Jalan Menikung Dalam Mencari Kebenaran - LPM Pena Kampus

Goresan Penamu Runtuhkan Tirani

Breaking

Kamis, 17 Oktober 2013

Jalan Menikung Dalam Mencari Kebenaran

Judul buku : The end of modernity: Nihilisme dan Hermeneutika dalam Budaya Posmodern
Penulis : Gianni Vattimo
Penerbit : Sadasiva Yogyakarta; 2003
Tebal : viii + 285 halaman


Tuhan telah mati tapi manusia tidak melakukannya sendiri. Sepertinya ini hanya sepotong lelucon tapi ia pun memiliki arti yang lebih dari itu karena ini sekaligus mengandung perbedaan antara ateisme kontemporer dan ateisme klasik. Perbedaan semacam ini justru terdapat pada fakta makroskopik bahwa penafian Tuhan atau perwujudan kematiannya sekarang ini tidak dapat mengantarkan pada penyesuaian ulang manusia terhadap hakikat dirinya yang terasing melalui pemujaan Tuhan.

Cerita duka kematian Tuhan ini mengemuka seiring waktu dengan rasa frustasi yang dimiliki masunusia atas janji-janji manis yang dikomandangkan filsafat modern sebagai sandaran kebahagiaan dengan berbagai tawaran-tawaran kemajuan dalam ilmu pengetahuan. Di samping itu, filsafat modern dituding menebarkan dusta bahwa rumah Ada (kebenaran absolut) bisa diakses oleh siapa saja sepanjang ia mau menggunakan rasionya dengan benar, dengan melawati prosedur-prosedur ilmiah.

Atas janji-janji filsafat modern itu, alih-alih membawa nalar manusia berjumpa dengan Tuhan yang transenden itu, malahan membawa malapetaka bagi umat manusia disebabkan peperangan, penaklukan, penindasan, dan lain-lain, disebabkan oleh hasrat penguasaan subjek atas objek. Oleh sebab itu, manusia perlu mengubah cara pandangnya selama ini, kebenaran ternyata tidak terletak pada kelihaian menggunakan akal dengan prosedur yang benar; kebenaran mesti dipertanyakan ulang. Momen titik balik tatkala manusia tak mampu bercumbu dengan Tuhan dan mengembalikan tampuk penguasa jagad raya pada kekuasaan subyek manusia inilah yang disebut-sebut kemudian dengan akhir sejarah. Itulah barangkali yang menyebabkan Vattimo mengisahkan risalah filsafat ini dalam bukunya yang berudul The End of Modernity. Orang-orang kemudian menyebutnya sebagai era posmodern.

Lalu apa yang menarik dari momen akhir sejarah ini? Dalam bukunya Vattimo mencoba memadukan kesimpulan-kesimpulan yang telah dicapai oleh pemikir macam Nietzshe dan Heideger dan beberapa pemikir posmodern, semisal Gadamer dan lainya. Dalam resensi ini saya tidak akan panjang lebar menyasar bagaimana Vatimmo mengulas tentang makna dan implikasi makna dari posmodern itu sendiri, tetapi saya akan lebih memokuskan pada pembahasan Vatimmo tentang terjatuhnya manusia pada nihilisme dan bangkitnya hermeneutika sebagai semacam suluh untuk menuai kebenaran.

Nihilisme

Nihilisme sejati yakni suatu pandangan filsafat yang mengakui bahwa walau nilai-nilai tertinggi telah musnah dan Tuhan turun dari pentas, kita mesti terus berupaya melawan upaya metafisis apapun dalam menemukan fondasi lain untuk menggantikan tempatnya, bagi Vattimo, nihilis sejati adalah orang yang mengaku bahwa tidak ada lagi fondasi yang tersedia bagi pemikiran, tetapi pada saat yang sama mengakui bahwa tak ada satupun yang dapat diolah sebagai fondasi melalui serangkai tindakan kehendak, bahkan tidak pula kehendak kekuasaan itu sendiri.

Dalam pada itu, bagi Neitzhe, nihilisme dapat diikhtisarkan dengan kematian Tuhan, atau dengan devaluasi nilai-nilai tertinggi. Sementara, bagi Heideger, nihilisme berarti reduksi ada menjadi nilai. Dengan demikian, nihilisme dalam artian Heideger ialah klaim yang tak absah bahwa Ada (Being), kendati hadir secara mandiri, bebas dan fondasional, berada dalam kekuasaan subyek. Bagaimanakah takrif ini tumbuh dengan argumen-argumen Neitzsche berkenaan dengan kematian Tuhan dan devaluasi nilai-nilai tertinggi? Jawabannya terletak pada fakta bahwa bagi Neitzsche nilai-nilai juga belum hilang tout count: hanya nilai-nilai tukar tertinggi—yang pada intinya diungkapkan dengan nilai tertinggi, yaitu Tuhan—yang telah surut.

Bagi nihilsme sejati, bahkan pembubaran nilai-nilai agung tidak menandakan pembentukan atau penyesuaian ulang suatu situasi nilai dalam artian yang mantap dari istilah tersebut. Ia bukan merupakan penyesuaian ulang karena yang mubazir adalah apa saja yang tepat pada tempat pertama. Dunia telah menadi fabel, kata nietzsche.

Dengan segera kita akan menemukan contoh yang mengisbatkan bahwa di hadapan devaluasi nilai-nilai luhur dan kematian Tuhan, reaksi biasalah yang memantulkan seruan metafisika agung bagi yang lain, nilai  yang lebih benar (misalnya nilai subkultur atau budaya populer sebagai lawan dari budaya dominan, penolakan atas kanon sastra atau seni; dll). Dunia tatkala kebenaran menjadi fabel sesungguhnya adalah tempat pengalaman yang tidak lebih otentik daripada yang dirawarkan metafisika; pengalaman ini tidak lebih otetntik lantaran otentisitas—yang dipahami sebagai yang sesuai, atau sebagai penyesuaian ulang—dengan sendirinya timpas bersamaan dengan kematian Tuhan itu sendiri.

Kalau begitu, bukankah kita telah sampai pada krisis humanisme? Subsatansi dari krisis humanisme adalah kematian Tuhan, bukanlah kebetulan bahwa ia harus dimaklumatkan oleh Neitzsche, pemikir non-humanis radaikal pertama zaman kita.  Di samping itu jalinan antara krisis humanisme dan kematian Tuhan tampak paradoksal sekiranya kita menegaskan bahwa humanisme sebenarnya adalah suatu persprektif yang meletakkan manusia di pusat jagad raya dan menjadikannya penguasa Ada. Heidegger pun berpendapat demikian: kematian Tuhan, yang sekaligus merupakan puncak dan kesimpulan metafisika, juga adalah krisis humanisme.

Hermeneutika

Nihilisme bukan hanya mereduksi Ada menadi nilai, bukan Cuma merenggut tuhan dan manusia agar ia hengkang dari pusat jagad raya. Nihilime pun mengantarkan pada kehancuran kata puitis dalam sastra. Bagaiman bisa? Vattimo memprlihatkan bagaimana Heidegger membalik kata-kata yang pernah dilontarkan Stefan George:  Kein ding sei wo das Wort gebricht ‘ketika boleh jadi kata tidak memutuskan apa pun’.  Heidegger mengubahnya dengan hanya seolah membalik maknanya: ein “ist” ergibt sich wo das Wort zerbricht ‘sesuatu adalah muncul ketika kata tidak berhenti’. Oleh karena itu, ia tidak lagi berarti ‘bukan sesuati adalah ketika tidak ada kata, melainkan sesuatu adalah teradi ketika kata gagal’.  Sampai di sini, Ada (Being)/metefisika,  yang dapat dipahami sesungguhnya tak lain adalah bahasa.

Apa kaitan semua ini dengan kebenaran dan retoroka? Gadamer mengatakan bahwa kekuatan persuasi retoris, yang muatannya bersumber dari kesadaran kolektif dan tradisi, tidak hanya memberikan landasan bagi kemajuan sainsj tetapi lebih memperluas dirinya dengan setiap penemuan ilmiah untuk menegaskan kembali haknya atas sains dan mengadaptasikan hal itu pada dirinya. Hanya retorika dan hermeneutika ketika dipahami seperti ini, membuat sains sebagai faktor sosial kehidupan. sampai di sini kita bisa mengatakan bahwa momen kebenaran bagi sains adalah bukan terutama momen verifikasi pernyataan-pernyataan atau hukum-hukum yang dicetuskannya, sebaliknya ia tercapai karena hubungan kembali dengan kesadaran kolektif.

Di titik nin retorika dan hermeneutika—yaitu logos/kesadaran kolektif—menegaskan kembali haknya atas diskursus demonstratif sains sebagai radikalisasi atas watak historis sains itu sendiri secara hakiki. Watak sains, dalam arti yang murni formal, dapat dilihat dalam ketergantungannya dalam efektif paradigma-paradigma yang senantiasa historis dan berubah. Argumentasi ini sekaligus seakan menyadarkan kita bahwa hipotesi-hipotesis Khun (dalam ilmu pengetahuan) bukanlah hipotesis yang mengejutkan, atau setidaknya gagasan hermeneutis tentang sains dapat secara lebih sadar merujuk padanya.

Retorika dan hermeneutika, dengan demikian, telah menemukan belang (baca: watak) sains yang atauran-atauran dan landasan-landasannya berada di ranah publik tertentu secara historis dan kultural. Kebenaran sebuah penemuan ilmiah tidak terletak pada daya verifikasi yang dapat dikontrol dalam aturan-aturan yang dapat ditentukan secara publik, yang secara ideal dapat diterapkan semua orang. Sains terus berupaya untuk menghubungkan kembali aturan-aturan penata verifikasi dalam disiplin ilmiah yang berbeda dengan ranah publik, yakni logos/bahasa umum, yang secara terus menerus dijalin dan dijalin ulang dalam istilah-istilah retoris dan hermeneutis.

Pada akhirnya kita akan melihat bagaimana Gadamer melukiskan bukti persuasif yang diberikan oleh muatan logos/kesadaran kolektif di dalam sinaran yang indah, yang benar dan yang apik, sebuah pengalaman, yang pada akhirnya, merupakan pengalaman yang terajdi dalam masing-masng individu. Setelah Tuhan mati, setikadnya, manusia masih punya hiburan: jalan hermeneutika.


Oleh: Ahmad Sirulhaq (Dosen Bahasa Indonesia FKIP Unram)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar