Sekolah merupakan sebuah lembaga
sakral di mana proses pembelajaran secara simultan berlangsung. Sekolah
dirancang bertahap-tahap sesuai dengan perkembangan intelektualitas dan
emosional anak. Mulai dari tingkat taman kanak-kanak yang hanya belajar
bernyanyi sampai tingkat Sekolah Menengah Atas yang mulai mempelajari
pengetahuan teoritis yang kompleks baik itu dalam bidang ilmu pasti, ilmu
sosial, maupun ilmu budaya (Bahasa). Bahkan di sekolah menengah kejuruan siswa
mulai mempelajari ilmu-ilmu terapan dan keahlian berkarya semisal pertukangan,
otomotif, perkantoran, komputer, saya sebutkan untuk mewakili jurusan yang
lain.
Sekolah jelas bukanlah semata
gedung yang dipergunakan untuk belajar mengajar. Lebih dari itu, sekolah adalah
sebuah sistem yang tentunya terdiri dari berbagai komponen yang membuat sekolah
sebagai sistem berjalan. Jika salah satu komponen absen atau tidak ada maka
roda sekolah tidak akan bisa berjalan optimal. Ibaratnya sistem tubuh manusia,
ketika salah satu anggota tubuh sakit maka tubuh manusia tidak akan berfungsi
secara optimal.
Komponen-komponen penyusun sekolah diantaranya
adalah siswa, pegawai, guru, maupun kepala sekolah. Semua komponen di atas
merupakan sumberdaya yang dimiliki oleh sekolah di samping tentunya sumber daya
dana dan bangunan. Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional sebagai tertera
dalam undang-undang sistem pendidikan nasional (UU Sisdiknas) nomor 20 tahun
2003 maka semua sumberdaya daya yang dimiliki oleh sekolah harus dioptimalkan.
Untuk menjamin mutu dan
optimalisasi semua sumber daya sekolah tentu menjadi tanggung jawab setiap
komponen akan tetapi pihak yang paling bertanggung jawab adalah kepala sekolah
sebagai sosok penentu kebijakan dan arah sekolah. Kepala sekolah adalah adalah
seorang guru biasa secara fungsional namun ia adalah seorang pemimpin sekolah
secara sturuktural. Oleh karena itu bekerja secara optimalnya segala seumber
daya yang ada di sekolah sangat bergantung kepada kompetensi sang kepala
sekolah.
Oleh karena itu penunjukan dan
pengangkatan kepala sekolah bukanlah masalah sepele dan diatur melalui
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 28 tahun 2010
tentang penugasan guru sebagai kepala sekolah/madrasah.
Seorang guru dapat menjadi kepala
sekolah jika memiliki empat kompetensi
kepala sekolah di samping kompetensi guru yang dimilikinya seperti kompetensi
pedagogis, kompetensi profesi, dll. Empat kompetensi yang harus dimiliki oleh
kepala sekolah adalah kompetensi kepribadian, kompetensi manajerial dan
wirausaha, kompetensi supervisi, dan kompetensi sosial.
Kompetensi kepribadian
mensyaratkan seorang kepala sekolah harus memiliki integritas kepribadian
yang kuat sebagai pemimpin, memiliki keinginan yang kuat dalam pengembangan
diri sebagai kepala sekolah, dan bersikap terbuka dalam melaksanakan tugas
pokok dan fungsi. Sementara itu, komptensi manajerial dan wirausaha kepala
sekolah diharapkan akan membuat kepala sekolah
mampu mengelola dan memimpin segala sumber daya yang ada untuk kemajuan
sekolah, mampu mengelola rencana pembelajaran baik itu dalam hal guru maupun
sillabus secara efektif dan efisien untuk mencapai visi dan misi sekolah, dan
tentu saja mampu mengelola keuangan sekolah secara akuntabel dan transparan
sehingga integritas sekolah di masyarakat tetap terjaga. Adapun kompetensi
supervisi akan membuat kepala sekolah mampu melakukan monitor, pelapaoran, dan
evaluasi terhadap kinerja komponen-komponen sekolah (Siswa, tenaga penegajar,
dan staf). Kepala sekolah yang memiliki kompetensi sosial diharapkan akan
memiliki kepekaan terhadap kondisi
sosial masyarakat dan juga dapat bekerja sama dengan masyarakat untuk memajukan
sekolah atas azaz saling menguntungkan.
Ketika seorang guru di
tunjuk untuk menjadi kepala sekolah maka ia harus melalui tes kompetensi guna
mengukur ketercapaian keempat kompetensi di atas. Keempat kompetensi ini akan
diturunkan menjadi beberapa variable yang kemudian diukur dengan indikator yang
diderivasi dari variable-variable yang ada. Namun sangat disayangkan
kenyataannya kompetensi kepala sekolah di Indonesia masih sangat rendah. Dalam
sebuah penelitian tentang kompetensi kepala sekolah di 31 provinsi termasuk NTB
menunjukkan dari nilai minimal 76 untuk masing-masing kompetensi hanya nilai
kompetensi pribadi yang menyentuh nilai 85 sementara nilai rata-rata untuk
kompetensi manajerial dan wirausaha, supervisi, dan sosial adalah 72, 73, dan
63 secara berurutan (Kompas, 24 Juli 2012).
Rendahnya kompetensi ini
menunjukkan bahwa profesionalisme kepala sekolah masih sangat rendah. Padahal
kepala sekolah memiliki peran yang strategis dalam memajukan sekolah pada
khususnya dan memajukan pendidikan pada umumnya. Kepala sekolah yang
profesionalisme tentu adalah kepala sekolah yang memiliki kompetensi yang
tinggi. Professionalisme kepala sekolah sangat dibutuhkan karena dengan
demikian kepala sekolah akan memiliki komitmen untuk terus mengembangkan
kompensi profesionalnya secara berkesinambungan. Dengan demikian ia akan komit
untuk mengembangkan sekolahnya.
Tersandera
Politik Praktis
Rendahnya kompetensi kepala
sekolah salah satunya disebabkan banyaknya kepala sekolah yang dijabat oleh
orang yang tak layak untuk itu. Hal ini dimungkinkan karena faktor politis
dalam penunjukan dan pengangkatan kepala sekolah di daerah. Hal ini semakin
menjadi seiring gelombang otonomi daerah terutama otonomi pendidikan sehingga
penugasan guru menjadi kepala sekolah menjadi wewenang daerah. Tidak heran,
ketika terjadi suksesi kekuasaan di kota atau kabupaten maka banyak kepala
sekolah baru yang diangkat dan banyak pula kepala sekolah lama yang dimutasi.
Ini tak lepas dari kontrak politik yang terjadi sebelum pemilihan ketika si
calon kepala sekolah menjadi anggota tim sukses calon kepala daerah terpilih.
Itulah mengapa seorang guru saya ketika SMA berceloteh, tidak perlu pintar jadi
kepala sekolah asalkan dekat dengan Kepala dinas pendidikan dan jadi tim sukses.
Untuk sekolah swasta keadaanya juga tidak jauh berbeda. Penunjukan kepala
sekolah sangat tergantung kepada ketua yayasan. Betapa berprestasipun seorang
guru jika tidak dekat dengan ketua yayasan mustahil menjadi kepala sekolah.
Mengingat peran vital
pendidikan untuk kemajuan bangsa, sudah seharusnya ia bebas dari kepentingan
politik praktis. Jangan sampai hanya karena kontrak politik kemudian posisi
kepala sekolah diisi ole figur-figur dengan kompetensi rendah sehingga jauh
dari profesionalisme. Mereka mengincar posisi kepala sekolah hanya demi
kepentingan praktis bukan berbekal komitmen dan idealisme. Pengembangan
sekolahpun menjadi terkendala karena pimpinan tidak bisa memimpin
komponen-komponen di bawahnya.
Dalam penunjukan kepala sekolah
sudah seharusnya diterapkan prinsip meritokrasi. Dengan meritokasi maka posisi
akan diisi oleh orang yang pantas untuk itu. Begitu juga kepala sekolah harus
diisi oleh mereka yang benar-benar memenuhi standar kompetensi yang ditentukan.
Namun, penerapan meritokrasi dalam penunjukan kepala sekolah sangat bergantung
kepada komitmen kepala daerah terutama bupati dan wali kota. Komitmen mereka
untuk tak mencampur adukkan masalah pendidikan dengan kepentingan politik
praktis akan sangat menentukan arah sekolah. Sementara untuk sekolah swasta
bergantung kepada komitmen ketua yayasan untuk kemajuan sekolah dan pendidikan.
Oleh: AHMAD APRILLAH (Mahasiswa bahasa Inggris dan Mandor di LPM Pena Kampus)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar