Pandemi dan Pendidikan: Urgensi Pendidikan Humanistik - LPM Pena Kampus

Goresan Penamu Runtuhkan Tirani

Breaking

Sabtu, 02 Mei 2020

Pandemi dan Pendidikan: Urgensi Pendidikan Humanistik

oleh: Lalu M. Helmi Akbar
(Anggota Pena Kampus)

sumber gambar: Dunia Pendidikan dan Teknologi Informasi



Dalam arti apa kita masih percaya bahwa dunia sedang baik – baik saja? Pertanyaan ini diajukan oleh seorang kawan kepada saya dalam sebuah diskusi lewat media daring beberapa waktu yang lalu. Maklum saja, diskusi dengan tatap muka bukanlah pilihan yang bijak saat ini. Saya yang saat itu sedang nimbrung mengikuti sebuah diskusi tentang isu paling mutakhir di WAG (Whatsapp Group) sedikit tersentak dengan pertanyaan tersebut. Pada saat yang sama, saya tengah memegang buku The End of The World Countdown, kemudian merenung lalu berpikir. Apa jawaban paling sakral dan jauh dari nada skeptis yang dapat saya berikan untuk menjawab pertanyaan tersebut. 



Lebih jauh lagi, dalam buku yang saya pegang (baca: The End of the World Countdown) secara garis besar bercerita tentang kemungkinan akhir sejarah pada 2012. Hanya saja, tahun yang diasumsikan menjadi akhir sejarah itu telah berhasil kita lewati dan dunia masih baik – baik saja: setidaknya sehari setelah kalender 2012 berganti. Dan kitalah alumni akhir sejarah 2012 itu. Pertanyaan kawan saya di atas tampaknya agak susah saya carikan -setidaknya, alternatif jawaban yang dapat memuaskan dahaganya. Kita bisa mafhum, mengapa kemudian pertanyaan itu bisa muncul.

Saat ini, umat manusia tengah dihadapkan dengan kondisi yang amat memedihkan. Manusia dibawa pada kenyataan bahwa dirinya tak sekuat yang dibayangkan selama ribuan tahun. Suatu kekuatan tak kasat mata yang enggan diusir lewat mantra, jampi – jampi apalagi doa qunut berdiri di ambang pintu peradabannya. Munculnya wabah Corona Virus Disease (Covid-19) telah memantik kepanikan global. Bahkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan maklumat bahwa Covid-19 telah menjadi pandemi. Dalam arti paling jauh, Covid-19 ini telah menjadi penyakit dalam skala global. Penyebarannya yang kian cepat dan masif menambah pelik keadaan. Kerjasama dalam skala global mutlak diperlukan guna menemukan jalan kesembuhan: vaksin. Akan tetapi, sekali lagi, Covid-19 bukan hanya soal kesehatan, ia juga mengobrak – abrik tatanan sosial, ekonomi, dan tentunya pendidikan.

Pada Kamis (5/3) Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa – Bangsa (UNESCO) mengatakan bahwa hampir 300 juta siswa terganggu kegiatan sekolahnya di seluruh dunia dan terancam hak  pendidikan mereka di masa depan akibat pandemi ini. Bagaimana dengan Indonesia? Merujuk kepada imbauan Presiden tentang kebijakan Work From Home tentu berimplikasi juga terhadap dunia pendidikan. Imbasnya, instansi pendidikan mengambil langkah dengan memberlakukan kegiatan pembelajaran lewat media daring. Tentu kebijakan ini membawa dampak yang begitu signifikan terhadap proses pendidikan di Indonesia.

Tentu kita sepakat, tentang adanya kemajuan dan kemunduran pada suatu peradaban sangat dipengaruhi oleh faktor pendidikan. Dalam konteks hari ini, transformasi dalam bidang pendidikan mutlak diperlukan. Seiring dengan itu, pemerintah melakukan reformasi anggaran melalui Perpres RI Nomor 54 tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara TA 2020 dalam rangka penanganan Covid-19. Dalam nomenklatur yang telah ditandatangani tersebut, Kemendikbud mendapat tambahan anggaran yang semula Rp 36,301 triliun menjadi Rp 70,718 triliun (bertambah Rp 34,416 triliun). Penambahan ini, bukti pemerintah memberi perhatian yang serius terhadap citra pendidikan Indonesia ke depan.

Lalu pertanyaannya, sistem pendidikan seperti apa yang diperlukan Indonesia dalam menyongsong hari – hari ke depan di tengah pandemi? Pengeloaan pendidikan yang memanfaatkan teknologi tentu menjadi pilihan yang paling rasional hari ini. Penggunaan platform media daring sedikit tidak telah menghidupkan kembali nuansa pendidikan yang sempat mati suri di awal – awal pandemi. Hanya saja, pembelajaran daring membawa masalah baru dalam dunia pendidikan. Pertanyaannya, sejauh mana efektivitas pembelajaran daring yang telah dilakukan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, para pemangku kebijakan kiranya penting untuk merumuskan indikator pembelajaran daring yang relevan dengan semua jenjang pendidikan dalam konteks keindonesiaan hari ini. Indikator ini nantinya akan dapat dijadikan acuan oleh pendidik maupun perserta didik dalam melihat kearah mana sebetulnya proses pendidikan ini ditujukan. Sebab sekali lagi, jangan sampai pembelajaran daring dilakukan hanya sebatas “menunaikan kewajiban”. Ironisnya, proses pendidikan dilaksanakan dengan absennya hasil yang sesuai harapan.

Dalam pada itu, di tengah pandemi ini tampaknya urgensi pendidikan yang membangkitkan rasa kemanusiaan (humanistik) mutlak harus dijalankan. Bagaimana tidak? Covid-19 telah banyak mereduksi aspek sosial kemanusiaan di negeri ini. Satu dari sekian banyak perbandingan adalah fakta tentang penolakan pemakaman jenazah pasien terdampak Covid-19 di berbagai daerah. Ini tentu miris, sebab yang jauh lebih berbahaya dari matinya seseorang karena wabah adalah matinya nilai kemanusiaan itu sendiri. Sudah seyogianya, pendidikan memainkan peranannya di sana.

Sepertinya, saat ini, kita perlu berkiblat kepada Kuba dalam hal kemanusiaan. Ketika negara di segenap belahan bumi kewalahan menghadapi wabah, satu negara pulau di sebelah utara Karibia tak gentar dan malah berani ambil sikap. Ketika semua negara menolak kapal pesiar MS Braemar dari Britania Raya untuk bersandar karena tersiar kabar bahwa penumpangnya membawa Covid-19, Kuba justru membuka dermaganya. Tidak hanya membantu evakuasi, mereka juga menawarkan tenaga medisnya ke berbagai negara di dunia.

Jika mengutip Chomsky dalam Democracy and Education yang dimuat Rowman and Littlefield Publisher, bahwa tujuan pendidikan adalah menciptakan manusia – manusia bebas yang mampu berhubungan satu sama lain dalam situasi dan kondisi yang setara. Manusia yang bebas dan mampu berhubungan satu sama lain dalam situasi dan kondisi yang setara menurut Chomsky sebagai representasi dari hakikat manusia itu sendiri. Chomsky mengajak kita kembali mengingat tujuan utama pendidikan yaitu memanusiakan manusia. Memang telah banyak yang menyuarakan tentang “memanusiakan manusia” tetapi sangat sedikit kemudian yang “belajar menjadi manusia”. Tampaknya, dalam kondisi saat ini, merupakan momentum yang tepat dalam upaya dekonstruksi kemudian me-redefinisi makna pendidikan.

Dalam konteks hari ini, Indonesia perlu memahami dan memeluk paradigma pendidikan humanistik. Menerapkannya dalam kurikulum dan kebijakan pendidikan nasional, serta memastikan pelaksanaannya dengan baik –tentu menyesuaikan dengan kondisi yang ada- maka bangsa kita, sejalan dengan pemikiran Chomsky, bisa menghasilkan manusia – manusia bebas yang peka terhadap aspek sosial kemanusiaan yang ada. Sistem pendidikan ini, akan merangsang terciptanya kerjasama lintas suku, agama, dan ras guna bahu – membahu secara kolektif melawan masalah bersama di negara demokratis ini.  

Lebih jauh lagi, apabila dirumuskan secara lebih sederhana, maka pendidikan yang menggali kekayaan jiwa manusia adalah pendidikan yang menumbuhkan budi pekerti. Dalam pedagogi yang menyentuh jiwa, arah pendidikan nasional hendaknya membawa peserta didik untuk masuk dalam perjumpaan konkret dengan mereka yang tidak saja berbeda, tapi juga menderita dalam arti sebenarnya. Dalam pendidikan humanistik, keilmuan tidak saja menawarkan sisi kepraktisannya, tetapi juga memepertajam nalar kritis terhadap setiap permasalahan sosial yang ada.

Terakhir, dalam momentum Hari Pendidikan Nasional ini, sebagai refleksi pendidikan Indonesia, diperlukan upaya yang serius guna mengentaskan masalah pendidikan yang ada. Membangun kembali semangat dan cita – cita pendidikan bersama. Dengan demikian, menyongsong pendidikan di tengah pandemi dan sebagai arah pendidikan ke depan, negeri ini harus mampu mengaktualkan seruan Ki Hajar Dewantara bahwa tujuan pendidikan ialah membuka batin untuk merasa, menyalakan rasio untuk mencipta, dan memerdekakan diri untuk bertindak. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar