Suara gemericik air yang jatuh dari dalam kamar
mandi di pagi buta itu membangunkanku. Memaksaku membuka katup mata yang terasa
luar biasa berat. Perasaan kantuk yang teramat sangat di seluruh tubuh terusik.
Ku buka mata. Ku tatap langit-langit kamar, yang terlihat hanya gelap. Ku
raba-raba permukaan kasur bermotif Real Madrid untuk mencari handphone yang
senantiasa menemaniku menghabiskan berjam-jam untuk saling bertatapan. Masih
pagi buta, jam lima kosong dua. Suara sholawat tarhim dari speaker masjid
bergema. Saling bersahutan dengan tiga musholla lain yang ada di dalam kampung.
Ku tutup kembali mata. Mencoba perbaiki lagi tidurku yang terusik. Sekejap, aku
kembali ke dunia mimpi, tinggalkan kewajiban.
***
Kelopak mataku terasa berat. Terasa ada cahaya berat
yang menusuk mataku. Seberkas cahaya masuk menerpa. Perlahan ku buka mata.
Terang telah menguasai pagi itu. Aku segera bangkit, menyingkirkan guling
panjang dalam dekapan. Menyambar handuk yang tergantung di samping pintu. Lalu
bergegas ke kamar mandi. Byuurr. Air segar mengguyur seluruh tubuh. Dingin.
Segar terasa. Dalam angan, perlahan namun pasti. Nafsu menguasaiku. Tak pernah
terbersit rasa bersalah ataupun berdosa. Padahal aku telah meninggalkan
kewajibanku sebagai seorang muslim. Dulu, saat ayahku masih hidup, dia selalu
mengingatkanku untuk jangan sekali-sekali meninggalkan sholat. Terutama sholat
isya’dan subuh. Namun, waktu yang bergulir telah mengubahku menjadi sosok yang
menentang. Aku menentang segala macam aturan. Aku menjadi sangat benci dengan aturan. Hidup aku jalani sesuai dengan
kemauan dan keinginanku. Tak ada yang membatasiku. Bahkan ibuku sekalipun. Kehilangan
seorang ayah sangat menyakitkan, kawan. Dia adalah sosok paling penting dalam
hidupku. Dia segalanya bagiku. Nasehat-nasehatnya lenyap terkubur bersama
kenangan-kenangan yang perlahan lenyap memudar tertiup angin waktu yang semakin
jauh meninggalkannya. Tanpa kusadari aku telah menjadi manusia pemberontak. Malas.
Bebas. Aku. Inilah aku. Tak ada yang bisa mengubahku. Tidak ada hak orang lain melarangku
lakukan kebebasan.
***
Di kampus, aku jadi mahasiswa kunang-kunang. Kuliah nangkring
dan kuliah nangkring. Aku jarang mengikuti mata kuliah. Aku bosan dengan suara
aneh dari dosen-dosen yang sok tahu tentang teori-teori sialan itu. Setiap hari
aku dijejali oleh teori-teori mentah tanpa ada praktik sedikitpun. Seburuk dan
semalas-malasnya diriku aku masih bisa merasakan kehampaan dalam sistem
pendidikan saat ini. Mungkin Tuhan telah mengaturnya. Bukankah seorang manusia
itu merupakan mahluk paling sempurna dalam hal penciptaannya? Heh, mungkin aku
juga orang yang lebih sok tahu daripada para dosen itu. Kawan, kisah manusia
begajulan itu tak selamanya berantakan dan menyedihkan. Sepahit-pahitnya kopi
masih ada gula yang memaniskannya meski ia berwarna hitam. Begitu pula aku. Hidup
ini indah jika kita menjalaninya dengan sabar dan ikhlas. Mudah sekali berucap
seperti itu. Tapi aku belum bisa menerima kepergian ayah. Ada rasa tak terima
dengan hidup ini. entahlah. Aku manusia yang ingin hidup bebas tanpa melihat ke
belakang lagi. Tapi memori otakku tak bisa melupakannya. Tentu saja. Aku takkan
melupakan ayah. Sekali lagi, dia adalah segalanya bagiku. Aku menyesal. Kenapa
saat itu aku belum mengerti apa-apa? Seandainya aku seperti saat ini, mungkin
aku bisa menahan kepergian ayah oleh virus sialan itu. Ah, aku baru saja
berucap tak kan melihat ke belakang lagi. Manusia. Jarang ada yang bisa
memegang janjinya. Sering tergoda oleh ludahnya sendiri. Ingin menelan lagi apa
yang telah ia ucapkan. Serakah. Tamak. Dan sebagainya. Jika kalian seperti itu,
kawan, bagaimana nafsu merenggut hati kalian. Bagaimana manusia itu akan
dibutakan oleh dunia. Hatinya telah mati. Begitulah manusia yang telah jauh
meninggalkan Tuhannya. Jangan seperti ceritaku ini kawan. Jangan sekali-sekali.
***
Terlepas dari sifat burukku, ternyata hati manusia
itu tercipta hanya sebelah keping saja. Tentu. Ini sebuah cerita gula yang
tercampur dengan hitamnya kopi kehidupan yang kemudian disatukan oleh air hati
seorang manusia, manis. Campuran aneh itu membentuk satu rasa, puluhan,
ratusan, atau bahkan mungkin berjuta rasa yang sulit dijelaskan. Sungguh Tuhan
itu Maha Memberi kawan. Aku yang begajulan ini saja bisa mendapatkan anugerah
sebagus dan seindah ini. Maka apa salahnya kita bersyukur? Lebih tepatnya, apa
salahnya kita berucap terima kasih? Aaah, aku jadi seperti dosen-dosen yang sok
tahu itu. Tak apa lah. Jadi, begitulah kisah hitamku yang dipenuhi kekalutan
itu mulai menemukan titik terang cahaya kehidupan yang sesungguhnya. Hatiku
terjatuh dan terdampar pada sesosok bidadari berwujud manusia yang bernama
wanita. Aduhai, rasanya itu seperti terjun dari atas tebing menuju ke dalam
lembah yang begitu dalam. Kemudian diterpa tiupan angin kehidupan yang menyejukkan
dada. Kemudian lagi terhampar di atas rerumputan hijau yang ditumbuhi bunga-bungaan
beraneka warna dan aroma. Ajaibnya lagi, ia seperti energi yang terus hidup tak
kan mati meski terhempas deburan ombak yang begitu keras. Diterjang badai yang
begitu kuat, dihujam oleh pedang yang begitu tajam. Semuanya tak mempan! Kau
tahu kawan? Ia lah cinta. Kata berjuta makna dan rasa, serta berjuta definisi
tentangnya. Aku seperti hidup kembali olehnya. Amboi, sungguh luar biasa
anugerah ini. Semakin lama rasa itu kian besar dan tak tertahankan. Seiring
tumbuh dan berkembangya ia menjadi berbagai macam rasa yang perlahan juga
mengubah hidupku. Aku jadi rajin ke kampus. Rajin mengerjakan tugas.
Dosen-dosen terlihat seperti orang yang tidak lagi sok tahu. Sosok itu menjelma
menjadi pusat energi hati yang terus mendorongku melakukan hal-hal yang
positif.
***
Sampai suatu ketika aku tak pernah lepas dari gerak
tubuhnya. Dia selalu terbayang dalam otak. Dan ini membuatku menjadi serba
salah di depannya. Padahal aku satu jurusan dengannya. Bodohnya, aku belum tahu
namanya. Aneh bukan? Mungkin karena aku jarang masuk kuliah makanya seperti
ini. Bukan mungkin, tapi memang begitu. Aku malas, sedikit. Tapi itu dulu
sebelum aku menyadari betapa istimewanya sosok yang selama ini di sekitarku. Aku
jadi rindu dengan kampus yang di dalamnya terisi oleh sosok bidadari kehidupan
yang senantiasa memberi energi penyemangat. Sedikit cerita tentangnya, dia
gadis berjilbab tidak berkerudung. Jilbabnya yang lebar menutupi seluruh
badannya. Wajahnya, ah, teduh dan tenang. Dia aktif sebagai akitvis dakwah di
kampus. Aku sangat malu karena rasa ini tumbuh pada sosok yang begitu kontras
dengan keadaanku. Aku penjahat hati, dia bidadari bumi. Seperti yang ku bilang
tadi. Dia sumber energi bagi hatiku. Setiap malas melanda, sosoknya terbayang
dengan sendirinya membunuh rasa malas, kemudian menjadi penyemangat tak
terelakkan. Ya sudahlah. Aku tak mempermasalahkan statusku dengannya. Bukankah
cinta itu tak bersyarat? Tentu saja.
***
Suatu pagi, sekitar pukul delapan hari kamis pagi,
di kampus, aku melintas ke kantin hendak sarapan. Aku berjalan melewati
musholla. Tanpa sengaja aku menoleh ke arah musholla. Sontak bola mataku yang
cekung menatap pada sosok yang tak asing lagi. Keanehan terjadi lagi, kawan. Aku
mengurungkan niatku sarapan, ku beranikan diriku menghampirinya. Statusku
sebagai begajulan aku buang jauh-jauh. Kini saatnya keberanianku harus
dikerahkan. Aku tak tahan lagi dengan rasa ini. Dia tampak baru keluar dari
musholla. Wajahnya yang teduh lembab oleh basuhan air wudhu. Ah, aku tak tahan
melihatnya. Ku tundukkan wajah sambil berjalan tegas ke arahnya yang sedang
duduk memasang sepatunya. Langakh kakiku terhenti tepat di depannya. Lantas aku
ulurkan tanganku hendak berkenalan. Wajahnya yang belum sempat menoleh ke
arahku tiba-tiba terkejut melihatku tengah berdiri di depannya dengan tangn
kanan terulur ke arahnya. Gak sopan nih. Alis matanya yang hitam miring ke
sela-sela ujung atas hidungnya. Muka teduhnya memerah. Aku semakin gak sopan.
Beberapa detik lamanya aku berdiri dalam diam. Jadi patung dah tuh. Hingga
detik yang kesekian kalinya, bibirnya lantas menari dan mengeluarkan sebait
kata yang bersuara,”aku Asma”, kemudian ia bergegas berlalu meninggalkanku. Aku
heran. Apa dia sombong? Ah, ku buang ajuh-jauh pikiran negatif tentangnya. Tidak
mungkin gadis se-alim dia bersikap sombong begitu. Mungkin, kelakuan berani
yang konyol ini menyebabkannya bertingkah seperti itu. Sudahlah, aku masih
hidup, hari ini masih kamis, dunia belum kiamat, perjuanganku pun belum tamat,
karena besok masih ada hari jum’at, so, semangaaattt!!!
***
Seperti biasa, aku pulang kuliah sore hari. Sholat Dzuhur
terlewat begitu saja. Begitupun sholat Ashar. Padahal itu kewajiban dalam
agama. Setan telah mengikat erat jiwaku oleh tali kemalasan sehingga gerak
ragaku selalu terhalang. Rumahku biasa saja. Terisi oleh dua orang, aku dan
ibu. Ibu tak pernah ku buat bangga. Ia selalu menjadi objek keluhanku.
Terkadang aku sangat marah kemudian menumpahkan amarah ke ibu. Huh, sungguh
kejam ternyata diri ini kawan. Aku sedari kecil memang selalu dimanja oleh
ayahku. Tapi tak jarang juga dia mengajarkanku untuk selalu berbakti pada kedua
orang tua. Tapi apa yang selama ini ku lakukan malah menyakiti hati mereka,
terutama ibu. Terkadang dalam angan aku menyesal. Namun, apa daya? Mungkin saat
ini ayah akan marah dengan tingkahku yang begajulan ini. Maafkan aku ayah.
Tanpa berlama-lama aku hempaskan tubuhku di atas kasur. Bruuk! Aku teramat
kelelahan hari ini oleh tugas-tugas yang semakin menggunung. Secepat kedipan
mata aku terlelap dalam keheningan. Dalam alam bawah sadar aku temukan sosok
yang tidak asing merangkulku. Tubuhnya bersinar. Mataku terpejam karena
silaunya sinar itu. Aku mencoba sipitkan mataku berusaha mengenalinya. Hah! Ini
ayah. Perlahan aku ambruk dalam peluknya. Aku pegang tubuhnya yang kini sama
tingginya denganku. Dia tersenyum sambil mengelus-elus kepalaku. Aku rindu hal
ini. Kemudian timbul pertanyaan dalam benakku. Apa ini mimpi? Kami berdiri di
tengah ruang tanpa batas. Hanya warna putih terhampar sejauh pandangan mata. Aku
segera melepas pelukan ayah. Aku mengeluh padanya tentang kerasnya dunia
setelah kepergiannya. Aku mengeluh bagaimana sulitnya hidupku selama ini
tanpanya. Aku ceritakan semua kepahitan hidupku. Semuanya. Setelah itu dia
hanya tersenyum. Wajahnya sangat teduh. Aku teringat degan Asma. Wajah teduh
ini begitu khas. Dalam hening yang tidak ada suara kecuali suara isak keluhku
padanya. Dia bersuara setelah aku lama hanyut dalam sedihku, “Anakku. Ibumu.
Jaga dia baik-baik. Jiwa ayah ada pada ibumu. Selama ini kamu mengabaikannya.
Tidak mempedulikannya. Tidak pernah mengerti perasaannya. Padahal, kamu tidak
pernah tahu betapa setiap malam ia berlinang air mata mendoakan kebaikan
untukmu. Tubuhnya semakin melemah karena lelah memikirkanmu. Hatinya tetap
teguh bersabar mendengar ocehan-ocehanmu. Kenapa kamu tidak pernah menyadari
itu? Kamu hanya memikirkan dirimu sendiri. Setiap malam, bahkan saat kamu lupa
dengannya, namamu tak pernah lepas dalam bait-bait doanya. Kamu terlalu
menganggap ayah segalanya. Kamu tidak sadar, mungkin sudah lupa tidak ada yang
abadi di dunia ini. Bahkan ayah. Anakku, sadarlah. Minta maaf pada ibumu. Tutupi
luka hatinya yang selama ini tersayat oleh kata-kata mu. Besarkan hatinya bahwa
dia memiliki anak yang selalu ingat ibunya. Teguhkan hatinya yang selama ini
terombang ambing kerasnya tingkah lakumu. Yakinkan ia tidak sendirian, karena
masih ada anak yang senantiasa menemaninya dalam kesendirian. Jangan tunggu
penyesalan sampai ia menyusul ayah. Ayah percaya, kamu anak yang baik.
Bergegaslah obati rasa khawatir ibumu. Karena kasih sayang seorang ibu abadi
sepanjang masa.” Mendengar perkataan ayah, hatiku bergetar. Memikirkan ibu yang
selama ini aku abaikan begitu saja. Aku menyesal telah memperlakukannya seperti
itu. Aku menangis sejadi-jadinya. Tersungkur berlinang air mata. Dengan senyum
teduhnya, ayah meragkulku kembali. Pelukan yang sangat erat. Aku minta maaf
padanya. Dalam dekapannya kau terlelap.
***
Suara sholawat tarhim pertanda subuh
telah datang, diiringi kokokan ayam yang saling bersahutan menggema di
lorong-lorong telingaku. Ku temukan diriku dalam posisi berbaring di atas
kasur. Mataku sembab oleh air mata. Aku tersadar bahwa aku baru saja bermimpi.
Tiba-tiba saja aku kembali terngiang oleh perkataan ayah tentang ibu. Aku
bangkit. Melihat bayanganku di dalam cermin yang diterpa sinar lampu ruang
tengah yang sudah menyala. Ibu. Aku beranjak dari tempat tidur. Ku cari ibu di
kamarnya. Suara adzan telah menggema. Saling bersahutan dengan tiga musholla
lain di dalam kampung, seperti yang lalu. Perlahan ku temukan ibu di ruang ibadah
tengah sujud dalam khusyuk nikmat pertemuan dengan sang Pencipta. Lama ia dalam
posisi itu, setelah kemudian ia selesai dan menoleh ke arahku yang sedari tadi
memperhatikannya dalam sesal. Ia tersenyum lantas memanggilku. Aku mendekatinya
dan memeluknya erat-erat. Aku meminta maaf atas segala tingkahku yang
menyakitinya. Aku kembali meangis, kali ini dalam dekapan ibu yang begitu hangat.
Aku memeluknya seakan aku tak mau lagi kehilangan satu-satunya orang berharga
di dunia ini. sesalku tak terkira, syukurku tak terhingga karena memiliki sosok
wanita penyayang, yang sempat ku lawan inginnya. Tapi aku telah berubah melalui
peristiwa pagi buta itu. Subuh menjadi saksi bagaimana aku tumpahkan berjuta
rasa sesalku pada ibu. Aku merasa seperti manusia tak berguna di muka bumi ini.
tanpa ibu, aku bukan siap-siapa lagi. Dia menjadi pelindung bagiku di saat
orang lain berpikir negative tentang aku yang dulunya begajulan. Hari baru
telah dimulai. Terhitung sejak subuh tadi. Jum’at raya menyambut hati yang
baru. Hati yang dulu sempat mati cahayanya. Kini, ia terisi lagi oleh dua
cahaya terang yang menerpa lorong-lorongnya yang gelap. Dua cahaya itu seakan menjadi
spirit tak terkalahkan tuk menantang dunia yang kian bergejolak.
***
Juandi MAPALA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar