DARI PANDEMI—MELARIKAN DIRI - LPM Pena Kampus

Goresan Penamu Runtuhkan Tirani

Breaking

Selasa, 28 September 2021

DARI PANDEMI—MELARIKAN DIRI

Sumber Gambar : Pinterest


Cerpen Oleh: Arga Purnama (Anggota LPM Pena Kampus)


“Kita sudah sampai di mana, Adam?” kata Eva sembari memegang perutnya yang tengah mengandung lima bulan.


“Kita sudah berada di hutan Eden, hutan ini memiliki reputasi yang buruk, mungkin akan sulit menemukan orang,” Sedikit ragu, tapi kemudian meyakinkan Eva.


“Tapi dari yang kudengar, beberapa puluh meter lagi ada sebuah perkampungan, semoga saja rumor buruk itu salah, dan orang-orang perkampungan menerima kita.” Lanjut Adam.


Beberapa saat setelah mereka menempuh kedalaman hutan yang terkenal terlarang yakni hutan Eden ini, mereka kemudian tiba di sebuah perkampungan tengah hutan yang jauh dari perkotaan. Adam membimbing Eva duduk di sebuah bangku yang terbuat dari batang-batang pohon yang ada di depan sebuah rumah, kemudian Adam mengetuk pintu rumah, namun tak ada jawaban.


“Sayang, aku akan cari pertolongan, aku bersyukur, kampung ini ternyata bukan sekedar rumor, aku akan menemukan orang lain untuk membantu kita.” Yakin Adam.


Kemudian Adam mengitari perkampungan untuk melihat-lihat adakah orang lain untuk dimintai pertolongan, namun sayangnya Adam tidak menemukan satu orang pun setelah berkeliling, sampai akhirnya ketika ia melewati area belakang kampung, terdapat sebuah lapangan kecil yang di tengah-tengahnya terdapat dua sosok mayat hangus yang terikat di sebuah batu pucat. Sontak Adam berlari menuju halaman rumah tempat Eva duduk tadi.


“Va! Va!” teriak Adam.


“Ada apa? Kenapa kau terlihat ketakutan?”


“Kita harus pergi dari sini! Tempat ini tidak cocok untuk kita tinggali.”


“Tidak Dam, aku sudah tidak kuat lagi, kakiku sakit, perutku juga sakit dan lapar.” Kata-kata Eva itu membuat Adam merasa seperti orang yang tidak berguna untuk Eva, sehingga ia memutuskan untuk bermalam di perkampungan itu, kemudian Adam membuka paksa pintu rumah yang mereka singgahi, mereka masuk dan memastikan tidak ada orang di sana, di dalam rumah itu. Adam menemukan sebuah bakul berisi buah yang ia tidak tahu bahkan tidak pernah melihat buah itu sebelumnya, sesaat ketika Adam hendak menyuapi Eva yang sejak tadi kelaparan, tiba-tiba sebuah suara terdengar entah dari mana.


“Jangan makan buah itu! Cepat pergi dari sini laki-laki bodoh!”


Adam dan Eva saling memeluk dan ketakutan mendengar suara yang tak bertuan, dalam ketakutannya Eva sudah tak tahan lagi dengan rasa laparnya, sehingga ia tidak menghiraukan suara itu lagi kemudian memakan buah yang mereka sebut sebagai buah itu, melihat istrinya lahap memakan buah itu, Adam pun ikut memakan buah itu—lama kelamaan setelah memakan habis buah itu, rasa kantuk yang teramat sangat menyerang mereka hingga pada akhirnya mereka tertidur pulas di dalam rumah tersebut.


***


Keesokan harinya, Adam tiba-tiba terbangun dalam keadaan terikat, ia menjerit dan berteriak sejadi-jadinya, terutama ketika ia melihat di depan matanya sendiri bahwa Istrinya—Eva sudah mati di hadapannya sendiri, Adam menangis seolah tidak percaya pada apa yang dilihatnya saat ini, ia meronta tapi tak bisa, tak ada gunanya, simpul ikatannya sangat kuat hingga menyekat setiap pergerakan yang Adam buat.


“Eva! Bangun sayang, Eva! Kita akan baik-baik saja, kita akan selamat dari pandemi di luar sana, kita akan tinggal bersama dengan damai sayang.” teriak Adam.


Beberapa saat kemudian dari luar rumah terdengar suara puluhan warga dan seseorang dengan pakaian serba hitam dengan jarik berwarna abstrak sebagai tudung kepalanya masuk ke dalam rumah itu lalu menyeret Eva keluar.


“Hey, Siapa kalian! Apa yang kalian lakukan bangsat! Tidak! Jangan!” teriak Adam


“Bakar! Bakar! Bakar!” suara orang-orang dari luar rumah.


“Kutanya siapa kalian, kenapa kalian membunuh istriku! Kalian mau bawa ke mana!”


“Kau yang diam! Kaulah yang lebih pantas disebut pembunuh!”


“Apa maksudmu?!”


“Sadarkah kamu, semenjak kalian datang kemari, puluhan warga secara tiba-tiba mati dengan sebuah penyakit yang kalian berdua bawa!”


“Aku bahkan tidak pernah melihatmu!” 


“Jangan bercanda!” Bentak orang itu kepada Adam lalu menyeret Eva.


“Tidak! Tidak! Jangan! Kumohon jangan.” Adam memohon.


Tak lama waktu berselang datanglah beberapa orang untuk menyeret Adam yang terikat tak berdaya itu—di luar, sudah sangat ramai orang-orang membawa tombak, obor, jeriken minyak tanah, dan lain-lain. Adam berteriak sekuat tenaga memohon pengampunan namun terlambat, para warga menyiramnya dengan minyak tanah lalu membakarnya dengan api obor kemudian menusuknya dengan tombak, lalu dipajang berhadapan dengan Istrinya di sebuah lapangan kecil. Mereka berdua akhirnya mati berhadapan, rasa sakit yang dialami Adam perlahan mengantarnya ke dalam tidur yang sangat lelap hingga semuanya gelap.


Beberapa waktu dalam gelap itu, Adam tiba-tiba tak lagi merasa kesakitan, ia menyangka bahwa inilah kematian, ia berpikir mungkin jika ia membuka mata, ia akan berada di surga bersama istrinya, Eva. Tapi Adam terlalu takut membuka matanya, ia takut jika perkiraannya salah dan ia tak bisa lagi bersama Eva di kehidupan selanjutnya. Sampai akhirnya ia terperanjat dan membuka matanya setelah ia merasa bahwa ada yang menggenggam tangan kirinya—ketika ia membuka matanya, ia melihat di hadapannya dua sosok mayat yang dibakar hidup-hidup dan Eva berada tepat di sebelahnya.


Kemudian Adam melihat sekeliling dan ia menyaksikan bahwa banyak sekali mayat yang berserakan seperti daun-daun gugur di tengah hutan. Semua ketidak masuk akalan ini terasa pernah terjadi sehingga Adam kemudian mencoba untuk mengingat-ingat apa yang terjadi sebenarnya. Beberapa saat kemudian Adam tersadar perkataan orang yang membunuhnya itu bahwa ia dan Eva lah yang menyebabkan kematian masal penduduk itu. Sebelumnya ia berpikir bahwa ia dan Istrinya selamat dari Pandemi besar yang terjadi di kota, hingga ia dan istrinya melarikan diri ke dalam hutan. Ia juga mengingat ketika mereka sampai ke perkampungan itu, mereka disambut baik oleh warga kampung, mereka dijamu dengan makanan-makanan yang banyak hingga buah-buahan yang sangat langka dan tidak dapat ditemui di kota, ia tidak pernah membayangkan bahwa kedatangan mereka akan menyebarkan virus menular yang memusnahkan seisi kota dan sekarang memaparkannya ke para warga yang tak berdosa, sehingga pemimpin kampung tengah hutan itu menyalahgunakan kemaliq tersebut sehingga yakin bahwa itu adalah hukuman dari Tuhan, maka dari itu ia yakin bahwa untuk menolak bala, maka Adam dan Eva harus dikorbankan sebagai persembahan untuk Tuhan melalui kemaliq yang menurut kepercayaan masyarakat setempat adalah batu pucat yang keramat.


***


Di tengah ia membayangkan kilas balik kematiannya, tiba-tiba dari arah belakang terdengar sebuah langkah kaki yang kedengarannya berhenti tepat beberapa meter di belakang Adam dan Eva—ketika Adam membalikkan tubuhnya, alangkah terkejutnya ia ketika melihat bahwa orang yang ada di belakang mereka adalah Adam sendiri, ia melihat bahwa dirinya sendiri terperanjat melihat mayat Adam dan Eva yang dibakar hidup-hidup, kemudian ia berlari sekencang-kencangnya kearah depan kampung. Sontak Adam dan Eva tak percaya dengan apa yang dilihat saat ini, bahwa ada tiga diri mereka sendiri saat ini; yang tengah terbakar, diri mereka sendiri, dan sekarang ada pula Adam lain yang datang melihat dua mayat terpanggang. Ia mungkin belum menyadari siapa yang terpanggang itu sehingga berlari menuju depan kampung.


“Sayang, kau tunggu di sini, aku akan memeriksanya ke depan.” kata Adam kepada Eva.


“Baik, aku akan menunggu di sini, pastikan mereka tidak memakan buah itu apalagi tinggal di sini.”


“Baik.” Sahut Adam.


Adam kemudian menuju ke depan kampung untuk memeriksa orang yang terlihat seperti dirinya sendiri itu, lalu melihatnya mendatangi sebuah rumah dan alangkah terkejutnya Adam melihat Eva yang lain tengah hamil terduduk lemas di sebuah bangku yang terbuat dari batang-batang pohon. Adam melihat dirinya yang lain mendobrak pintu dan masuk ke dalam rumah, Adam menyusulnya, Adam masuk, dan Adam berteriak kepada mereka dengan emosional tapi mereka tak menghiraukannya.


“Jangan makan buah itu! Cepat pergi dari sini Laki-laki bodoh!”


Mataram, 4 Juni, 2021.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar