(Sumber: Pena Kampus)
Tajuk
Di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mataram, riuh itu kembali hadir. Tanggal 16 Agustus 2025, Auditorium M. Yusuf Abu Bakar berubah menjadi panggung warna: spanduk-spanduk berbaris laksana bendera perang, orasi bergema memenuhi ruang, dan tiap organisasi mahasiswa melangkah maju, menampilkan wajahnya di hadapan para pendatang baru. Ormawa Festival atau mungkin sebut saja pesta rakyat yang kembali menjadi pesta pengenalan, sekaligus ajang unjuk diri.
Di atas panggung, Raja dan Perdana menteri berdiri tegak. Mereka mengucapkan tugas, menyebut fungsi, dan melantunkan visi yang mereka emban. Namun, gema yang meluncur lewat pengeras suara seringkali berbeda dengan gema yang dirasakan di ruang kelas atau di balik meja administrasi. Janji tentang keberpihakan, tentang tangan yang akan selalu terbuka untuk mahasiswa, kerap tidak berjumpa dengan kenyataan di lapangan. Mahasiswa masih bergulat sendiri dengan persoalan akademik, terjebak di lorong-lorong birokrasi, bertanya: di mana suara yang dulu dijanjikan?
Orasi di atas panggung memang memikat—panas, berapi-api, seolah ada bara yang menyala di dada mereka. Kata “perubahan” terulang-ulang, “perjuangan” berkumandang, “komitmen” ditegaskan dengan nada penuh keyakinan. Namun apa arti bara jika hanya menjadi api kembang api yang indah sesaat, lalu padam tanpa jejak? Pesta rakyat ini akan terus bergulir setiap tahun, tetapi rakyat mendambakan sesuatu yang lebih: kehadiran nyata, bukan sekadar gema.
Bendera kerajaan tidak cukup menjadi simbol di spanduk, tidak cukup berdiri gagah dalam forum formal. Ia seharusnya menjadi tangan yang terulur saat mahasiswa butuh, menjadi jembatan ketika aspirasi ingin menyeberang, menjadi cahaya ketika birokrasi terasa gelap. Raja dan Perdana menteri bukan sekadar simbol, melainkan harapan yang harus dihidupkan dalam keseharian rakyatnya.
Maka pesta rakyat, di balik gegap gempita dan cahaya lampu sorot, seharusnya menjadi pengingat. Bahwa dari sorak dan tepuk tangan, dari retorika dan sumpah di panggung, akan lahir tanggung jawab yang lebih besar: menghadirkan organisasi yang benar-benar berpihak. Sebab rakyat yang baru bukan hanya penonton yang menunggu janji, mereka adalah generasi yang berharap, bahwa suara yang lantang itu kelak akan berubah menjadi tindakan yang nyata. (tim redaksi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar