Kembali ke Adab Pendidikan - LPM Pena Kampus

Goresan Penamu Runtuhkan Tirani

Breaking

Rabu, 18 Desember 2013

Kembali ke Adab Pendidikan

Menghadapi era Globalisasi, dimana era sagala hal yang serba berubah cepat, dunia pendidikan Indonesia terus bergerak mengikuti perkembangan zaman. Dengan pengandaian kurikulum yang selalu berubah-ubah, buku ajar yang berganti-ganti, model guru dan cara mengajar menjadi lain dan kemudian lain lagi. Apa kira-kira yang tidak akan berubah atau yang tahan zaman dan apa yang dapat kita kerjakan dengan keyakinan yang berfondasi kukuh ?.
Apa yang salah dengan pendidikan di Negeri ini, mengapa setelah 68 tahun merdeka, kualitas pendidikan belum maju-maju, dan bahkan tertinggal jauh dari Negara-negara tetangga. Mungkin para pendiri Republik ini menangis melihat sebagian besar rakyat Indonesia yang belum cerdas.
Persoalan besar yang sedang kita hadapi sekarang adalah hilangnya roh pendidikan nasional. Dengan sadar kita meninggalkan tujuan pendidikan seperti yang telah dicita-citakan Ki Hajar Dewantara dan juga amant pembukaaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) untuk mencerdas kankehidupan bangsa. Tujuan pendidikan nasional harus menciptakan insan mandiri yang tidak tergantung pada orang lain, tetapi juga tidak menjadi individualis, insan yang dapat mengatur diri sendiri dalam rangka hidup bersama.
Namun yang terjadi saat ini adalah semangat pragmatisme dan komersialisasi yang mewabah sedang menggerogoti dunia pendidikan sebagai wahana penting mencetak manusia dalam upaya mewujudkan keadaban bersama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pendidikan yang dikuasai nalar korporasi dan direduksi sekedar untuk memenuhi kebutuhan pasar. Pragmatisme dan komersialisasi tengah menjangkiti pendidikan kita, mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai PerguruanTinggi. Tujuan pendidikan yang menurut konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara telah mengalami degradasi, digantikan dengan jargon-jargon popular untuk membentuk manusia-manusia yang unggul, berdaya saing gelobal dan memiliki keahlian yang dibutuhkan pasar.


Keberhasilan pendidikan diukur dengan berapa banyak lulusan yang terserap dunia kerja, perguruan tinggi merasa berhasil ketika manusia didikannya tersebar mengisi kebutuhan pasar . Para pemangku kebijakan pendidikan sibuk menerapkan nalar industri, sehingga tidak heran paradigma arah pendidikan mulai bergeser untuk memanusiakan manusia menjadi pabrik penghasil buruh. Logika ekonomi mengendalikan arah dan tata kelola pendidikan yang sesuai selera pasar,  perguruan tinggi berlomba-lomba membentuk Fakultas dan jurusan-jurusan yang cepat terserap dunia kerja.
Alhasil para kaum terdidik Indonesia kemudian sibuk dengan urusan peribadi mereka dan lupa akan tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat. Sikap apatis dari kaum terdidik terhadap kondisi social masyarakat adalah hasil dari komersialisasi pendidikan yang selalu menghitung untung rugi.
Sangat relevan apa yang dikeritik oleh WS. Rendra dalam sajak seonggok jagung,1975. Kegelisahanya melihat pendidikan yang semakin terpisah dari kenyataan hidup rakyat. ‘’Apa gunanya pendidikan hanya membuat seseorang menjadi asing ditengah kenyataan persoalannya ?apa gunanya pendidikan bila hanya mendorong seseorang menjadi layang-layang di Ibu Kota, kikuk pulang kedaerahnya’’.
Panggungkompetisi
Ada kontradiksi dalam kebijakan pendidikan nasional, system evaluasi pendidikan nasional yang bernama ujian nasional menjadi ajang kompetisi sekolah-sekolah, para guru dan pemerintah daerah untuk menjadi yang terbaik, karena angka persentase kelulusan dengan nilai-nilai yang bagus menjadi tolok ukur pemerintah dalam menentukan keberhasilan peningkatan mutu pendidikan. Lebih parah lagi tolok ukur tersebut dijadikan penentu dalam besarnya dana bantuan kesekolah ,penentu karir para guru dan kelulusan anak dalam ujian nasional dijadikan penentu masa depan anak.
Sehingga tidak heran jika dalam pelaksanaan ujian nasional ada banyak kasus dimana kepala sekolah dan para guru mempasilitasi siswa untuk saling berbagi jawaban saat ujian berlangsung. Pihak sekolah ingin namanya bagus dan di kelaim sukses dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Peroses pembelajaran sekedar menjadi instrument untuk memperoleh nilai tinggi, kecendrungan kegiatan belajar mengajar lebih berorientasi pada pencapaian angka kelulusan dalam ujian nasional. Peserta didik dipaksa bekerja keras terkait bagaimana menyelesaikan latihan-latihan soal.
Dilain pihak, ajang kompetisi tersebut semakin kentara dengan kehadiran lembaga bimbingan belajar (bimbel) yang semakin menjamur. Para orang tua berlomba-lomba memasukkan anaknya mengikuti bimbingan belajar denga harapan anaknya mampu menjadi juara kelas atau sekedar dapat lulus dalam ujian nasional. Sekolah tidak lagi sebagai tempat belajar, namun sekolah hanyalah sebuah panggung kompetisi resmi. Sekolah tidak ubahnya hanya sebuah lembaga legal  yang menyediakan selembar ijzah sebagai tiket untuk melanjutkan pendidikan ketingkat yang lebih tinggi.
Keadab pendidikan
Sampai saat ini bangsa Indonesia belum memiliki konsepsi yang jelas mengenai subtansi dan arah pendidikan, kurikulum didisain berdasarkan apa saja yang dianggap penting. Akibatnya terjadilah beban berlebihan pada peserta didik, materi yang diajarkan terasa berat, namun tidak jelas apakah anak mendapatkan apa yang seharusnya diperoleh dari pendidikannya. Sehingga peruses belajarpun tidak lagi menjadi pengalaman yang menyenangkan. Jika dikatakan bahwa pendidikan kita terlalu menekankan aspek kongnitif dan kurangnya aspek spiritual adalah benar adanya. Namun, aspek spiritual yang dimaksud bukanlah gagasan tentang agama melainkan menciptakan kebaikan dan keadaban bagi kehidupan bersama.
Pendidikan sudah seharusnya berorientasi pada upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaiman yang diamanatkan dalam konstitusi. Peroses pembelajaran harus berorientasikan untuk mengembangkan potensi-potensi kemanusiaan, menambah pengetahuan yang mengarahkan individu untuk mampu berempati, bekerjasama, gotong royong, dan saling melayani dengan individu lain sehingga keadaban hidup bersama dapat tercapai.
Kesemuanya itu untuk memupuk fondasi bagi karekter diri yang terbuka. Tidak picik pada perbedaan dan terbuka pada kemungkinan-kemungkinan baru. Visi kemajuan, inovasi, dan kreativitas dapat diharapkan dari orang-orang semacam ini. Saat itulah pendidikan yang memerdekakan mendapatkan keadabannya. Untuk mencapai keberhasilant ujuan pendidikan, kurikulum dan infrastruktur memang penting, namun itu hanyalah alat untuk mencapai tujuan, adapun penentu kebijakan lebih dimaksudkan sebagai fasilitator untuk mendinamisasikan arah yang ingin dituju.
Pemerintah sudah saatnya meninjau system pendidikan yang ada sekarang ini, setidaknya ada dua hal yang paling mendesak untuk dilakukan agar arah untuk mencapai tujuan pendidikan itu tercapai. Pertama,  bagaimana pendidikan mampu merangsang peserta didik untuk memiliki kemampuan secara mandiri dapat menemukan letak tantangan yang sebenarnya, serta bagaimana ia dapat menanggulanginya. Mencerdaskan bangsa justru tidak secara paternalistik, menyajikan segala macam jawaban. Untuk masalah-masalah sepuluh tahun mendatang kita tidak dapat memberikan jawaban sekarang karena tidak mungkin kita ketahui sekarang.
Kedua, dalam peruses pendidikan harus menciptakan ruang suasana kritis dan bebas, institusi pendidikan harus menyediakan iklim keterbukaan dan kebebasan kritis yang memungkinkan orang berani bertanya, hanya dalam suasana bebas dan kritis yang dapat mewujudkan suasan yang melahirkan kreativitas yang diperlukan untk mengatasi masalah-masalan mendatang.

Pendidikan harus memerdekakan dan membebaskan rakyat dari belenggu kebodohan. Namun pendidikan saat ini semakin jauh dari rakyat sejak pendidikan berubah bentuk menjadi komoditas perdagangan dan lembaga pendidikan beralih fungsi dari social menjadi komersial. Sehingga nilai manusia sangat ditentukan oleh sejauh mana nilai ekonomi yang dimilikinya. Subhanallah !.

Oleh :Ahmad Hiswandi (Pimpinan Redaksi LPM Pena Kampus FKIP Unram

Tidak ada komentar:

Posting Komentar