Sebuah Cara Mengikhlaskan - LPM Pena Kampus

Goresan Penamu Runtuhkan Tirani

Breaking

Jumat, 18 Desember 2020

Sebuah Cara Mengikhlaskan




Oleh: Hesti Maulida Putri

 (Anggota Pena Kampus)

 

Malam tanpa bintang adalah pemandangan favorit saya. Dengan ditemani lagu dari boygrup asal Korea yang berjudul Goodbye Road menggema di langit-langit kamar saya. Semakin menambah kesan sejuknya angin yang berhembus yang membuat saya bisa bernostalgia dengan tenang. Seperti malam ini, saya bisa mengingat bagaimana wajah pria yang membuat saya rindu setengah mati.

 

Pria bernama lengkap Banu Ardiansyah, yang kerap disapa Banu itu telah memberi sedikit warna pada kehidupan saya. Bukan sedikit sih, malah sudah cukup banyak ia memberi sesuatu yang berharga kepada saya. Dan hingga hari itu tiba, hari yang mana menjadi akhir hidupnya.

 

Saya hanya bisa tersenyum mengingat hari itu, demi apapun saya sudah mengikhlaskan dirinya berada di sisi Tuhan saat ini. Tapi rasanya kurang jika saya tidak menceritakan sosoknya dari awal. Awal bagaimana saya bisa mengenalnya dan berteman baik dengannya. Saya ingin bernostalgia lagi untuk kesekian kalinya mengenai dia. Dia yang begitu lembut dalam berkata, gurat wajahnya yang tak bosan untuk dipandangi──selain karena wajahnya yang memang tampan──dan sifatnya yang baik ke setiap orang, itulah tak bisa ditarik dari ingatan saya.

 

Baiklah, saya akan mulai menceritakan Banu Ardiansyah.

 

 

"Hujan!" Saya menoleh saat mendengar nama saya dipanggil. Saya tak tau pria yang memanggil saya, tapi saya hanya diam menunggu ia mendekat ke arah saya.

 

"Kamu manggil saya?" tanya saya setelah pria itu berada tepat di depan saya. Ia mengangguk, kemudian menyodorkan sebuah kertas berisi kumpulan nama teman kelas saya yang memang sedang saya cari karena lupa menaruhnya di mana. "Ini saya dititipkan sama Endra untuk diberikan ke kamu."

 

"Wah! Makasih banget, saya sebenarnya lagi nyari ini karena tadi saya lupa naruh di mana," jelas saya merasa lega karena menemukan lembar yang berharga ini. Pria itu terkekeh, "kamu bisa-bisanya lupa hal seperti ini. Oh iya, kenalin saya Banu Ardiansyah. Panggil saja saya Banu," Saya mengangguk membalas jabatan tangannya.

 

"Hunaina Janetta, Anda sudah tau bagaimana saya dipanggil 'kan?" Pria di depan saya tertawa pelan, kemudian mengangguk dan saya hanya tersenyum tipis.

 

"Baiklah, sekali lagi terima kasih telah memberikan ini. Kalau begitu, saya pamit undur diri" ucap saya segera berbalik meninggalkan Banu yang saya yakini masih menatap punggung saya hingga hilang di balik pintu.

 

Setelahnya, saya pergi memasuki ruang dosen yang bersangkutan atas lembaran nama yang saya bawa ini. Yap, ini daftar nama mahasiswa yang meraih beasiswa berprestasi. Entah mengapa dosen ini meminta nama-nama mereka, saya tidak begitu kepo jadi di sini saya hanya menjalankan tugas saja.

 

Setelah selesai bertemu dengan dosen, saya segera pergi ke kantin. Dikarenakan perut saya sudah mulai demo sedari tadi akibat dosen saya yang mengajak saya mengobrol lebih dari satu jam itu. Saya menaiki tangga menuju ke kantin yang berada di lantai dua. Sebenarnya ada lift, tapi saya sedang ingin berjalan-jalan untuk meringankan langkah saya dari ke-mager-an yang hakiki.

 

Tak berapa lama, saya tiba di kantin dan segera memesan. Selagi menunggu pesanan datang, saya duduk di meja pojok karena hanya itu yang masih kosong. Dan siang ini, cukup ramai, mungkin karena jam makan siang.

 

Beberapa saat kemudian, pesanan saya datang. Bersamaan dengan seorang pria berdiri di depan saya. Setelah pelayan itu pergi, pria itu segera duduk di kursi kosong di depan saya.

 

"Boleh saya duduk kan?" tanyanya membuat saya mengangguk saja. Toh, saya mau nolak juga dia sudah duduk duluan sebelum izin. Jadi biarkan saja. Saya lebih memilih mulai menyantap nasi uduk yang saya pesan.

 

"Hujan, kamu satu kelas sama Endra?" tanyanya disela-sela saya mengunyah santai. Saya melirik sesaat lalu mengangguk saja. Tak sopan jika berbicara ketika makan seperti ini.

 

"Dia men──"

 

"Berbicaralah setelah saya selesai makan. Saya merasa terganggu." potong saya jujur karena memang merasa terganggu. Dan dia mengatupkan bibirnya, kembali memakan makanannya.

 

Hening. Itulah yang saya inginkan ketika bersantap seperti ini. Tapi apakah kalian tahu jika pria ini sedari tadi tak hentinya memperhatikan saya yang sedang menyantap makanan saya? Ketika saya membalas menatap netranya, ia menunduk dan saya tak ambil pusing. Saya kembali melanjutkan menghabiskan makanan di depan saya ini.

 

Beberapa saat kemudian, piring yang berisi nasi uduk itu tandas tanpa sisa. Dan pria di depan saya pun sudah selesai dengan makanannya.

 

Saya meraih air putih dalam kemasan botol itu, segera meneguknya. Pria itu menuruti teladan saya, ikut meneguk airnya.

 

Setelahnya saya berdiri, hendak melangkah, tapi ditahan oleh pria ini yang beberapa waktu lalu memperkenalkan namanya. Ya, siapa lagi jika bukan Banu. Saya membalas tatapannya, jelas dengan tatapan saya yang datar tanpa ekspresi. "Bisa kita mengobrol sebentar?"

 

Saya menghela napas, kemudian mau tak mau hanya mengangguk. Dan pergi melenggang ke arah kasir untuk membayar. Hm dan juga pastinya diekori oleh Banu.

 

Lagu boygrup itu terus menggema membuat saya kembali menatap langit malam tanpa bintang sambil tersenyum. Banu, kamu tahu? Saya menganggap kamu adalah orang yang mengesalkan saat itu. Karena sifat kamu yang sok kenal sok dekat itu membuat saya beranggapan seperti itu. Bagaimana tidak? Jika kamu adalah orang yang beberapa jam lalu saya kenal saat itu, tiba-tiba mengajak saya mengobrol hal yang memang tak penting sama sekali.

 

Tapi jika saya ingat lagi, kamu bisa membuat saya tertawa dalam beberapa saat setelah saya merasakan kesal yang mendalam kepadamu.

 

 

"Mau ngobrolin apa?" tanya saya to the point setelah Banu mengajak saya duduk di taman kampus yang lumayan dekat dari kantin. Anggap saja taman lantai dua namanya.

 

"Saya tadi bertanya tentang Endra," jawabnya membuat seperempat siku terbentuk di dahi saya.

 

"Dia bagaimana di kelas?" tanyanya lagi membuat saya mengerti. "Baik-baik saja, dia termasuk mahasiswa yang rajin. Dia membantu saya setiap saya kesulitan membantu teman-teman yang lain. Oh iya memangnya kenapa kamu menanyakan Endra?" kata saya bertanya balik, mulai penasaran.

 

"Bukan apa-apa, kok. Saya hanya memastikan kalau dia tidak nakal di kelas. Dan lupakan saja jika saya pernah bertanya," ujarnya membuat saya tersenyum tipis, merasa miris dengan isi kepala pria di samping saya ini. Bagaimana cara melupakan pertanyaannya tadi jika sudah membuat saya penasaran? Apakah saya harus bertanya pada wikihow sepulang nanti? Entahlah saya lebih baik menurutinya saja dengan pura-pura melupakan, mungkin beberapa jam lagi saya bisa lupa.

 

"Hm Hujan, saya penasaran." ucapnya lagi membuat saya menoleh memandang Banu, menunggu kata-kata selanjutnya yang akan keluar dari mulutnya.

 

"Kenapa namamu bisa jadi Hujan?" Saya mengedik sesaat, dan Banu mengangkat sebelah alisnya, menunggu.

 

"Nama saya kan Hunaina Janetta, huruf awal nama saya disingkat jadi Hu-Jan. Maka dari itu saya kerap disapa Hujan." jelas saya lumayan panjang. Banu mengangguk, "bukan karena kamu suka hujan?"

 

"Haa itu, saya tidak pernah suka hujan. Selain karena dingin jika hujan, saya juga lemah terhadap hujan." Banu kembali menaikkan alisnya, kini dua-duanya. "Lemah bagaimana?"

 

"Jika hari ini saya terkena hujan, itu membuat saya demam esok paginya," jawab saya dan Banu malah terkekeh membuat saya tidak bisa tidak bertanya.

 

"Kenapa kamu terkekeh? Itu bukan hal lucu," kata saya datar sedatar ekspresi saya menatap Banu.

 

"Hujan akan sakit terkena hujan. Kamu tau apa maksudnya?" tanyanya mengabaikan saya yang memutar bola mata dengan malas.

 

"Saya jawab. Kamu akan sakit jika terkena dirimu sendiri," kekeh Banu membuat saya menatapnya bingung. Tapi kemudian saya tersadar apa maksudnya. Dia meledek saya, dan kali ini saya memukul lengannya pelan.

 

Demi apapun saya merasa bersalah setelahnya, ternyata lengannya sedang diperban. Ia membuka jaketnya meringis menggerutu tentang saya yang ngadi-ngadi memukul lengannya.

 

"Iya maaf maaf, saya mana tau jika lenganmu sedang diperban." kata saya sedikit terkekeh karena kebodohan saya yang memukul lengannya. Dan bukan cuma itu, saya tertawa karena gerutuan anehnya.

 

"Kamu ngadi-ngadi sekali mukul lengan saya tanpa izin. Ini lengan saya menangis lagi jadinya. Aduh perih, itu katanya," Gelak tawa saya semakin kencang mendengarnya. Tapi setelahnya saya sadar, jika dari tadi Banu menatap wajah penuh tawa saya dengan heran. Saya mengendalikan ekspresi saya, kembali menatapnya agak datar tapi masih dengan sedikit kekehan.

 

"Kamu receh ya, pasti nanti kalau liat orang kesandung malah tawamu paling keras." katanya membuat saya refleks memukul lengannya lagi.

 

"Aduh! Kamu ngadi-ngadi sekali sungguh, jika bisa diangkat ke ftv, saya mau judulnya 'seorang teman yang tak berakhlak terhadap lengan temannya'," kata Banu mendramatisir dan jelas itu membuat saya tertawa.

 

Saya meminta maaf lagi, dan sebagai gantinya Banu malah mengajak saya untuk ke kedai es krim. Dan malah dia yang mentraktir saya. Saya sih iya-iya saja karena masih merasa bersalah mengenai lengannya.

 

Sungguh, hari itu, hari di mana hanya mengenalmu beberapa jam saja sudah menimbulkan banyak kesan tersendiri di hati saya. Awalnya kesal, tiba-tiba kamu membuat saya tertawa dengan perkataanmu yang tak mungkin saya bisa lupakan.

 

Saya menoleh ke arah ponsel saya yang telah berganti judul lagu menjadi Don't Forget masih dari boygrup yang sama. Kini menggema di langit kamar saya.

 

Saya jadi mengingat hari di mana saya menangis karena bentakan dosen waktu itu, tanpa diminta kamu datang dan mengajak saya lagi ke kedai es krim dekat kampus. Saya merasa tenang setelahnya. Bukan karena es krimnya, tapi karena dirimu yang mengajak saya melakukan hal konyol membuat saya tergelak. Dan tak hanya itu, kamu yang setia menemani saya walau diri saya menanggapimu dengan datar.

 

 

"Kamu kenapa? Dosen tadi memang galak sih, tapi saya rasa kamu malah lebih galak." ucap Banu yang sedari tadi hanya berdiri di samping saya yang berjongkok menutup wajah sembab. Namun, berhasil mendongak karena ucapan Banu yang entah mengapa membuat saya tersinggung sekaligus penasaran.

 

Banu ikut berjongkok, "kamu cantik," Saya tertegun mendengarnya. "Sekarang karena nangis cantikmu jadi ilang dikit," lanjutnya membuat saya refleks menabok Banu, kesal.

 

Banu tertawa, ia menarik saya bangun dari jongkok dan saya tertarik pasrah. Dan hal memalukan pun terjadi, karena tarikan Banu pada tangan saya yang terlalu bertenaga hingga kepala saya menempel pada dada bidang pria itu. Dan dengan wajah mendongak memandang Banu yang di mata saya──entah sejak kapan terlihat berkarisma──membuat saya memandangi dua netranya lama dengan dia juga menatap saya tepat. Hingga saya tersadar dan mengerjap pelan. Setelahnya dia melepaskan genggamannya pada pergelangan tangan saya dengan canggung.

 

"Maaf" kata kami bersamaan, dan membuat kami tertawa pelan.

 

"Mm ... kamu cuci mukamu dulu, saya tunggu di kursi itu." katanya menunjuk kursi dengan meja bundar di bawah pohon depan ruangan yang digunakan sebagai kelas. Saya mengangguk, kemudian segera berbalik melangkah ke arah toilet yang tak jauh dari tempat saya berjongkok tadi.

 

Beberapa setelahnya, saya kembali dari toilet dengan wajah tak sesuram tadi. Banu kemudian berdiri meraih tangan saya dan melangkah riang mengajak saya ke kedai es krim seperti minggu lalu.

 

Sesampainya di kedai es krim, Banu menarik saya mendekat ke gerobak gulali yang terpajang sebagai hiasan di depan kedai. Saya mengernyit, tapi setelahnya saya mengerti apa yang akan Banu lakukan.

 

"Hujan, ayo foto saya pakai ponselmu. Ini bagus tau untuk orang tampan seperti saya," ucap Banu membuat saya menggeleng prihatin, tapi menurutinya untuk mengambil gambarnya yang bergaya candid.

 

"Sudah nih!" ucap saya seraya mengulurkan ponsel saya ke arah Banu. Banu menerimanya,"ada yang kurang." katanya membuat saya kembali mengernyit.

 

"Sini kamu ikut fotoan!" ajak Banu menarik saya mendekat ke sampingnya. Saya hanya tertarik pasrah.

 

"Selfie?" tanya saya membuat Banu menegap, berlari masuk ke dalam kedai meninggalkan saya mematung di samping gerobak hiasan ini.

 

Tak berapa lama, Banu kembali menarik seorang pemuda mengenakan seragam SMA. Saya mengernyit untuk ketiga kalinya. Menunggu Banu hendak melakukan apa. Dan ....

 

"Dek, fotoin saya ya sama temen saya ini. Jarang-jarang kan saya bisa fotoan sama orang galak. Dia juga jarang-jarang bisa fotoan sama saya sebagai orang tampan, 'kan?" ucap Banu panjang lebar membuat saya hanya tersenyum tipis menanggapinya. Sedangkan, pemuda dengan seragam SMA-nya itu menggaruk tengkuk sembari meraih ponsel yang diulurkan Banu.

 

"Hitung ya, Dek!" ujar Banu mengingatkan. Pemuda itu hanya mengangguk.

 

"Siap ya kak, satu, dua, tiga!"

 

Cekrek.

 

Cekrek.

 

Cekrek.

 

Cekrek.

 

Cekrek.

 

Cekrek.

 

"Cukup." Saya menyudahi, karena terlalu banyak foto yang diambil. Saya meraih ponsel dari tangan pemuda itu.

 

"Terima kasih ya." ucap Banu diangguki pemuda itu yang entah kenapa terkekeh, seraya berbalik masuk kembali ke dalam kedai.

 

Saya memeriksa foto-foto itu. Dan demi apapun saya ingin menendang pria di samping saya ini ke Jupiter kali ini juga. Fotonya cuma satu yang serius menghadap kamera. Selain itu, saya ingin menangis melihatnya. Ternyata itu alasan pemuda tadi terkekeh sambil mengambil gambar dan setelah menyerahkan ponsel ini ke tangan saya. Saya beralih menatap garang ke arah Banu. Ia melengos pura-pura mengabaikan ekspresi saya, "masuk yuk!"

 

Ia berjalan cepat ke dalam kedai, membuat saya menghela napas untuk sabar. Akhirnya saya pun masuk ke kedai mengekorinya.

 

Sepulang dari kedai, saya merebahkan tubuh saya ke ranjang. Kemudian saya merogoh saku, mengambil ponsel. Saya melihat lagi hasil foto-foto tadi. Dan saya baru sadar, itu lucu. Tanpa sadar saya sudah tertawa ngakak melihatnya.

 

 

Kamu tahu Banu? Setelah semua yang kita lewati bersama setelah minggu-minggu saya tak menghiraukan perasaan saya terhadapmu itu terasa menjanggal. Seperti ada yang kurang jika saya tidak melihat atau berada di sampingmu sehari saja. Terlebih lagi, ketika kamu akhirnya menyatakan perasaanmu kepada saya hari itu. Betapa senangnya saya waktu itu, saya merasa dunia ini hanya milik kita berdua. Mengabaikan bahwa akan ada hari esok dan tantangan baru menunggu.

 

Dan kamu tahu, beberapa hari sebelum kamu akhirnya melamar saya, saya mendapat sebuah firasat buruk. Malam itu, saya bermimpi kamu mengucapkan selamat tinggal kepada saya. Dan hal itu membuat saya murung seharian hingga kamu saya abaikan. Dan setelahnya saya sadar bahwa saya seharusnya tidak boleh mengabaikan kamu seperti itu.

 

 

Saya masih tidak menyapa Banu sampai hari H-6 pernikahan kami. Saya masih memikirkan firasat buruk itu. Namun, Banu mendekat ke arah saya waktu itu. Duduk di samping saya, menenangkan saya.

 

"Kamu jangan khawatir tentang pernikahan kita, semuanya akan berjalan lancar." kata Banu mengelus lembut rambut saya yang saya biarkan tergerai.

 

"Tapi saya takut kehilangan kamu," ucap saya menatap sepasang netranya yang meneduh. "Saya gak akan pergi, saya masih akan tetap singgah di hati kamu," Lagi, perkataan Banu yang begitu lembut membuat saya tidak bisa membendung air mata.

 

Banu menarik saya pelan ke dalam dekapannya."Saya gak akan ninggalin kamu," Elusan tangannya pada kepala saya membuat tangis saya sedikit mereda."Saya sayang kamu, Hujan. Ingat ya, saya sayang kamu!" lanjutnya membuat kepala saya mendongak melihat wajah Banu.

 

"Sudah, jangan nangis lagi. Kamu jelek kalau nangis," Saya terkekeh, dan Banu membalas saya dengan senyum.

 

Banu melepaskan pelukannya, kemudian meraih tangan saya untuk berdiri. "Ke mana?"

 

"Ikut aja!" Saya hanya mengangguk dan membiarkan tangan saya masih digenggaman Banu.

 

Dan ternyata Banu mengajak saya ke taman kampus di lantai dua. Tempat yang menjadi saksi bahwa saya tertawa karena ucapan Banu saat itu. "Kenapa kita ke sini?" tanya saya setelah duduk di bangku taman yang sama seperti waktu itu.

 

"Saya ingin bernostalgia, Hujan. Saya senang melihat pertama kali kamu ketawa di sini. Melihat kamu merasa bersalah karena lengan saya. Jika boleh jujur, itu lengan saya sakit sekali tapi melihat kamu tertawa seperti saat itu entah mengapa rasa sakitnya kayak hilang. Sungguh, hari itu saya sudah mulai mencintai kamu setengah hati saya," ucap Banu panjang lebar kemudian menatap saya yang fokus mendengarkan.

 

Saya mengernyit,"kenapa setengah?" tanya saya lagi membuat kamu menghela napas."Karena saya baru kenal kamu, masa saya sudah lebay alay bilang cinta sepenuh hati sama kamu. Cinta itu kan butuh proses, dan proses butuh usaha. Lagi, keduanya itu butuh target. Targetnya ya kamu, Hunaina Janetta. Yang entah kenapa namanya disingkat menjadi Hujan." Ia menoleh ke arah saya, saya tersenyum."Kan saya sudah kasih tahu waktu itu," sahut saya dan Banu mengiyakan dengan anggukan.

 

"Jadi, enam hari lagi kita nikah," ucap Banu riang dan saya tak kalah riang memberi senyuman manis saya kepada Banu.

 

"Berarti setelah ini kita gak boleh ketemu ya?" Banu mengangguk, setelahnya menghembuskan napas.

 

"Saya bakal rindu kamu, Hujan." Entah kenapa saya tertawa pelan mendengar penuturan Banu. Tapi saya menatap wajah itu serius, "saya juga bakal rindu sama Banu Ardiansyah." balas saya yang jelas membuat Banu terkekeh seraya mengacak puncak kepala saya.

 

Beberapa saat kemudian, kami berbincang ringan sebelum akhirnya Banu mengajak saya pulang karena hari sudah sore. Banu menggenggam jemari saya dengan erat. Seakan hanya saat itu ia bisa menggenggamnya. Hingga sampai di depan pintu rumah saya, Banu pamit pulang. Ia segera memasuki mobilnya dan meninggalkan area rumah saya.

 

 

Dan hari itu ternyata menjadi hari terakhir saya tersenyum kepadamu. Hari di mana menjadi akhir pertemuan manis antara saya dan kamu.

 

Lagu boygrup itu kini berganti judul lagi. Ini lagu favoritmu dari boygrup ini. Lagu dengan judul Freedom. Lagu yang membuat kamu lompat-lompat mengajak saya disko. Padahal jika kamu tahu, arti lagu ini tidak seperti yang kamu rasakan.

 

Andai kamu tahu, Banu? Saya di hari pernikahan kita seperti orang yang hampir gila, bahkan kedua orang tua saya ingin memasukkan saya ke rumah sakit jiwa. Namun, orang tuamu malah melarangnya. Mereka membawa saya ke rumahmu, rumah yang akan menjadi rumah kita jika saya benar-benar menikah denganmu waktu itu. Mereka menenangkan saya, mereka membiarkan saya menikmati kesendirian saya selama beberapa bulan. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk kembali melanjutkan hidup saya tanpa kamu. Itupun hati saya tergerak karena membaca tulisanmu yang diberikan oleh Ibumu. Tulisan itu kamu tulis malam hari sebelum besoknya acara pernikahan kita akan berlangsung.

 

 

"Pangantin wanitanya cantik ya," kata seorang wanita yang memang sedang menyaksikan saya didandani sedemikian rupa.

 

"Siapa dulu dong, putri saya!" Mama saya menyahuti wanita yang kini balas mengangguk. Mereka berdua setelahnya berbincang mengenai persiapan pernikahan yang disiapkan jauh-jauh hari.

 

Saya menatap diri saya di cermin, entah mengapa firasat saya menjadi buruk. Saya merasa akan terjadi sesuatu yang sangat tidak saya inginkan. Namun, saya mengusir jauh-jauh firasat itu karena Mama saya menyuruh saya bergegas untuk menuju gedung pernikahan yang telah disewa oleh keluarga Banu. Kami menaiki mobil ke sana.

 

Dan tak butuh waktu lama, kami sudah tiba di gedung tersebut. Saya agak kesusahan melangkah karena gaun saya yang terlalu panjang. Saya mengenakan gaun putih dengan hijab putih berhias manik di salah sisi kepala saya.

 

Kami sudah duduk di tempat yang disediakan dengan tamu di hadapan kami. Tinggal menunggu pengantin pria yang belum kunjung datang. Saya kembali merasa gelisah karena firasat buruk itu kembali terlintas di benak saya. Hingga ....

 

"ADA TABRAKAN!"

 

"IYA DI PERTIGAAN MENUJU GEDUNG!"

 

"AYO AYO LIHAT!"

 

Saya dan keluarga yang mendengar itu segera bergegas ikut melihat. Meski susah melangkah, saya memaksa untuk melihat korban yang tabrakan itu.

 

Kaki saya rasanya terkilir karena highheels yang saya gunakan. Akhirnya beberapa langkah lagi, saya melangkah gontai. Menyibak kerumunan dan betapa terbelalak mata saya melihat siapa korban tabrakan itu. Iya, dia calon suami saya, Banu.

 

Dengan sisa tenaga dan kaki saya yang terasa sakit, memaksa menghampiri Banu. Lantas bersimpuh memeluk Banu yang tergeletak lemah. Matanya yang tertutup dengan teduh membuat tangis saya meledak. Saya tak peduli saya akan jelek jika menangis seperti kata Banu waktu itu. Saya juga tak peduli pandangan orang-orang di sekitar saya, yang masih mengerumuni. Hingga kedua orang tua saya menarik saya berdiri dan Banu dilarikan ke rumah sakit. Saya rasa itu percuma karena saya tahu Banu sudah tidak bernapas. Dengan kata lain, ia mati di tempat.

 

Dada saya sesak, Mama segera memeluk saya dengan tangis saya yang semakin histeris. Dan kedua orang tua Banu, mereka menyusul ke rumah sakit. Mengetahui hal itu, saya dan kedua orang tua saya segera mengekori.

 

Dan sesampainya di rumah sakit, saya merasakan lutut saya melemas. Tidak sanggup berdiri lagi. Saya semakin menumpahkan tangisan saya sambil meraung menyebut nama Banu. Mama saya menatap saya prihatin, sedangkan Papa berinisiatif memasukkan saya ke salah satu ruangan untuk dipertemukan dengan psikolog. Mendengar itu, kedua orang tua Banu segera menarik saya ke dalam dekapan mereka. 

 

"Kalian jahat banget! Anak kalian lagi terpuruk, malah kalian anggap gila!" kata Bunda masih memeluk saya erat. Begitulah saya memanggil ibunya Banu. Kedua orang tua saya hanya terdiam, ia membiarkan saya dibawa orang tua Banu pergi dari hadapan mereka.

 

Seketika saya terjatuh pingsan di koridor rumah sakit, jelas masih dengan tangan Bunda merengkuh bahu saya. Samar-samar penglihatan saya mulai menggelap.

 

 

Demi apapun saya ikhlas atas kepergianmu. Saya selalu mendoakan yang terbaik untukmu di sana. Saya selalu berharap kamu bahagia di sisi-Nya. Dan saya juga bahagia di sini.

 

Saya melihat jam dinding, sudah semakin larut dengan lagu Freedom yang hampir habis. Saya menoleh, menatap kembali langit di luar sana. Saya tersenyum lagi, saya berharap kamu bisa melihat senyum saya dari atas sana. Senyum yang katamu waktu itu membuat kamu jatuh cinta kepada saya sepenuh hatimu. Senyum yang akhirnya membuat kamu berada di atas sana sekarang. Tanpa sadar air mata saya menitik, tapi segera saya hapus. Karena saya pernah bilang bahwa saya tak akan menangisimu lagi saat itu. Itu juga karena tulisanmu.

 

 

Berbulan-bulan setelah kejadian itu, saya tinggal di rumah Banu. Kegiatan saya setiap hari hanya menatap langit malam. Saya makan, mandi dan beribadah hanya jika sudah waktunya. Selain dari itu, kegiatan saya hanya melamun.

 

Tok ... tok ....

 

Suara pintu yang terketuk tak membuat saya bangkit dari kursi di balkon. Saya terus saja memandang langit malam.

 

"Hujan," panggil sebuah suara yang saya yakini itu suara Bunda. Saya pun menoleh, segera Bunda menyodorkan sebuah buku kepada saya. Dengan bingung saya menerima uluran itu.

 

"Itu buku Banu, dia pernah bilang kalau Bunda harus kasih buku itu ke kamu pada saatnya tiba. Dan Bunda rasa inilah saatnya." ucap Bunda seakan tahu jika saya ingin menanyakan hal itu.

 

"Bunda pergi dulu, kamu baca bukunya ya," Bunda berbalik, melangkah keluar sembari menutup pintu dengan pelan.

 

Saya membuka lembar pertama buku itu. Menampilkan tulisan tangan Banu yang amat rapi. Saya mulai membacanya.

 

 

Untuk Hunaina Janetta,

 

Saya rasa kamu memang akan rindu saya setelah ini. Maka dari itu saya sempatkan menulis ini sebelum hal buruk yang kamu khawatirkan itu akhirnya terjadi. Jujur, saya cinta banget sama kamu. Dari awal saya kenal kamu, pengen langsung saya nikahin, hehe canda.

 

Hujan, saya bahagia banget bisa ketemu terus jadian terus kamu mau nikah sama saya yang emang gantengnya gak ketulungan ini. Saya benar-benar bahagia, Hujan.

 

Bentar deh, saya jadi lupa mau nulis apa karena ingat wajah kamu. Saya mikir dulu.

 

Nah iya, saya mau bilang bahwa walau tanpa saya, kamu harus tetap ngelanjutin hidup. Saya gak tau, saya bisa jadi suami kamu apa gak. Saya belum tau pasti kapan akan hm sebaiknya saya gak tulis itu. Saya khawatir soalnya kalau malah tiba-tiba abis nulis ini nyawa saya udah gak ada.

 

Hujan. Saya berharap kamu bahagia tanpa saya. Kamu bisa dapetin orang yang lebih baik dari saya. Lebih ganteng juga dari saya. Pokoknya lebih iwaw amazing dari saya. Saya juga berharap kamu selalu doain saya besok kalau udah di atas sana. Saya jadi pengen mewek ya tulis bagian ini. Saya gak boleh nangis, kamupun gak boleh nangis. Karena kamu jelek kalau nangis. Tapi di depan saya, kamu tetap cantik iwaw amazing.

 

Hujan, saya sebenarnya gak percaya sama firasatmu. Tapi setelah saya melihat hal yang entah kenapa saya bisa lihat, membuat saya percaya bahwa saya akan mati beberapa hari lagi yang saya tak tau kapan pastinya. Hari itu, saat kamu tidak menyapa saya, saya khawatir. Jadilah saya pergi menemuimu dan mengajakmu ke taman kampus lantai dua. Saya masih ingat kalau saya bergurau hanya mencintaimu setengah hati. Padahal saya cinta banget sepenuh hati, bahkan sedunia ini tak cukup menampung cinta saya ke kamu. Agak lebay sih tapi saya yakin kamu akan tersenyum tipis lalu mendecih membaca bagian ini. Tapi gak apa-apa, itu artinya jiwamu kembali.

 

Hujan, jangan tangisi saya setelah saya tiada kapanpun itu. Simpan air matamu. Doakan saya selalu. Saya sayang kamu, jadi jangan buang air matamu itu hanya untuk saya yang mungkin gak akan bisa lagi mengusap butir bening di pipimu itu. Ingat ya Hujan, saya sayang kamu. Saya akan selalu ada di hatimu.

 

Dari orang ganteng yang gak ketulungan

 

Banu Ardiansyah

 

 

Setelah membaca itu, saya menangis dengan bibir saya yang anehnya tersenyum. Saya segera keluar dari kamar, menuju lantai dasar menemui kedua orang tua Banu. Saya segera mengutarakan hal yang ingin saya lakukan. Bahwa saya akan mulai bekerja di sebuah perusahaan yang kemarin disodorkan oleh Papa saat berkunjung. Dan kedua orang tua Banu menyetujuinya serta mendukung saya. Segera setelah itu juga, saya meminta agar kembali ke rumah. Ingin memulai hidup baru dan mencoba mengikhlaskan Banu.

 

Hingga beberapa bulan setelah kembali ke rumah, seorang pria yang menjadi atasan saya di perusahaan melamar saya ke rumah. Dan dengan lapang dada saya menerimanya. Sebelumnya saya memberitahu dia bahwa saya mempunyai masa lalu yang tak bisa saya lupakan. Ia mengerti dan menerima saya dengan apa adanya.

 

 

"Hujan, ayo tidur! Ini sudah larut." Itu Mama, beliau sudah mematikan lampu seluruh rumah. Saya yang menoleh ke arah ponsel saya yang sudah mati, layarnya yang gelap membuat saya menghela napas. Saya bangkit dari posisi duduk saya, melangkah menutup jendela dan naik ke atas ranjang.

 

Esok saya akan menikah dengan Jayadi, pria yang beberapa waktu lalu melamar saya. Dan sekarang saya harus bergegas tidur untuk mempersiapkan diri menghadapi pernikahan esok hari.

 

Dan ... Banu, terima kasih telah menjadi pencair hati saya yang beku ini. Terima kasih juga atas pengorbananmu selama ini terhadap saya. Semoga kita bahagia di jalan kita masing-masing

Tamat

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar