Sebuah Puisi
Cukup
monolog malam itu
Kegelisahan
menggilas tanpa jeda
Mana
kala matanya yang purnama
Membuat
basah malam
Dan
desahan parau angina berderu
Menyulang
setiap teguk lekuk tubuhnya
Kapai-kapai
Surau
gelap mulai mengkhianati malam
Sementara
sisa menit yang terburu-buru
Jadi
gigil khayal yang berseteru
Tenang
menjalar dalam darah
Romantis?
Atau
sebuah pertunjukan yang erotis?
Ditengah-tengah
semesta sedang bermimpi
Dia
piker siapa yang sebenarnya ditipu?
Di
sana Miriam,
Ketika
bulan redup di matamu
Rupanya,
ketika malam mulai kehilangan akal, dan
Menyeret
orang-orang yang kau cintai
Ah,
Setidaknya
aku ingin mendengar sekali lagi
Gema
nyanyian bulan yang terdengar seperti mantra
di
atas nyala pemantik api
yang
telanjang tanpa terrarium
sementara
kau biarkan saja mereka berpetualang
Atau
menyamar jadi salah satu
dari
mereka yang sedang sibuk memunguti
pantulan-pantulan
cahaya bulan
di
lapangan sana
(hening
bening – memecah)
Miriam
beranjak,
Dibiarkan
punggungnya lenyap dilahap kejauhan
Tiap
detik sudah bertabuh – Miriam sebenarnya hanyalah sebuah jeritan.
Waktu temaram, Juni
2018
Penulis
Ni
Made Mega Dwita Diartha
Anggota
Tim DKV Keredaksian Pena Kampus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar