oleh: Lalu M. Helmi Akbar
(Anggota Pena Kampus)
sumber gambar: Dunia Pendidikan dan Teknologi Informasi |
Dalam
arti apa kita masih percaya bahwa dunia sedang baik – baik saja? Pertanyaan ini
diajukan oleh seorang kawan kepada saya dalam sebuah diskusi lewat media daring beberapa waktu yang lalu. Maklum saja,
diskusi dengan tatap muka bukanlah pilihan yang bijak saat ini. Saya yang saat
itu sedang nimbrung mengikuti sebuah
diskusi tentang isu paling mutakhir di WAG (Whatsapp Group) sedikit tersentak
dengan pertanyaan tersebut. Pada saat yang sama, saya tengah memegang buku The End of The World Countdown, kemudian
merenung lalu berpikir. Apa jawaban paling sakral dan jauh dari nada skeptis
yang dapat saya berikan untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Lebih
jauh lagi, dalam buku yang saya pegang (baca: The End of the World Countdown)
secara garis besar bercerita tentang kemungkinan akhir sejarah pada 2012. Hanya
saja, tahun yang diasumsikan menjadi akhir sejarah itu telah berhasil kita
lewati dan dunia masih baik – baik saja: setidaknya sehari setelah kalender
2012 berganti. Dan kitalah alumni akhir sejarah 2012 itu. Pertanyaan kawan saya
di atas tampaknya agak susah saya carikan -setidaknya, alternatif jawaban yang
dapat memuaskan dahaganya. Kita bisa mafhum, mengapa kemudian pertanyaan itu
bisa muncul.
Saat
ini, umat manusia tengah dihadapkan dengan kondisi yang amat memedihkan.
Manusia dibawa pada kenyataan bahwa dirinya tak sekuat yang dibayangkan selama
ribuan tahun. Suatu kekuatan tak kasat mata yang enggan diusir lewat mantra,
jampi – jampi apalagi doa qunut
berdiri di ambang pintu peradabannya. Munculnya wabah Corona Virus Disease (Covid-19) telah memantik kepanikan global.
Bahkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan maklumat bahwa
Covid-19 telah menjadi pandemi. Dalam arti paling jauh, Covid-19 ini telah
menjadi penyakit dalam skala global. Penyebarannya yang kian cepat dan masif
menambah pelik keadaan. Kerjasama dalam skala global mutlak diperlukan guna
menemukan jalan kesembuhan: vaksin. Akan tetapi, sekali lagi, Covid-19 bukan
hanya soal kesehatan, ia juga mengobrak – abrik tatanan sosial, ekonomi, dan
tentunya pendidikan.
Pada
Kamis (5/3) Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa
– Bangsa (UNESCO) mengatakan bahwa hampir 300 juta siswa terganggu kegiatan
sekolahnya di seluruh dunia dan terancam hak
pendidikan mereka di masa depan akibat pandemi ini. Bagaimana dengan
Indonesia? Merujuk kepada imbauan Presiden tentang kebijakan Work From Home tentu berimplikasi juga
terhadap dunia pendidikan. Imbasnya, instansi pendidikan mengambil langkah
dengan memberlakukan kegiatan pembelajaran lewat media daring. Tentu kebijakan
ini membawa dampak yang begitu signifikan terhadap proses pendidikan di
Indonesia.
Tentu
kita sepakat, tentang adanya kemajuan dan kemunduran pada suatu peradaban
sangat dipengaruhi oleh faktor pendidikan. Dalam konteks hari ini, transformasi
dalam bidang pendidikan mutlak diperlukan. Seiring dengan itu, pemerintah
melakukan reformasi anggaran melalui Perpres RI Nomor 54 tahun 2020 tentang
Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara TA 2020
dalam rangka penanganan Covid-19. Dalam nomenklatur yang telah ditandatangani
tersebut, Kemendikbud mendapat tambahan anggaran yang semula Rp 36,301 triliun
menjadi Rp 70,718 triliun (bertambah Rp 34,416 triliun). Penambahan ini, bukti
pemerintah memberi perhatian yang serius terhadap citra pendidikan Indonesia ke
depan.
Lalu
pertanyaannya, sistem pendidikan seperti apa yang diperlukan Indonesia dalam
menyongsong hari – hari ke depan di tengah pandemi? Pengeloaan pendidikan yang
memanfaatkan teknologi tentu menjadi pilihan yang paling rasional hari ini.
Penggunaan platform media daring
sedikit tidak telah menghidupkan kembali nuansa pendidikan yang sempat mati
suri di awal – awal pandemi. Hanya saja, pembelajaran daring membawa masalah baru dalam dunia pendidikan. Pertanyaannya,
sejauh mana efektivitas pembelajaran
daring yang telah dilakukan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, para
pemangku kebijakan kiranya penting untuk merumuskan indikator pembelajaran daring yang relevan dengan semua jenjang
pendidikan dalam konteks keindonesiaan hari ini. Indikator ini nantinya akan
dapat dijadikan acuan oleh pendidik maupun perserta didik dalam melihat kearah
mana sebetulnya proses pendidikan ini ditujukan. Sebab sekali lagi, jangan
sampai pembelajaran daring dilakukan
hanya sebatas “menunaikan kewajiban”. Ironisnya, proses pendidikan dilaksanakan
dengan absennya hasil yang sesuai harapan.
Dalam
pada itu, di tengah pandemi ini tampaknya urgensi pendidikan yang membangkitkan
rasa kemanusiaan (humanistik) mutlak harus dijalankan. Bagaimana tidak?
Covid-19 telah banyak mereduksi aspek sosial kemanusiaan di negeri ini. Satu
dari sekian banyak perbandingan adalah fakta tentang penolakan pemakaman
jenazah pasien terdampak Covid-19 di berbagai daerah. Ini tentu miris, sebab
yang jauh lebih berbahaya dari matinya seseorang karena wabah adalah matinya
nilai kemanusiaan itu sendiri. Sudah seyogianya, pendidikan memainkan
peranannya di sana.
Sepertinya,
saat ini, kita perlu berkiblat kepada Kuba dalam hal kemanusiaan. Ketika negara
di segenap belahan bumi kewalahan menghadapi wabah, satu negara pulau di
sebelah utara Karibia tak gentar dan malah berani ambil sikap. Ketika semua
negara menolak kapal pesiar MS Braemar dari Britania Raya untuk bersandar
karena tersiar kabar bahwa penumpangnya membawa Covid-19, Kuba justru membuka
dermaganya. Tidak hanya membantu evakuasi, mereka juga menawarkan tenaga
medisnya ke berbagai negara di dunia.
Jika
mengutip Chomsky dalam Democracy and
Education yang dimuat Rowman and
Littlefield Publisher, bahwa tujuan pendidikan adalah menciptakan manusia –
manusia bebas yang mampu berhubungan satu sama lain dalam situasi dan kondisi
yang setara. Manusia yang bebas dan mampu berhubungan satu sama lain dalam
situasi dan kondisi yang setara menurut Chomsky sebagai representasi dari
hakikat manusia itu sendiri. Chomsky mengajak kita kembali mengingat tujuan
utama pendidikan yaitu memanusiakan manusia. Memang telah banyak yang
menyuarakan tentang “memanusiakan manusia” tetapi sangat sedikit kemudian yang
“belajar menjadi manusia”. Tampaknya, dalam kondisi saat ini, merupakan
momentum yang tepat dalam upaya dekonstruksi kemudian me-redefinisi makna
pendidikan.
Dalam
konteks hari ini, Indonesia perlu memahami dan memeluk paradigma pendidikan
humanistik. Menerapkannya dalam kurikulum dan kebijakan pendidikan nasional,
serta memastikan pelaksanaannya dengan baik –tentu menyesuaikan dengan kondisi
yang ada- maka bangsa kita, sejalan dengan pemikiran Chomsky, bisa menghasilkan
manusia – manusia bebas yang peka terhadap aspek sosial kemanusiaan yang ada.
Sistem pendidikan ini, akan merangsang terciptanya kerjasama lintas suku,
agama, dan ras guna bahu – membahu secara kolektif melawan masalah bersama di negara
demokratis ini.
Lebih
jauh lagi, apabila dirumuskan secara lebih sederhana, maka pendidikan yang
menggali kekayaan jiwa manusia adalah pendidikan yang menumbuhkan budi pekerti.
Dalam pedagogi yang menyentuh jiwa, arah pendidikan nasional hendaknya membawa
peserta didik untuk masuk dalam perjumpaan konkret dengan mereka yang tidak
saja berbeda, tapi juga menderita dalam arti sebenarnya. Dalam pendidikan
humanistik, keilmuan tidak saja menawarkan sisi kepraktisannya, tetapi juga
memepertajam nalar kritis terhadap setiap permasalahan sosial yang ada.
Terakhir,
dalam momentum Hari Pendidikan Nasional ini, sebagai refleksi pendidikan
Indonesia, diperlukan upaya yang serius guna mengentaskan masalah pendidikan
yang ada. Membangun kembali semangat dan cita – cita pendidikan bersama. Dengan
demikian, menyongsong pendidikan di tengah pandemi dan sebagai arah pendidikan
ke depan, negeri ini harus mampu mengaktualkan seruan Ki Hajar Dewantara bahwa
tujuan pendidikan ialah membuka batin untuk merasa, menyalakan rasio untuk
mencipta, dan memerdekakan diri untuk bertindak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar