Menarasikan Kesenyapan Terpanjang Wiji Thukul* - LPM Pena Kampus

Goresan Penamu Runtuhkan Tirani

Breaking

Minggu, 02 September 2018

Menarasikan Kesenyapan Terpanjang Wiji Thukul*

Informasi Film

Judul        : Istirahatlah Kata-Kata

Produser    ; Yosep Anggi Noen, Yulia Evina Bhara, Tunggal Pawestri, Okky Madasari

Sutradara    : Yosep Anggi Noen

Penulis        : Yosep Anggi Noen

Produksi    : Muara Foundation, Kawan Kawan Film, Partisipasi Indonesia, Limaenam Films

Tahun        : 2017

Senandung Darah Juang terdengar menyayat dari bibir perempuan bernama Sipon itu. Siulannya seperti lullaby yang dikirim setiap hari untuk suaminya. Pada scene selanjutnya, sebuah mobil melintasi jalanan sepi Pontianak. Deru mobil beradu dengan penyiar radio yang tengah memberitakan perihal dibubarkannya Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang kala itu dianggap ikut terlibat dalam rencana penggulingan Soeharto.

Lelaki di dalam kijang itu sedari awal telah menyadari bahwa ia hampir tiba pada titik tersenyap dalam hidupnya. Dendang siul dari bibir istrinya tinggal sayup seiring hilangnya pertarungan derik mobil dan suara perempuan di ujung radio. Hari itu menjadi awal kesenyapan terpanjang dalam hidup sang penyair

Ada saat, ketika kita berada pada detik-detik tersunyi dalam hidup. Perasaan takut, gelisah, bosan, sendiri di tempat nun jauh, rindu rumah, dan hal-hal lainnya. Seolah kumpulan perasaan tersebut menjadi dinding-dinding penyokong bangunan yang tinggi dan penuh belukar bernama kesenyapan. Hal itulah yang rupanya dirasakan oleh Wiji Thukul. Melalui film ini, Yosep Anggi Noen, sutradara sekaligus produser film ini mencoba menarasikan nyanyi-nyanyi sunyi Wiji Thukul saat ia berstatus buronan pada masa Orde Baru.

Film ini tak didominasi oleh dialog antartokoh. Tampaknya film ini juga benar-benar ingin memberikan jeda istirahat panjang pada kata-kata. Durasi yang relatif seperti film pada umumnya entah mengapa terasa lebih lama karena tempo film yang terkesan lambat.

Pementasan Drama

Menonton Istirahatlah Kata-kata, kita seperti disuguhkan pementasan langsung sebuah naskah drama. Permainan simbol-simbol, jeda-jeda dialog yang agak panjang, cara tokohnya berdialog, terasa kental sekali dengan nuansa pementasan drama. Apalagi dengan dialog Gunawan Maryanto yang memerankan sosok Wiji Thukul, benar-benar khas sebuah pementasan drama. Penonton akan dibawa ke dalam ruang pementasan dengan panggung tanpa batas. Ada benarnya juga film ini dikategorikan sebagai drama biografi selain disebut sebagai fiksi sejarah.

Terlepas dari unsur genre, tampaknya Yosep cukup nekat dalam mereka ulang memori sejarah yang masih abu-abu ini. Menampilkan sejarah ke dalam film memang tidaklah sama dengan membuat film dengan latar belakang fiktif. Ada tanggungjawab sejarah sekaligus tanggungjawab terhadap nama baik tokoh di sana, ditambah lagi dengan teka-teki hidup Wiji Thukul yang hingga kini belum terpecahkan. Seharusnya membuat film ini bisa menampilkan kegetiran yang lebih di dalamnya.

Menjadi hal yang wajar dan cukup dimaklumi tampaknya ketika film ini menyoroti masa-masa tersunyi Wiji Thukul di Pontianak. Akan tetapi yang menjadi soal adalah ketika film ini terkesan tak meninggalkan jejak di hati penonton meskipun pada awal-awal peluncurannya cukup bersinar karena menjual kisah ternama seorang Wiji Thukul.

