Ayah - LPM Pena Kampus

Goresan Penamu Runtuhkan Tirani

Breaking

Jumat, 27 September 2013

Ayah

Suara gemericik air yang jatuh dari dalam kamar mandi di pagi buta itu membangunkanku. Memaksaku membuka katup mata yang terasa luar biasa berat. Perasaan kantuk yang teramat sangat di seluruh tubuh terusik. Ku buka mata. Ku tatap langit-langit kamar, yang terlihat hanya gelap. Ku raba-raba permukaan kasur bermotif Real Madrid untuk mencari handphone yang senantiasa menemaniku menghabiskan berjam-jam untuk saling bertatapan. Masih pagi buta, jam lima kosong dua. Suara sholawat tarhim dari speaker masjid bergema. Saling bersahutan dengan tiga musholla lain yang ada di dalam kampung. Ku tutup kembali mata. Mencoba perbaiki lagi tidurku yang terusik. Sekejap, aku kembali ke dunia mimpi, tinggalkan kewajiban.
***
Kelopak mataku terasa berat. Terasa ada cahaya berat yang menusuk mataku. Seberkas cahaya masuk menerpa. Perlahan ku buka mata. Terang telah menguasai pagi itu. Aku segera bangkit, menyingkirkan guling panjang dalam dekapan. Menyambar handuk yang tergantung di samping pintu. Lalu bergegas ke kamar mandi. Byuurr. Air segar mengguyur seluruh tubuh. Dingin. Segar terasa. Dalam angan, perlahan namun pasti. Nafsu menguasaiku. Tak pernah terbersit rasa bersalah ataupun berdosa. Padahal aku telah meninggalkan kewajibanku sebagai seorang muslim. Dulu, saat ayahku masih hidup, dia selalu mengingatkanku untuk jangan sekali-sekali meninggalkan sholat. Terutama sholat isya’dan subuh. Namun, waktu yang bergulir telah mengubahku menjadi sosok yang menentang. Aku menentang segala macam aturan. Aku menjadi sangat benci  dengan aturan. Hidup aku jalani sesuai dengan kemauan dan keinginanku. Tak ada yang membatasiku. Bahkan ibuku sekalipun. Kehilangan seorang ayah sangat menyakitkan, kawan. Dia adalah sosok paling penting dalam hidupku. Dia segalanya bagiku. Nasehat-nasehatnya lenyap terkubur bersama kenangan-kenangan yang perlahan lenyap memudar tertiup angin waktu yang semakin jauh meninggalkannya. Tanpa kusadari aku telah menjadi manusia pemberontak. Malas. Bebas. Aku. Inilah aku. Tak ada yang bisa mengubahku. Tidak ada hak orang lain melarangku lakukan kebebasan.
***
Di kampus, aku jadi mahasiswa kunang-kunang. Kuliah nangkring dan kuliah nangkring. Aku jarang mengikuti mata kuliah. Aku bosan dengan suara aneh dari dosen-dosen yang sok tahu tentang teori-teori sialan itu. Setiap hari aku dijejali oleh teori-teori mentah tanpa ada praktik sedikitpun. Seburuk dan semalas-malasnya diriku aku masih bisa merasakan kehampaan dalam sistem pendidikan saat ini. Mungkin Tuhan telah mengaturnya. Bukankah seorang manusia itu merupakan mahluk paling sempurna dalam hal penciptaannya? Heh, mungkin aku juga orang yang lebih sok tahu daripada para dosen itu. Kawan, kisah manusia begajulan itu tak selamanya berantakan dan menyedihkan. Sepahit-pahitnya kopi masih ada gula yang memaniskannya meski ia berwarna hitam. Begitu pula aku. Hidup ini indah jika kita menjalaninya dengan sabar dan ikhlas. Mudah sekali berucap seperti itu. Tapi aku belum bisa menerima kepergian ayah. Ada rasa tak terima dengan hidup ini. entahlah. Aku manusia yang ingin hidup bebas tanpa melihat ke belakang lagi. Tapi memori otakku tak bisa melupakannya. Tentu saja. Aku takkan melupakan ayah. Sekali lagi, dia adalah segalanya bagiku. Aku menyesal. Kenapa saat itu aku belum mengerti apa-apa? Seandainya aku seperti saat ini, mungkin aku bisa menahan kepergian ayah oleh virus sialan itu. Ah, aku baru saja berucap tak kan melihat ke belakang lagi. Manusia. Jarang ada yang bisa memegang janjinya. Sering tergoda oleh ludahnya sendiri. Ingin menelan lagi apa yang telah ia ucapkan. Serakah. Tamak. Dan sebagainya. Jika kalian seperti itu, kawan, bagaimana nafsu merenggut hati kalian. Bagaimana manusia itu akan dibutakan oleh dunia. Hatinya telah mati. Begitulah manusia yang telah jauh meninggalkan Tuhannya. Jangan seperti ceritaku ini kawan. Jangan sekali-sekali.
***
Terlepas dari sifat burukku, ternyata hati manusia itu tercipta hanya sebelah keping saja. Tentu. Ini sebuah cerita gula yang tercampur dengan hitamnya kopi kehidupan yang kemudian disatukan oleh air hati seorang manusia, manis. Campuran aneh itu membentuk satu rasa, puluhan, ratusan, atau bahkan mungkin berjuta rasa yang sulit dijelaskan. Sungguh Tuhan itu Maha Memberi kawan. Aku yang begajulan ini saja bisa mendapatkan anugerah sebagus dan seindah ini. Maka apa salahnya kita bersyukur? Lebih tepatnya, apa salahnya kita berucap terima kasih? Aaah, aku jadi seperti dosen-dosen yang sok tahu itu. Tak apa lah. Jadi, begitulah kisah hitamku yang dipenuhi kekalutan itu mulai menemukan titik terang cahaya kehidupan yang sesungguhnya. Hatiku terjatuh dan terdampar pada sesosok bidadari berwujud manusia yang bernama wanita. Aduhai, rasanya itu seperti terjun dari atas tebing menuju ke dalam lembah yang begitu dalam. Kemudian diterpa tiupan angin kehidupan yang menyejukkan dada. Kemudian lagi terhampar di atas rerumputan hijau yang ditumbuhi bunga-bungaan beraneka warna dan aroma. Ajaibnya lagi, ia seperti energi yang terus hidup tak kan mati meski terhempas deburan ombak yang begitu keras. Diterjang badai yang begitu kuat, dihujam oleh pedang yang begitu tajam. Semuanya tak mempan! Kau tahu kawan? Ia lah cinta. Kata berjuta makna dan rasa, serta berjuta definisi tentangnya. Aku seperti hidup kembali olehnya. Amboi, sungguh luar biasa anugerah ini. Semakin lama rasa itu kian besar dan tak tertahankan. Seiring tumbuh dan berkembangya ia menjadi berbagai macam rasa yang perlahan juga mengubah hidupku. Aku jadi rajin ke kampus. Rajin mengerjakan tugas. Dosen-dosen terlihat seperti orang yang tidak lagi sok tahu. Sosok itu menjelma menjadi pusat energi hati yang terus mendorongku melakukan hal-hal yang positif.
***
Sampai suatu ketika aku tak pernah lepas dari gerak tubuhnya. Dia selalu terbayang dalam otak. Dan ini membuatku menjadi serba salah di depannya. Padahal aku satu jurusan dengannya. Bodohnya, aku belum tahu namanya. Aneh bukan? Mungkin karena aku jarang masuk kuliah makanya seperti ini. Bukan mungkin, tapi memang begitu. Aku malas, sedikit. Tapi itu dulu sebelum aku menyadari betapa istimewanya sosok yang selama ini di sekitarku. Aku jadi rindu dengan kampus yang di dalamnya terisi oleh sosok bidadari kehidupan yang senantiasa memberi energi penyemangat. Sedikit cerita tentangnya, dia gadis berjilbab tidak berkerudung. Jilbabnya yang lebar menutupi seluruh badannya. Wajahnya, ah, teduh dan tenang. Dia aktif sebagai akitvis dakwah di kampus. Aku sangat malu karena rasa ini tumbuh pada sosok yang begitu kontras dengan keadaanku. Aku penjahat hati, dia bidadari bumi. Seperti yang ku bilang tadi. Dia sumber energi bagi hatiku. Setiap malas melanda, sosoknya terbayang dengan sendirinya membunuh rasa malas, kemudian menjadi penyemangat tak terelakkan. Ya sudahlah. Aku tak mempermasalahkan statusku dengannya. Bukankah cinta itu tak bersyarat? Tentu saja.
***
Suatu pagi, sekitar pukul delapan hari kamis pagi, di kampus, aku melintas ke kantin hendak sarapan. Aku berjalan melewati musholla. Tanpa sengaja aku menoleh ke arah musholla. Sontak bola mataku yang cekung menatap pada sosok yang tak asing lagi. Keanehan terjadi lagi, kawan. Aku mengurungkan niatku sarapan, ku beranikan diriku menghampirinya. Statusku sebagai begajulan aku buang jauh-jauh. Kini saatnya keberanianku harus dikerahkan. Aku tak tahan lagi dengan rasa ini. Dia tampak baru keluar dari musholla. Wajahnya yang teduh lembab oleh basuhan air wudhu. Ah, aku tak tahan melihatnya. Ku tundukkan wajah sambil berjalan tegas ke arahnya yang sedang duduk memasang sepatunya. Langakh kakiku terhenti tepat di depannya. Lantas aku ulurkan tanganku hendak berkenalan. Wajahnya yang belum sempat menoleh ke arahku tiba-tiba terkejut melihatku tengah berdiri di depannya dengan tangn kanan terulur ke arahnya. Gak sopan nih. Alis matanya yang hitam miring ke sela-sela ujung atas hidungnya. Muka teduhnya memerah. Aku semakin gak sopan. Beberapa detik lamanya aku berdiri dalam diam. Jadi patung dah tuh. Hingga detik yang kesekian kalinya, bibirnya lantas menari dan mengeluarkan sebait kata yang bersuara,”aku Asma”, kemudian ia bergegas berlalu meninggalkanku. Aku heran. Apa dia sombong? Ah, ku buang ajuh-jauh pikiran negatif tentangnya. Tidak mungkin gadis se-alim dia bersikap sombong begitu. Mungkin, kelakuan berani yang konyol ini menyebabkannya bertingkah seperti itu. Sudahlah, aku masih hidup, hari ini masih kamis, dunia belum kiamat, perjuanganku pun belum tamat, karena besok masih ada hari jum’at, so, semangaaattt!!!

***
Seperti biasa, aku pulang kuliah sore hari. Sholat Dzuhur terlewat begitu saja. Begitupun sholat Ashar. Padahal itu kewajiban dalam agama. Setan telah mengikat erat jiwaku oleh tali kemalasan sehingga gerak ragaku selalu terhalang. Rumahku biasa saja. Terisi oleh dua orang, aku dan ibu. Ibu tak pernah ku buat bangga. Ia selalu menjadi objek keluhanku. Terkadang aku sangat marah kemudian menumpahkan amarah ke ibu. Huh, sungguh kejam ternyata diri ini kawan. Aku sedari kecil memang selalu dimanja oleh ayahku. Tapi tak jarang juga dia mengajarkanku untuk selalu berbakti pada kedua orang tua. Tapi apa yang selama ini ku lakukan malah menyakiti hati mereka, terutama ibu. Terkadang dalam angan aku menyesal. Namun, apa daya? Mungkin saat ini ayah akan marah dengan tingkahku yang begajulan ini. Maafkan aku ayah. Tanpa berlama-lama aku hempaskan tubuhku di atas kasur. Bruuk! Aku teramat kelelahan hari ini oleh tugas-tugas yang semakin menggunung. Secepat kedipan mata aku terlelap dalam keheningan. Dalam alam bawah sadar aku temukan sosok yang tidak asing merangkulku. Tubuhnya bersinar. Mataku terpejam karena silaunya sinar itu. Aku mencoba sipitkan mataku berusaha mengenalinya. Hah! Ini ayah. Perlahan aku ambruk dalam peluknya. Aku pegang tubuhnya yang kini sama tingginya denganku. Dia tersenyum sambil mengelus-elus kepalaku. Aku rindu hal ini. Kemudian timbul pertanyaan dalam benakku. Apa ini mimpi? Kami berdiri di tengah ruang tanpa batas. Hanya warna putih terhampar sejauh pandangan mata. Aku segera melepas pelukan ayah. Aku mengeluh padanya tentang kerasnya dunia setelah kepergiannya. Aku mengeluh bagaimana sulitnya hidupku selama ini tanpanya. Aku ceritakan semua kepahitan hidupku. Semuanya. Setelah itu dia hanya tersenyum. Wajahnya sangat teduh. Aku teringat degan Asma. Wajah teduh ini begitu khas. Dalam hening yang tidak ada suara kecuali suara isak keluhku padanya. Dia bersuara setelah aku lama hanyut dalam sedihku, “Anakku. Ibumu. Jaga dia baik-baik. Jiwa ayah ada pada ibumu. Selama ini kamu mengabaikannya. Tidak mempedulikannya. Tidak pernah mengerti perasaannya. Padahal, kamu tidak pernah tahu betapa setiap malam ia berlinang air mata mendoakan kebaikan untukmu. Tubuhnya semakin melemah karena lelah memikirkanmu. Hatinya tetap teguh bersabar mendengar ocehan-ocehanmu. Kenapa kamu tidak pernah menyadari itu? Kamu hanya memikirkan dirimu sendiri. Setiap malam, bahkan saat kamu lupa dengannya, namamu tak pernah lepas dalam bait-bait doanya. Kamu terlalu menganggap ayah segalanya. Kamu tidak sadar, mungkin sudah lupa tidak ada yang abadi di dunia ini. Bahkan ayah. Anakku, sadarlah. Minta maaf pada ibumu. Tutupi luka hatinya yang selama ini tersayat oleh kata-kata mu. Besarkan hatinya bahwa dia memiliki anak yang selalu ingat ibunya. Teguhkan hatinya yang selama ini terombang ambing kerasnya tingkah lakumu. Yakinkan ia tidak sendirian, karena masih ada anak yang senantiasa menemaninya dalam kesendirian. Jangan tunggu penyesalan sampai ia menyusul ayah. Ayah percaya, kamu anak yang baik. Bergegaslah obati rasa khawatir ibumu. Karena kasih sayang seorang ibu abadi sepanjang masa.” Mendengar perkataan ayah, hatiku bergetar. Memikirkan ibu yang selama ini aku abaikan begitu saja. Aku menyesal telah memperlakukannya seperti itu. Aku menangis sejadi-jadinya. Tersungkur berlinang air mata. Dengan senyum teduhnya, ayah meragkulku kembali. Pelukan yang sangat erat. Aku minta maaf padanya. Dalam dekapannya kau terlelap.

***
            Suara sholawat tarhim pertanda subuh telah datang, diiringi kokokan ayam yang saling bersahutan menggema di lorong-lorong telingaku. Ku temukan diriku dalam posisi berbaring di atas kasur. Mataku sembab oleh air mata. Aku tersadar bahwa aku baru saja bermimpi. Tiba-tiba saja aku kembali terngiang oleh perkataan ayah tentang ibu. Aku bangkit. Melihat bayanganku di dalam cermin yang diterpa sinar lampu ruang tengah yang sudah menyala. Ibu. Aku beranjak dari tempat tidur. Ku cari ibu di kamarnya. Suara adzan telah menggema. Saling bersahutan dengan tiga musholla lain di dalam kampung, seperti yang lalu. Perlahan ku temukan ibu di ruang ibadah tengah sujud dalam khusyuk nikmat pertemuan dengan sang Pencipta. Lama ia dalam posisi itu, setelah kemudian ia selesai dan menoleh ke arahku yang sedari tadi memperhatikannya dalam sesal. Ia tersenyum lantas memanggilku. Aku mendekatinya dan memeluknya erat-erat. Aku meminta maaf atas segala tingkahku yang menyakitinya. Aku kembali meangis, kali ini dalam dekapan ibu yang begitu hangat. Aku memeluknya seakan aku tak mau lagi kehilangan satu-satunya orang berharga di dunia ini. sesalku tak terkira, syukurku tak terhingga karena memiliki sosok wanita penyayang, yang sempat ku lawan inginnya. Tapi aku telah berubah melalui peristiwa pagi buta itu. Subuh menjadi saksi bagaimana aku tumpahkan berjuta rasa sesalku pada ibu. Aku merasa seperti manusia tak berguna di muka bumi ini. tanpa ibu, aku bukan siap-siapa lagi. Dia menjadi pelindung bagiku di saat orang lain berpikir negative tentang aku yang dulunya begajulan. Hari baru telah dimulai. Terhitung sejak subuh tadi. Jum’at raya menyambut hati yang baru. Hati yang dulu sempat mati cahayanya. Kini, ia terisi lagi oleh dua cahaya terang yang menerpa lorong-lorongnya yang gelap. Dua cahaya itu seakan menjadi spirit tak terkalahkan tuk menantang dunia yang kian bergejolak.


***

Juandi MAPALA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar