Apresiasi Seni 2015—Baca Sastra: RUANG SASTRA MASIH “MENTOK” DI PINTU PEMAHAMAN - LPM Pena Kampus

Goresan Penamu Runtuhkan Tirani

Breaking

Rabu, 18 November 2015

Apresiasi Seni 2015—Baca Sastra: RUANG SASTRA MASIH “MENTOK” DI PINTU PEMAHAMAN


“Puisi adalah kejujuran.”—Wayan Sunarta (Bali)
“Sastra: mendengar sesuatu di balik sesuatu.”—Ahda Imran (Bandung)
“Karya sastra yang bagus, ia akan melintasi ruang dan waktu.”—A.S. Laksana (Jakarta)
  

Poster Apresiasi Seni 2015 yang unik dan menjadi sorotan salah satu peserta
         Menghadiri Apresiasi Sastra 2015 di Museum Negeri Nusa Tenggara Barat (NTB), saya merasa seperti sedang berada di ruang imunisasi. Atmosfir kesusastraan menjadi vitamin positif bagi saya. Berkumpul dengan orang-orang yang juga mengagumi sastra pun sangat menyenangkan. Pengorbanan para sastrawan nasional yang rela berjauh dari tempat domisili, hanya untuk membagi ilmunya di pulau kecil ini, sungguh sangat tinggi apresiasi saya. Akan tetapi hal tersebut sepertinya tidak dirasakan oleh seluruh peserta di sini.
            Acara yang terhelat pada Selasa 17 November 2015 ini diselenggarakan pukul sembilan pagi. Lahan parkir telah dipenuhi oleh berbagai kendaraan adalah pemandangan “tumben”. Dengan enteng saya katakan demikian karena memang di hari-hari biasa, museum bukanlah tempat yang ramai dikunjungi. Jika ada yang tidak setuju, saya mungkin akan dengan enteng pula menyebut mereka sebagai orang buta—atau minimal hobi berkacamata hitam tiap kali melewati museum.
            Masuk ke gerbang museum, kawan-kawan panitia telah seiap dengan buku tamu dan kudapan berbungkus kotak jajan limaribuan. Isi kotaknya standar. Namun isi acaranya istimewa. Ahdan Imran dari Bandung, A.S. Laksana dan Yusi Pareanom dari Jakarta, Joko Pinurbo dari Yogyakarta, Wayan Sunarta dari Bali, serta Sindu Purta dan Kiki Sulistyo dari Mataram—tujuh “nabi” sastra 2015 yang sedang duduk berderet di panggung, menjadi pemandangan emas di mata saya. Dan, serupa kupu-kupu duduk di antara para kumbang, Kepala Museum NTB—yang saya lupa namanya siapa—anteng duduk rapi sambil menyembunyikan rasa gugupnya.
            Oh, sebelum saya lanjutkan, untuk dimaklumi, ulasan ini mungkin lebih seperti catatan harian saya. Jadi saya akan mengulas menggunakan sudut pandang seorang pencinta sastra.
Para sastrawan membacakan karya masing-masing. Ada puisi, ada cerita pendek. Saya seperti kembali ke masa kecil, dimana ibu saya sering membacakan buku dongeng hadiah sekotak susu. Saya menikmati bacaan di tiap-tiap diksinya. Saya kembali hidup.
Wayan Sunarta membalut isu reklamasi Teluk Benoa dengan lima puisi pergerakannya. Sungguh bergelora dan bersemangat! Lain lagi dengan Joko Pinurbo dengan puisi kocak namun berserat filosofis agama. A.S. Laksana membacakan cerita pendek yang menyentuh realita ibu kota. Sekilas otak saya bertanya, “Ia dapat meramu cerita seperti itu pasti karena pernah melihat, atau merasakan suasana demikian. Lantas, bisakah kita mengolah imajinasi tanpa replika dari kehidupan nyata?” dan saya menjawab sendiri: TIDAK. Mereka saling melengkapi. Dan dengan sombong, saya menganggap mereka bertujuh sependapat dengan saya.
Saat pembacaan apresiasi, saya meluaskan pandang ke penonton, tidak lagi ke depan panggung. Tercenung, mungkin lebih kepada diam dan malas berkata-kata; banyak penonton yang keluar, mengobrol sendiri, sibuk dengan gawai di tangan, bahkan “tega” menikmati lagu dengan perangkat headset di telinga! Jika bisa, saya ingin melempar anak berseragam sekolah itu dengan kotak jajan. Sungguh miris.
Dalam suasana ini, saya agak menyimpulkan: penikmat akan merasa sangat terganggu jika duduk bersama orang yang sekedar duduk dan “numpang eksis”. Ini terjadi saat saya dan kawan-kawan sastrawan muda merasa terganggu dengan tingkah seorang anak yang menyeletuki Sindu Putra saat sedang membaca puisinya.
Tujuh sastrawan nasional "memimpin" berhadapan dengan para peserta

“Mentok”
Ketika sesi diskusi dimulai, banyak tangan-tangan kanan muncul di permukaan kepala para penonton. Mulai dari siswa, mahasiswa, dan para sipil. Dari sekian banyak pertanyaan, satu intinya: “ Mengapa sulit memahami sastra?”
Entah, mungkin saya sedang merasa sombong. Saya merasa tidak ada yang perlu ditanyakan karena saya menikmati acara ini. Jika ada yang perlu ditanyakan, mungkin saya ingin seperti dikusi saja. Kita mendiskusikan sastra kekinian—jadi bukan hanya gawai dan sosialita yang kekinian, tetapi sastra juga! Akan tetapi, yang terjadi di sini adalah pembahasan mentah soal bagaiman memahami makna sastra. Yusi Paraenom mengawali jawabannya dengan santai: “Jika tidak pernah bersentuhan langsung dengan sastra, pasti merasa sulit.” Yap, saya setuju.
Begitu pula dengan Kiki Sulistyo yang menyuguhkan pernyataan lain tentang memahami sastra, “Saya bersyukur tidak sekolah. Bersyukur pula tidak mengenal sastra melalui bangku sekolah.” Ia menjelaskan bahwa memahami sastra di sekolah dengan di luar sekolah tidaklah sama. “Jika di sekolah, kalian akan disuguhi pertanyaan ‘apa pesan moral dari cerita pendek ini?’ lalu diberi pilihan A, B, C. Sedangkan penafsiran karya sastra sangatlah luas, tidak bisa dibatasi dengan pilihan ganda seperti itu,” ujarnya. Ia pun berpesan kepada kita semua untuk tidak lagi mencari pesan moral di dalam karya sastra; karena tidak semua karya sastra memiliki pesan moral yang sesuai dengan keinginan orang banyak. Maksudnya, di sini, ya yang hidupnya lurus-lurus saja. Saya pun sepakat. Sastra di sekolah mungkin hanya pemanis buatan dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Atau, pemeran figuran dalam sinetron. Atau, buruh di sebuah pabrik. Ia sesuatu yang bergumul dan abstrak, kerap dilupakan. Namun tanpanya, sinetron dan pabrik tidak akan hidup.
Ini adalah hal yang sederhana. Ah, sudahlah.. saya agak malas menjabarkannya lagi karena memang itu sederhana. Jika ingin tahu, maka cari tahu. Selesai.
Ada satu pertanyaan yang “nyelekit” dari seorang  perempuan berkerudung merah muda: “Mengapa tujuh orang di depan semuanya laki-laki? Apa memang tidak ada perempuan yang mampu menjadikan dirinya sastrawan? Apakah dalam sastra, laki-laki dan perempuan itu memiliki hak dan derajat yang sama?” Bagus, kan?
Ada juga laki-laki berkaus putih yang bertanya tentang makna spanduk acara yang menampilkan sosok anak lelaki duduk dengan mata ditutup kain putih, juga di atasnya ada sangkar burung kosong.
Joko Pinurbo menjawab pertanyaan dengan lugas. Sangkar kosong dalam spanduk berlatar biru itu adalah perumpamaan bagi pola pikir kita. “Ini adalah simbolis untuk keluar dari hal yang memenjarakan kita dari pengembangan diri untuk menulis. Sangkar itu bisa diibaratkan rasa malas, merasa cukup untuk belajar, dan lain-lain. Keluar dari zona nyaman!”
Sedangkan lelaki yang ditutup  matanya adalah perumpanaan untuk mereka yang suka, atau terlena dengan hal-hal visual. Joko Pinurbo pun menganalogikan dengan manusia; tutuplah mata manusia selama lima menit, maka yang akan bekerja dalam dirinya adalah imajinasi. Ia akan mulai membayangkan apa  saja, berfikir apa saja. Akan lebih, ia akan mulai mengasah kepekaannya. Kece!
Namun agak mengecewakan ketika moderator menjawab pertanyaan mengenai sastrawan perempuan yang tidak hadir. Ia hanya menjawab, “Maaf, sastrawan perempuan tidak hadir karena sakit.” Itu saja.
Hal yang menjadi ujung diksusi ini adalah pemahaman masyarakat tentang sastra masih terkungkung oleh makna. Selalu bertanya tentang makna rasanya tidak akan menjadikan seorang manusia memahami sesuatu secara utuh—setidaknya itu pendapat saya. Bagaimana kita mampu mencintai atau menikmati sesuatu tanpa mau mengenal dan mengaguminya? Begitu pula dengan sastra. Jadi, jika masih mentok dengan makna, sibuk dengan aturan-aturan kaku sastra di buku sekolah, maka ruang sastra akan tetap tertutup pintunya.

BAIQ ILDA KARWAYU
Litbang LPM Pena Kampus FKIP Unram

Tidak ada komentar:

Posting Komentar