Sebenarnya, ekspektasi penonton mengenai film ini yang tampaknya diabaikan Yosep. Dengan banyaknya gulungan pertanyaan yang tak diurai dalam film membuat penonton bertanya-tanya apakah film ini digarap hanya dengan sekadarnya saja? Sebab, deret-deret pertanyaan hanya diselesaikan dengan sekenanya dalam film. Seolah-olah dengan keterbatasan informasi mengenai Wiji Thukul membuat film ini tak punya cara lain untuk menjawabnya. Mengapa tak memperlihatkan sosok Wiji Thukul ketika memimpin aksi mogok besar-besaran pabrik buruh di Sukoharjo atau film ini sebenarnya bisa saja menampilkan kilas kehidupannya ketika melakoni peran dalam pementasan.

Tanpa Ledakan Berarti

Pada akhirnya film ini terkesan dipaksakan. Bahkan untuk menunjukkan betapa Wiji Thukul memendam rindu yang mendalam terhadap keluarganya hanya diperlihatkan melalui rindu bernada nafsu pria semata bukan kerinduan utuh seorang lelaki dengan posisi ayah sekaligus suami. Alih-alih ia membeli sebuah celana pendek merah untuk istrinya, tidak untuk anaknya. Apalagi di tempat itu, adegan berakhir dengan Wiji Thukul yang keluar dari kamar mandi dan mencari handuk. Tak perlu saya jelaskan pada tahap itu, kan?

Film pun terasa flat karena tak terdapat ledakan-ledakan yang berarti untuk ditawarkan sepanjang film. Hanya pada menit-menit terakhir saja Yosep tampaknya cukup sukses mengguncang hati penonton. Ketika Sipon tiba-tiba menangis sejadi-jadinya di luar rumah sambil memukuli lelaki yang merupakan tetangganya dengan penuh amarah. Saat itu, Sipon menggunakan plastik besar berisi sayuran. Ia dituduh sebagai wanita jalang karena dilihat memasuki hotel tempat Thukul berada ketika itu. Ia tentu tak bisa mengungkapkan kebenaran bahwa ia menemui suaminya di sana, bukan?

Suasana hati Thukul yang tak berdaya melihat Sipon diperlakukan seperti itu sebenarnya masih menjadi rangkaian ledakan dari peristiwa yang dialami istrinya. Namun, sayang, hal itu seperti ledakan pertama dan terakhir yang bisa disajikan. Sama halnya dengan nasib Thukul yang hingga kini masih digantung oleh pemerintah, seperti itulah akhir dari film ini. Penonton dipilihkan ending yang menggantung oleh Yosep untuk mengakhiri semua kepiluan dalam film.

Terlepas dari itu semua, film ini ternyata cukup mendulang prestasi. Dalam laman wikipedia.com disebutkan bahwa film ini mendapatkan penghargaan antara lain Festival Film Indonesia, Usmar Ismail Award, dan Jogja-NETPAC Asian Film Festival.

Kemerdekaan Itu Nasi, Dimakan Jadi Tai

Memahami seutuhnya siapa dan bagaimana sepak terjang aktivis sekaligus penyair ini tak bisa dilakukan dengan hanya menonton film berdurasi kurang dari dua jam ini. Istirahatlah Kata-Kata adalah cara yang ditawarkan Yosep untuk membuat kita semua mau mengenal dan berusaha lebih jauh mencari tahu serpihan-serpihan kisah Wiji Thukul sekaligus karya-karyanya di tengah gencaran film-film picisan yang kurang mendidik.

Film ini pun menjadi bentuk kekaguman sekaligus sebagai penghargaan bagi sosok Wiji Thukul yang mampu menggunakan kata-kata layaknya senjata, menggerakkan massa untuk berbaris meruntuhkan tirani. Lebih jauh, film ini sebenarnya ingin mengingatkan kepada penguasa dan kita semua bahwa negeri Indonesia ini sesungguhnya belum merdeka, belum berani membuka luka sejarah untuk kemudian bersama kita diobati. Seperti yang diungkapkan Wiji Thukul ketika tengah mengobrol bersama Thomas dan Martin di sebuah lesehan di atas aliran sungai Kapuas, Kemerdekaan itu nasi, dimakan jadi tai.

Penulis* Wazi Fatinnisa: Sekretaris Umum LPM Pena Kampus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar