Gerakan mahasiswa sebagai salah satu gerakan moral
memiliki sejarah panjang dalam perjalanan terbentuknya bangsa-bangsa di dunia. Gerakan
mahasiswa terutama dalam bentuk demonstrasi kerap menjadi penentu arah dinamika
negara. Banyak bukti hasil konkret gerakan mahasiswa di berbagai penjuru dunia.
Di
beberapa negara besar dunia, gerakan mahasiswa tidak pernah kehilangan
momentum. Mahasiswa bersama rakyat selalu ambil bagian dalam penggulingan
rezim. Misalnya, penggulingan rezim Juan Peron di Argentina tahun 1955, Perez
Jimenez di Venezuela tahun 1958, Ayub Khan di Paksitan tahun 1969, Reza Pahlevi
di Iran tahun 1979, Chun Doo Hwan di Korea Selatan tahun 1987, Ferdinand Marcos
di Filipinan tahun 1985, dan lain sebagainya. Lalu bagaimana dengan di
Indonesia?
Indonesia
bisa dikatakan tidak mau kalah dengan negara lain. Dalam setiap periode pergantian
rezim kekuasaan, mahasiswa tidak pernah absen untuk ambil bagian mengukir
sejarah. Kesadaran kebangsaan di nusantara bahkan dimulai oleh mahasiswa. Jauh
sebelum Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, mahasiswa dan
pemuda dari berbagai penjuru nusantara sudah melakukan konsolidasi bagaimana
meyatukan perjuangan di masing-masing daerah di nusantara. Gerakan konsolidasi
ini terutama dipelopori oleh mahasiswa School
tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA), sebuah sekolah pendidikan
dokter bumiputera yang menerima siswa dari seluruh penjuru Hindia-Belanda.
Salah
satu peristiwa penting gerakan mahasiswa bersama pemuda dalam lembar sejarah
republik ini adalah dlaksanakannnya sumpah pemuda pada tanggal 28 oktober 1928.
Pada sumpah pemuda pula nama Indonesia pertama kali diperkenalkan dalam forum
resmi. Pemuda dari seluruh penjuru nusantara berikrar untuk satu tanah air,
bangsa, dan bahasa bernama Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, gerakan mahasiswa
tetap mengambil peran penting mengiringi alur kebijakan pemerintah. Saat
gejolak politik perebutan kekuasaan terjadi pada tahun 1965, mahasiswa turun ke
jalan menuntut presiden Soekarno saat itu mundur dari jabatannya sebagai
presiden. Ini akibat dari karut-marutnya stabilitas pemerintahan saat itu.
Meski kemudian situasi ini dimanfaatkan oleh para lawan politik Sang founding fathers. Klimaks dari gerakan demonstrasi
mahasiswa Indonesia terjadi tahun 1998. Mahasiswa berdemonstrasi siang malam
menuntut Presiden Soeharto mundur dari jabatannya setelah berkuasa kurang lebih
selama 32 tahun lamanya. Sistem pemerintahan otoriter yang diterapkan Soeharto
dianggap sudah melampaui batas kewajaran. Mahasiswa bersama seluruh elemen
rakyat bersatu padu menggulingkan rezim tiran saat itu.
Dinamika gerakan mahasiswa masa kini
Beberapa
waktu lalu terjadi gelombang demonstrasi besar-besaran menolak kebijakan pemerintah
menaikkan tarif BBM. Demonstrasi mahasiswa yang berbentuk letupan kecil
sewaktu-waktu seperti menemukan momentum tepat. Gerakan mahasiswa seolah
menemukan ruh kembali setelah sekian lama vakum. Khususnya, pascareformasi 1998
bergulir. Berbagai elemen mahasiswa bersama rakyat tidak henti-hentinya
menyuarakan penolakan atas pemberlakuan kebijakan ini. Mulai dari elemen buruh,
petani, nelayan, sampai simpatisan partai politik. Bahkan beberapa kepala
daerah beserta wakilnya juga ikut turun dalam barisan massa. Ini yang membuat
gerakan jadi kian kuat. Mahasiswa tetap menjadi pemegang komando demonstrasi
anti-kebijakan pemerintah
Berbagai corak demonstrasi mewarnai
aksi massa. Mulai dari teatrikal, pembakaran ban, sampai dengan penyanderaan atas kendaraan
plat merah milik pemerintah. Laku ekspresi masa bisa dimaklumi jika melihat
reaksi yang dilakukan oleh pemerintah. Meski terjadi demosntrasi besar-besaran,
pemerintah terkesan lamban merespon posisif tuntutan rakyat. Seperti yang
terjadi di waktu-waktu sebelumnya, demonstrasi direspon dengan penurunan aparat
untuk berhadap-hadapan langsung dengan massa aksi. Hasilnya bisa kita lihat
bersama. Bentrok antara massa aksi dan aparat keamanan tidak terhindarkan. Bahkan
aparat dari unsur TNI yang telah diatur dalam perundang-undangan dicabut
mandatnya mengamankan demonstrasi juga diturunkan.
Di
balik demonstrasi besar-besaran mahasiswa menolak kebijakan pemerintah
menaikkan tarif BBM, ada stereotif yang terbangun perihal gerakan mahasiswa. Terutama
jika dilihat dari sudut pandang media yang meliput aksi demonstrasi. Pertama, aksi
demonstrasi digeneralisir dengan aksi anarkis yang merugikan masyarakat umum.
Setiap demonstrasi diwarnai perusakan fasilitas umum. Demonstrasi tanpa anarkis
bak sayur tanpa garam. Media tiap hari melaporkan demonstrasi berujung rusuh dari
segala penjuru tanah air. Sementara laporan tentang aksi damai jauh dari
redaksi media. Padahal, persentase aksi berujung anarkis lebih sedikit dibanding
aksi damai.
Kedua, aksi demonstrasi mahasiswa terkesan
bernuansa politis. Wacana yang kerap berkembang adalah aksi mahasiswa sebaian
besar merupakan pesanan tokoh atau partai politik tertentu. Mahasiswa hanya mau
turun demonstrasi ke jalan jika ada imbalan materi. Mahasiswa dianggap sudah
dibelenggu sikap pragmatis. Padahal, tidak semua begitu.
Jika
merujuk pada aksi penolakan kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu, kecurigaan
bukan hal berlebihan. Masa aksi dari kalangan mahasiswa berbaur bersama
simpatisan partai oposisi pemerintah di lapangan. Kedua pihak sama-sama
meneriakkan penolakan atas kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Namun,
apakah kemudian gerakan mahasiswa lantas secara otomatis ditunggangi
kepentingan politik? Terlalu prematur untuk memvonis demikian.
Sterilisasi gerakan mahasiswa
Tidak bisa dipungkiri adanya organisasi gerakan
mahasiswa yang menjadi underbow
partai politik tertentu. Memang begitulah adanya. Kampus sebagai imperium
tempat berkumpulnya kaum intelektual dalam skala besar jelas menjadi sasaran
empuk partai untuk memperkuat basis. Kampus bahkan dijadikan laboratorium praktek berpolitik oleh
organisasai mahasiswa tertentu sebelum masuk dalam pusara politik praktis di
masyarakat. Namun secara kuantitas, jumlah organisasi ini tidak banyak. Selama
dilakukan dengan cara-cara yang wajar, aktivitas organisasi gerakan mahasiswa
seperti ini tidak bisa disalahkan.
Menggeneralisir
setiap gerakan mahasiswa bermuatan politis tentu sebuah kekeliruan. Mahasiswa
adalah satu-satunya kelompok intelektual terbesar yang paling bisa dipercaya
tidak terkontaminasi kepentingan tertentu. Mahasiswa bicara atas nama
kebenaran, membela yang lemah, dan tertindas. Kepekaan mahasiswa akan
ketimpangan yang terjadi di masyarakat patut diapresiasi
.
Keberadaan mahasiswa tidak ubahnya seperti keberadaan pers. Mahasiswa sebagai
salah satu komponen masyarakat yang paling konsisten mengawal kebijakan
pemerintah. Tidak berlebihan kalau mahasiswa juga diberi predikat setara dengan
pers sebagai pilar keempat demokrasi. Tinggal bagaimana dioptimalkan peran
mereka ke arah positif dan steril dari kepentingan politik. Kecaman dari
berbagai pihak atas sejumlah aksi mahasiswa yang bercorak anarkis tidak perlu
direspon berlebihan oleh aktivis gerakan. Paling bijak adalah dengan menjadikan
segala kritik dan kecaman sebagai ajang refleksi. Masyarakat juga harus lebih
arif menilai gerakan mahasiswa karena apa yang dilakukan adalah untuk
kepentingan bersama.
BY: Muh. Fahrudin Alawi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar