Menghadapi era Globalisasi,
dimana era sagala hal yang serba berubah cepat, dunia pendidikan Indonesia terus
bergerak mengikuti perkembangan zaman. Dengan pengandaian kurikulum yang selalu
berubah-ubah, buku ajar yang berganti-ganti, model guru dan cara mengajar menjadi
lain dan kemudian lain lagi. Apa kira-kira yang tidak akan berubah atau yang
tahan zaman dan apa yang dapat kita kerjakan dengan keyakinan yang berfondasi kukuh
?.
Apa yang salah dengan
pendidikan di Negeri ini, mengapa setelah 68 tahun merdeka, kualitas pendidikan
belum maju-maju, dan bahkan tertinggal jauh dari Negara-negara tetangga.
Mungkin para pendiri Republik ini menangis melihat sebagian besar rakyat
Indonesia yang belum cerdas.
Persoalan besar yang
sedang kita hadapi sekarang adalah hilangnya roh pendidikan nasional. Dengan sadar
kita meninggalkan tujuan pendidikan seperti yang telah dicita-citakan Ki Hajar Dewantara
dan juga amant pembukaaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
(UUD NRI 1945) untuk mencerdas kankehidupan bangsa. Tujuan pendidikan nasional harus
menciptakan insan mandiri yang tidak tergantung pada orang lain, tetapi juga tidak
menjadi individualis, insan yang dapat mengatur diri sendiri dalam rangka hidup
bersama.
Namun yang terjadi saat
ini adalah semangat pragmatisme dan komersialisasi yang mewabah sedang menggerogoti
dunia pendidikan sebagai wahana penting mencetak manusia dalam upaya mewujudkan
keadaban bersama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pendidikan
yang dikuasai nalar korporasi dan direduksi sekedar untuk memenuhi kebutuhan pasar.
Pragmatisme dan komersialisasi tengah menjangkiti pendidikan kita, mulai dari tingkat
Sekolah Dasar sampai PerguruanTinggi. Tujuan pendidikan yang menurut konstitusi
untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara telah mengalami degradasi,
digantikan dengan jargon-jargon popular untuk membentuk manusia-manusia yang
unggul, berdaya saing gelobal dan memiliki keahlian yang dibutuhkan pasar.
Keberhasilan pendidikan diukur dengan berapa banyak lulusan yang terserap dunia kerja, perguruan tinggi merasa berhasil ketika manusia didikannya tersebar mengisi kebutuhan pasar . Para pemangku kebijakan pendidikan sibuk menerapkan nalar industri, sehingga tidak heran paradigma arah pendidikan mulai bergeser untuk memanusiakan manusia menjadi pabrik penghasil buruh. Logika ekonomi mengendalikan arah dan tata kelola pendidikan yang sesuai selera pasar, perguruan tinggi berlomba-lomba membentuk Fakultas dan jurusan-jurusan yang cepat terserap dunia kerja.
Alhasil para kaum terdidik
Indonesia kemudian sibuk dengan urusan peribadi mereka dan lupa akan tanggung jawab
sosialnya kepada masyarakat. Sikap apatis dari kaum terdidik terhadap kondisi
social masyarakat adalah hasil dari komersialisasi pendidikan yang selalu menghitung
untung rugi.
Sangat relevan apa
yang dikeritik oleh WS. Rendra dalam sajak seonggok
jagung,1975. Kegelisahanya melihat pendidikan yang semakin terpisah dari kenyataan
hidup rakyat. ‘’Apa gunanya pendidikan hanya membuat seseorang menjadi asing ditengah
kenyataan persoalannya ?apa gunanya pendidikan bila hanya mendorong seseorang menjadi
layang-layang di Ibu Kota, kikuk pulang kedaerahnya’’.
Panggungkompetisi
Ada kontradiksi dalam kebijakan
pendidikan nasional, system evaluasi pendidikan nasional yang bernama ujian nasional
menjadi ajang kompetisi sekolah-sekolah, para guru dan pemerintah daerah untuk menjadi
yang terbaik, karena angka persentase kelulusan dengan nilai-nilai yang bagus menjadi
tolok ukur pemerintah dalam menentukan keberhasilan peningkatan mutu pendidikan.
Lebih parah lagi tolok ukur tersebut dijadikan penentu dalam besarnya dana bantuan
kesekolah ,penentu karir para guru dan kelulusan anak dalam ujian nasional dijadikan
penentu masa depan anak.
Sehingga tidak heran jika
dalam pelaksanaan ujian nasional ada banyak kasus dimana kepala sekolah dan para
guru mempasilitasi siswa untuk saling berbagi jawaban saat ujian berlangsung. Pihak
sekolah ingin namanya bagus dan di kelaim sukses dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Peroses pembelajaran sekedar
menjadi instrument untuk memperoleh nilai tinggi, kecendrungan kegiatan belajar
mengajar lebih berorientasi pada pencapaian angka kelulusan dalam ujian nasional.
Peserta didik dipaksa bekerja keras terkait bagaimana menyelesaikan latihan-latihan
soal.
Dilain pihak, ajang kompetisi
tersebut semakin kentara dengan kehadiran lembaga bimbingan belajar (bimbel)
yang semakin menjamur. Para orang tua berlomba-lomba memasukkan anaknya mengikuti
bimbingan belajar denga harapan anaknya mampu menjadi juara kelas atau sekedar dapat
lulus dalam ujian nasional. Sekolah tidak lagi sebagai tempat belajar, namun sekolah
hanyalah sebuah panggung kompetisi resmi. Sekolah tidak ubahnya hanya sebuah lembaga
legal yang menyediakan selembar ijzah sebagai
tiket untuk melanjutkan pendidikan ketingkat yang lebih tinggi.
Keadab
pendidikan
Sampai saat ini bangsa
Indonesia belum memiliki konsepsi yang jelas mengenai subtansi dan arah pendidikan,
kurikulum didisain berdasarkan apa saja yang dianggap penting. Akibatnya terjadilah
beban berlebihan pada peserta didik, materi yang diajarkan terasa berat, namun tidak
jelas apakah anak mendapatkan apa yang seharusnya diperoleh dari pendidikannya.
Sehingga peruses belajarpun tidak lagi menjadi pengalaman yang menyenangkan. Jika
dikatakan bahwa pendidikan kita terlalu menekankan aspek kongnitif dan kurangnya
aspek spiritual adalah benar adanya. Namun, aspek spiritual yang dimaksud bukanlah
gagasan tentang agama melainkan menciptakan kebaikan dan keadaban bagi kehidupan
bersama.
Pendidikan sudah seharusnya
berorientasi pada upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaiman yang diamanatkan
dalam konstitusi. Peroses pembelajaran harus berorientasikan untuk mengembangkan
potensi-potensi kemanusiaan, menambah pengetahuan yang mengarahkan individu untuk
mampu berempati, bekerjasama, gotong royong, dan saling melayani dengan individu
lain sehingga keadaban hidup bersama dapat tercapai.
Kesemuanya itu untuk memupuk
fondasi bagi karekter diri yang terbuka. Tidak picik pada perbedaan dan terbuka
pada kemungkinan-kemungkinan baru. Visi kemajuan, inovasi, dan kreativitas dapat
diharapkan dari orang-orang semacam ini. Saat itulah pendidikan yang
memerdekakan mendapatkan keadabannya. Untuk mencapai keberhasilant ujuan pendidikan,
kurikulum dan infrastruktur memang penting, namun itu hanyalah alat untuk mencapai
tujuan, adapun penentu kebijakan lebih dimaksudkan sebagai fasilitator untuk mendinamisasikan
arah yang ingin dituju.
Pemerintah sudah saatnya
meninjau system pendidikan yang ada sekarang ini, setidaknya ada dua hal yang
paling mendesak untuk dilakukan agar arah untuk mencapai tujuan pendidikan itu tercapai.
Pertama, bagaimana pendidikan mampu merangsang peserta didik
untuk memiliki kemampuan secara mandiri dapat menemukan letak tantangan yang
sebenarnya, serta bagaimana ia dapat menanggulanginya. Mencerdaskan bangsa justru
tidak secara paternalistik, menyajikan segala macam jawaban. Untuk masalah-masalah
sepuluh tahun mendatang kita tidak dapat memberikan jawaban sekarang karena tidak
mungkin kita ketahui sekarang.
Kedua, dalam peruses pendidikan
harus menciptakan ruang suasana kritis dan bebas, institusi pendidikan harus menyediakan
iklim keterbukaan dan kebebasan kritis yang memungkinkan orang berani bertanya,
hanya dalam suasana bebas dan kritis yang dapat mewujudkan suasan yang
melahirkan kreativitas yang diperlukan untk mengatasi masalah-masalan mendatang.
Pendidikan harus memerdekakan
dan membebaskan rakyat dari belenggu kebodohan. Namun pendidikan saat ini semakin
jauh dari rakyat sejak pendidikan berubah bentuk menjadi komoditas perdagangan dan
lembaga pendidikan beralih fungsi dari social menjadi komersial. Sehingga nilai
manusia sangat ditentukan oleh sejauh mana nilai ekonomi yang dimilikinya. Subhanallah
!.
Oleh :Ahmad Hiswandi (Pimpinan Redaksi LPM Pena
Kampus FKIP Unram
Tidak ada komentar:
Posting Komentar