara lain. Dalam setiap periode pergantian rezim kekuasaan, mahasiswa tidak pernah absen untuk ambil bagian mengukir sejarah. Kesadaran kebangsaan di nusantara bahkan dimulai oleh mahasiswa. Jauh sebelum Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, mahasiswa dan pemuda dari berbagai penjuru nusantara sudah melakukan konsolidasi bagaimana meyatukan perjuangan di masing-masing daerah di nusantara. Gerakan konsolidasi ini terutama dipelopori oleh mahasiswa School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA), sebuah sekolah pendidikan dokter bumiputera yang menerima siswa dari seluruh penjuru Hindia-Belanda.
Salah satu peristiwa penting gerakan mahasiswa bersama pemuda dalam lembar sejarah republik ini adalah dlaksanakannnya sumpah pemuda pada tanggal 28 oktober 1928. Pada sumpah pemuda pula nama Indonesia pertama kali diperkenalkan dalam forum resmi. Pemuda dari seluruh penjuru nusantara berikrar untuk satu tanah air, bangsa, dan bahasa bernama Indonesia.     
            Setelah Indonesia merdeka, gerakan mahasiswa tetap mengambil peran penting mengiringi alur kebijakan pemerintah. Saat gejolak politik perebutan kekuasaan terjadi pada tahun 1965, mahasiswa turun ke jalan menuntut presiden Soekarno saat itu mundur dari jabatannya sebagai presiden. Ini akibat dari karut-marutnya stabilitas pemerintahan saat itu. Meski kemudian situasi ini dimanfaatkan oleh para lawan politik Sang founding fathers. Klimaks dari gerakan demonstrasi mahasiswa Indonesia terjadi tahun 1998. Mahasiswa berdemonstrasi siang malam menuntut Presiden Soeharto mundur dari jabatannya setelah berkuasa kurang lebih selama 32 tahun lamanya. Sistem pemerintahan otoriter yang diterapkan Soeharto dianggap sudah melampaui batas kewajaran. Mahasiswa bersama seluruh elemen rakyat bersatu padu menggulingkan rezim tiran saat itu.    
Dinamika gerakan mahasiswa masa kini
            Beberapa waktu lalu terjadi gelombang demonstrasi besar-besaran menolak kebijakan pemerintah menaikkan tarif BBM. Demonstrasi mahasiswa yang berbentuk letupan kecil sewaktu-waktu seperti menemukan momentum tepat. Gerakan mahasiswa seolah menemukan ruh kembali setelah sekian lama vakum. Khususnya, pascareformasi 1998 bergulir. Berbagai elemen mahasiswa bersama rakyat tidak henti-hentinya menyuarakan penolakan atas pemberlakuan kebijakan ini. Mulai dari elemen buruh, petani, nelayan, sampai simpatisan partai politik. Bahkan beberapa kepala daerah beserta wakilnya juga ikut turun dalam barisan massa. Ini yang membuat gerakan jadi kian kuat. Mahasiswa tetap menjadi pemegang komando demonstrasi anti-kebijakan pemerintah
            Berbagai corak demonstrasi mewarnai aksi massa. Mulai dari teatrikal, pembakaran ban,  sampai dengan penyanderaan atas kendaraan plat merah milik pemerintah. Laku ekspresi masa bisa dimaklumi jika melihat reaksi yang dilakukan oleh pemerintah. Meski terjadi demosntrasi besar-besaran, pemerintah terkesan lamban merespon posisif tuntutan rakyat. Seperti yang terjadi di waktu-waktu sebelumnya, demonstrasi direspon dengan penurunan aparat untuk berhadap-hadapan langsung dengan massa aksi. Hasilnya bisa kita lihat bersama. Bentrok antara massa aksi dan aparat keamanan tidak terhindarkan. Bahkan aparat dari unsur TNI yang telah diatur dalam perundang-undangan dicabut mandatnya mengamankan demonstrasi juga diturunkan.
            Di balik demonstrasi besar-besaran mahasiswa menolak kebijakan pemerintah menaikkan tarif BBM, ada stereotif yang terbangun perihal gerakan mahasiswa. Terutama jika dilihat dari sudut pandang media yang meliput aksi demonstrasi. Pertama, aksi demonstrasi digeneralisir dengan aksi anarkis yang merugikan masyarakat umum. Setiap demonstrasi diwarnai perusakan fasilitas umum. Demonstrasi tanpa anarkis bak sayur tanpa garam. Media tiap hari melaporkan demonstrasi berujung rusuh dari segala penjuru tanah air. Sementara laporan tentang aksi damai jauh dari redaksi media. Padahal, persentase aksi berujung anarkis lebih sedikit dibanding aksi damai.
            Kedua, aksi demonstrasi mahasiswa terkesan bernuansa politis. Wacana yang kerap berkembang adalah aksi mahasiswa sebaian besar merupakan pesanan tokoh atau partai politik tertentu. Mahasiswa hanya mau turun demonstrasi ke jalan jika ada imbalan materi. Mahasiswa dianggap sudah dibelenggu sikap pragmatis. Padahal, tidak semua begitu.
            Jika merujuk pada aksi penolakan kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu, kecurigaan bukan hal berlebihan. Masa aksi dari kalangan mahasiswa berbaur bersama simpatisan partai oposisi pemerintah di lapangan. Kedua pihak sama-sama meneriakkan penolakan atas kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Namun, apakah kemudian gerakan mahasiswa lantas secara otomatis ditunggangi kepentingan politik? Terlalu prematur untuk memvonis demikian.
Sterilisasi gerakan mahasiswa                        
          Tidak bisa dipungkiri adanya organisasi gerakan mahasiswa yang menjadi underbow partai politik tertentu. Memang begitulah adanya. Kampus sebagai imperium tempat berkumpulnya kaum intelektual dalam skala besar jelas menjadi sasaran empuk partai untuk memperkuat basis. Kampus bahkan dijadikan  laboratorium praktek berpolitik oleh organisasai mahasiswa tertentu sebelum masuk dalam pusara politik praktis di masyarakat. Namun secara kuantitas, jumlah organisasi ini tidak banyak. Selama dilakukan dengan cara-cara yang wajar, aktivitas organisasi gerakan mahasiswa seperti ini tidak bisa disalahkan. 
            Menggeneralisir setiap gerakan mahasiswa bermuatan politis tentu sebuah kekeliruan. Mahasiswa adalah satu-satunya kelompok intelektual terbesar yang paling bisa dipercaya tidak terkontaminasi kepentingan tertentu. Mahasiswa bicara atas nama kebenaran, membela yang lemah, dan tertindas. Kepekaan mahasiswa akan ketimpangan yang terjadi di masyarakat patut diapresiasi
. Keberadaan mahasiswa tidak ubahnya seperti keberadaan pers. Mahasiswa sebagai salah satu komponen masyarakat yang paling konsisten mengawal kebijakan pemerintah. Tidak berlebihan kalau mahasiswa juga diberi predikat setara dengan pers sebagai pilar keempat demokrasi. Tinggal bagaimana dioptimalkan peran mereka ke arah positif dan steril dari kepentingan politik. Kecaman dari berbagai pihak atas sejumlah aksi mahasiswa yang bercorak anarkis tidak perlu direspon berlebihan oleh aktivis gerakan. Paling bijak adalah dengan menjadikan segala kritik dan kecaman sebagai ajang refleksi. Masyarakat juga harus lebih arif menilai gerakan mahasiswa karena apa yang dilakukan adalah untuk kepentingan bersama.            

BY: Muh. Fahrudin Alawi
(Mantan Pemimpin Umum LPM Pena Kampus dan Ketua BEM FKIP Unram 2011) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar