(liputan6.com)
Oleh
: Ema Septiani (Anggota LPM Pena Kampus)
“Barangkali memang
benar bahwa cinta adalah sebuah keikhlasan tanpa harus menuntut balasan
terhadap apa yang kita rasakan padanya. Cinta bukan menerima tetapi cinta
adalah memberi. Selama kita masih mengharapkan balasan maka itu bukanlah cinta
karena cinta adalah keikhlasan. Lalu apa kau akan menyerah wahai diri?”
Aku tersadar dari lamunanku yang sedari tadi asyik
memperhatikan semut-semut yang bergotong-royong dan berjalan rapi dengan
membawa puing-puing bekal kehidupan. Yah…Begitulah kehidupan yang harus tetap
berjalan meskipun selalu ada yang patah dalam setiap perjalanan karena
keindahan rona kehidupan dilihat dari prosesnya begitu juga dengan hati yang
selalu ingin walaupun hasilnya selalu nihil.
Tidak lama kemudian aku memutuskan untuk beranjak ke
tempat yang jauh dari kebisingan, lalu aku mencoba membuka sebuah buku catatan
yang selalu kubawa kemanapun aku pergi. Rupanya suasana saat ini membuatku
hanyut dan memutuskan untuk menuangkan apa yang terlintas di benakku. Sudah kuduga bahwa hati ini tidak akan jauh dari pikiran-pikiran yang ada di otak dan
kamu selalu mengisi pikiranku. Aku bersyukur dengan kehadiran buku ini karena
dengannya aku bisa melukiskan, mencatat dan menceritakan dengan leluasa semua
tentang dirimu sebelum aku memiliki keberanian untuk mendongengkannya kepada
tokoh yang ada didalamnya, yaitu kamu.
Bagiku kamu adalah orang yang unik walaupun di mata
orang-orang kamu adalah orang yang biasa-biasa saja. Kamu bukan orang yang
berada, bukan orang yang tampan, bukan orang yang cerdas tetapi kamu membuatku
menaruh hati karena kamu adalah orang yang mampu membuatku penasaran. Alasan
ini mungkin terlalu klise jika kamu membacanya, aku mencintaimu karena caramu
dalam berfikir yang tidak biasanya aku temukan pada orang-orang. Aku penasaran
karena sikap dinginmu, namun dibalik itu semua kamu sebenarnya adalah orang
yang sangat peduli dengan sekelilingmu. Aku tahu itu karena diam-diam aku
memperhatikannya. Kamu menyimpan segudang cara mencintai di dalam diammu dan
jujur saja, karena tingkahmu yang seperti itu akupun menyimpan segudang
pertanyaan yang belum bisa kupecahkan.
Mengenalmu lewat temanku merupakan sebuah pertemuan
yang tak pernah disangka-sangka, waktu itu kamu melempar senyuman ringan sambil
menodongkan tangan untuk berkenalan denganku dan aku menganggapnya itu adalah
hal yang wajar setiap kali orang baru pertama berjumpa dengan orang yang belum
dikenalnya. Namun seiring berjalannya waktu, perkenalan itu membuat kita sering
berinteraksi. Dan aku nyaman dengan perkenalan yang semacam ini, walaupun tidak
ada hubungan lebih di antara kita.
Dalam hal ini aku tidak tahu harus menyalahkan siapa,
menyalahkan perasaanku atau menyalahkan waktu yang telah mempertemukan kita
dengan cara yang tak pernah kita rencanakan. Diam-diam aku sudah mengganggapmu
lebih dari sebatas sahabat walaupun kamu belum mengetahuinya. Kadang aku juga
benci dengan perasaan semacam ini. Aku bingung dengan diri ini, bingung harus
memulainya bagaimana. Apakah aku harus berdamai dengan diriku sendiri?
Waktu itu, aku memutuskan lost kontak dengan kamu, Furqon. Ini bukan semata-mata karena aku
menginginkannya tetapi aku berfikir mungkin ini adalah jalan yang terbaik.
Mungkin dengan jarangnya kita bertemu, perasaan ini akan hilang dengan
sendirinya. Aku memang pengecut kan? Yang berusaha menghindar dari perasaan.
Keputusan yang aku ambil ternyata salah, justru dengan
keputusan itu aku menjadi tersiksa dan tidak bisa bertanggungjawab dengan
perasaan ini. Sepertinya sudah terlalu lama aku memendam perasaan ini, rasanya
tidak baik jika aku mengurung diri terlalu berlarut-larut. Cinta harus memiliki
keberanian walaupun hasil akhirnya mengecewakan. Setelah kurang lebih dua belas
bulan kami lost kontak akhirnya aku
putuskan untuk bertemu dengannya namun yang aku temui di rumahnya hanyalah
sebuah titipan surat yang dititipkan untukku melalui ibunya.
“Assalamualaikum”
“Waalaikumussalam”
“Saya Syifa Bu,
temannya Furqon. Furqon ada di rumah Bu?”
“O…temannya Furqon
iya nak. Kebetulan Furqon sudah lama tidak di rumah”
“Furqon kemana iya
Bu? Apa dia sudah tidak tinggal disini lagi?”
“Kamu akan tahu
setelah membaca surat ini, karena dulu dia menitipkannya ke ibu untukmu.”
Dengan rasa penasaran aku membuka surat tersebut namun
sempat terlintas dipikiranku kenapa Furqon menitipkan surat ini dan tidak
bertemu langsung menemuiku untuk memberikannya.
Assalamualaikum
Syifa,
Salam Rindu.
Aku menulis surat ini semoga menjadi obat seperti namamu untukku yang dilanda kehampaan saat aku kehilanganmu. Aku bertanya-tanya pada diriku, kenapa kamu menghindar dariku dan hilang kabar. Aku sangat merindukanmu permataku.
Setiap hari,
hidupku terasa ada yang kurang semenjak kepergianmu. Belakangan ini aku
mengurung diri dan menghabiskan waktuku untuk menulis semua tentangmu dalam
catatan harianku. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana, karena dengan
menulis aku menemukan dirimu dalam
setiap aksara yang berjalan. Kadang aku senyum-senyum sendiri saat mengingat
wajahmu yang begitu polos saat menumpahkan minuman di bajuku waktu itu. Hehehe…
Permataku, aku
ternyata sudah jatuh cinta denganmu tetapi aku takut untuk mengungkapkannya.
Aku memang pengecut Syifa. Aku terlalu takut dengan hal yang nantinya akan
berujung kekecewaan, aku takut dengan penolakan terlebih akhir-akhir ini kau
menjauh dariku. Dan alasan kamu menjauh dariku aku tidak tahu penyebabnya. Dan
akhirnya aku dengan beraninya menyimpulkan sendiri bahwa kamu sudah menemukan
orang yang nyaman untuk diajak bersandar.
Syifa, jika memang
benar begitu aku doakan semoga engkau bahagia dengan pilihanmu. Doamu adalah
doaku juga. Karena bagiku mencintaimu adalah sebuah keikhlasan. Namun
sepertinya Tuhan lebih tahu mana yang terbaik untuk kita. Syifa, sebenarnya aku
menulis surat ini dengan berat hati, berlinang air mata, aku tidak kuat untuk
menyampaikannya kepadamu namun aku rasa kamu perlu mengetahuinya bahwa aku
telah dinikahkan oleh kedua orang tuaku dan perjodohan ini bukan semata-mata
karena keinginanku. Semoga surat ini sampai kepadamu Syifa. Doakan aku semoga
bisa mencintai istriku seperti aku mencintaimu dengan keikhlasan.
Salam rindu untuk
permataku.
Betapa hati ini hancur lebur setelah mengetahui isi
surat itu, aku menyesal. Aku tidak menyesal karena telah mengenal dan
mencintaimu namun aku menyesali diri ini yang tidak memiliki keberanian untuk
mengungkapkan apa yang aku rasakan padamu Furqon. Penyesalan memang datangnya
terlambat dan datangnya selalu pada saat semuanya sudah terjadi.
Kisah ini merupakan pelajaran bagiku bahwa mencintai
seseorang tidak harus dengan suatu alasan yang tampak lebih di mata orang namun
mencintai seseorang adalah sebuah keikhlasan dan berani untuk jatuh cinta maka
harus memiliki keberanian pula untuk mengungkapkannya. Karena memendam perasaan
sendiri sama saja dengan menyiksa diri sendiri.
Apakah kau tahu jatuh cinta yang paling menyakitkan?
Yaitu jatuh cinta namun orang yang dimaksud belum sempat mengetahuinya. Oleh
sebab itu jangan menunggu sampai siap karena kita akan menghabiskan sisa hidup
kita untuk menunggu.
Cerita ini menyisipkan pelajaran mengenai hakikat
cinta yang berlaku untuk siapa saja, tidak hanya berlaku untuk pasangan tetapi
berlaku untuk keluarga, sahabat, dan sesama manusia. Jangan terlambat untuk
mengatakan “Aku mencintaimu”.
-Tamat-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar