Sejumlah anggota
senat FKIP Unram mendesak prof. Mahsun segera menentukan sikap terkait rangkap
jabatan yang diemban, sebagai Dekan FKIP dan Pelaksana Tugas Ketua balai bahasa
pusat. Ia didesak untuk segera memilih salah satu diantara
kedua jabatan itu sehingga akan lebih fokus.
Semenjak
ditunjuk oleh Menteri Pendidkan dan
Kebudayaan dengan surat
perintah Nomor 139/MPN.A4.KP/2012 sebagai Pelaksana Tugas Kepala Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
terhitung semenjak tanggal 16 April 2012, Prof. Dr. Mahsun, M.S
harus bolak balik Jakarta-Mataram setiap minggu. Hal ini karena pada saat yang
bersamaan ia masih merupakan dekan FKIP yang resmi sehingga mau tidak mau ia
harus berada di Kampus untuk menjalankan tugasnya.
Untuk
kelancaran kedua posisinya itu ia
membuat pembagian kehadiran anatar Jakarta
dan Mataram. Setiap senin selasa dan Sabtu ia tetap ada dikampus sementara hari
rabu, kamis, dan jumat ia
berada di Jakarta. Meskipun sudah membuat jadwal kehadiran semacam itu, dekan
lebih sering berada di Jakarta sehingga kampus lebih sering ditinggal tanpa
dekan. Meskipun ketika pergi ia melimpahkan kewenangan kepada
para Pembantu Dekan (PD) namun pelayanan birokrasi tetap tidak akan berjalan
dengan efektif mengingat masing-masing PD memiliki tugas dan fungsi masing-masing.
Kondisi
inilah yang kemudian membuat beberapa anggota senat geram dan mendesak agar dekan segera menentukan
sikap. Apakah memilih untuk tetap
fokus menjadi dekan di FKIP atau memilih
untuk fokus menjadi PLT Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa di
Jakarta tanpa harus menunggu sampai ditetapkannya Kepala Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa (BPPB) yang definitif. Jika harus menunggu sampai terpilih
maka FKIP harus berjalan seperti ini dalam situasi seperti ini dalam waktu yang
lama mengingat sampai dua bulan setelah penunjukannya kepala BPPB yang
definitif belum ditentukan “Ia harus segera memilih salah satu supaya jelas
posisinya. Kalau seperti ini kan jadinya tidak
jelas. Dia seharusnya tidak bermain dua kaki”, ungkap L. Sumardi, M.Pd salah satu anggota
senat yang berasal dari Jurusan Pendidikan IPS.
Sementara itu menurut Pembantu Dekan II FKIP Drs. Kaharuddin,
M.Hum, Dekan baru sebatas menjadi pelaksana tugas sementara belum menjadi kepala
BPPB sah karena SKnya belum keluar dari presiden. Kalau SK penunjukannya
sebagai Kepala BPPB definitif sudah keluar maka dia akan memilih untuk di
Jakarta namun sementara menunggu SK ia masih tetap sebagai dekan FKIP.
Namun
keadaan itu justru sangat tidak etis menurut Sumardi, “Sikap dekan yang tarik
ulur seperti ini sebenarnya berpeluang memberikan tafsir negative dari
teman-teman dosen. Dekan terkesan main aman. Ia belum berani menentukan sikap
dan pilihan karena belum mendapatkan SK definitive dari Presiden. Namun
jika dapat
nanti dia akan melepas FKIP sementara kalau tidak dapat dia akan tetap menjadi
dekan FKIP. Ini kan main aman namanya. Tidak dapat di Jakarta masih bisa jadi dekan. Kalau
dapat di Jakarta ya Lepas FKIP”.
PD II meskipun sosok menjadi pejabat yang secara
struktural berada di bawah garis koordinasi Dekan berharap agar SK penunjukan Dr.
Mahsun, M.S sebagai Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa definitif
segera keluara sehingga FKIP segera memilih Dekan baru dan pekerjaan birokrasi
kampus bisa normal kembali.
Tidak Bisa
Diberhentikan
Di
tengah ketidak jelasan posisi dekan fkip, senat fkip tidak bias berbuat banyak
untuk mengatasi permasalahan tersebut. Senat hanya memiliki kewenangan untuk memilih
dekan namun tidak memiliki wewenang dan legitimasi untuk memberhentikan Dekan.
Senat hanya bias menghimbau kepada Dekan untuk segera melepas jabatannya.
“Teman-teman senat sudah meminta beliau untuk melepas saja posisi dekan jika
memang beliau mau di Jakarta, agar kampus tidak terkatung-katung. Jika beliau
memang masih peduli dan memegang idealisme untuk membangun FKIP ya silahkan dia
lepas di Jakarta dan fokus untuk kampus.
“Meang tidak ada aturan yang secar jelas mengatur bahwa
tidak boleh rangkap jabatan. Hal ini mengingat banyak juga pejabat lain yang
rangkap jabatan namun secara moral dan tanggung jawab ini jelas tidak akan
mudah. Apalagi harus bolak balik Mataram Jakarta” Lanjutnya.
Mahasiswa sebagai civitas akademika terbesar di kampus
berharap FKIP memiliki sosok dekan yang bisa ada di kampus dan fokus membenahi
dan meningkatkan kualitas kampus. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh
Muhammad fahrudin alawi selaku ketua BEM fkip,”di satu sisi kita patut
berbangga karena orang FKIP menempati posisi penting di Jakarta namun di sisi
lain kita juga membutuhkan dekan yang bisa fkus bekerja untuk kemajuan kampus.
Oleh karena itu beliau harus segera menentukan sikap. Ini tentu demi kebaikan
dan kemajuan kampus”. Ia menjelaskan bahwa BEM telah melakukan dialog dengan
segenap Ormawa yang ada di FKIP terkait dengan hal ini baik itu UKMF maupun
HMPS dan semua bersepakat bahwa dekan harus sesegera mungkin menentukan sikap.
Bagaimanapun, meski menjadi civitas kampus dengan jumlah
paling besar mahasiswa tidak bisa melakukan tindakan apapun. Mahasiswa berharap
pada senat FKIP sebagai institusi yang memilih dan mengangkat dekan secara
langsung dapat mengambil tindakan tegas. Namun bagaimanapun Senat tidak
memiliki kewenangan untuk memberhentikan dekan.
PD III pun Merangkap
Sementara
itu, L. Drs. Furkon Mahdan, M.Pd
selaku PD III FKIP kembali menempati ketua
sertifikasi guru/PLPG kedua kalinya setelah tahun 2011 ia menduduki jabatan
yang sama. Terpilih kembalinya Furkon Mahdan sebagai ketua sertifikasi guru
untuk kedua kalinya jelas akan berimbas kepada tugasnya sebagai PD III yang
dituntut untuk sering berada di kampus melayani mahasiswa.
Sebagaimana yang disoroti dalam Newletter Pena Kampus edisi 80 bulan Maret lalu
banyak mahasiswa yang hendak meminta tanda tangan PD III harus bersabar karena
beliau sering tidak ada di Kampus. Pihak yang paling dirugikan tentu adalah
mahasiswa yang bergelut di UKMF maupun HMPS yang akan mengadakan kegiatan dan
membutuhkan tanda tangan PD III. Semua kegiatan surat menyurat kegiatan dan
juga sertifikat kegiatan Mahasiswa FKIP mebutuhkan tanda tangan PD III.
Meskipun tidak ada aturan yang mengatur bahwa pejabat
kampus tidak boleh merangkap jabatan namun secara moral seharusnya mereka
sadar, ketika mengemban amanat sebagai pejabat maka mereka harus amanah dan
bekerja keras untuk memajukan nama lembaga. (PK/Mad&Tain)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar