Penulis : Gianni Vattimo
Penerbit : Sadasiva Yogyakarta; 2003
Tebal : viii + 285 halaman
Tuhan telah mati
tapi manusia tidak melakukannya sendiri. Sepertinya ini hanya sepotong lelucon
tapi ia pun memiliki
arti yang lebih dari itu karena ini sekaligus mengandung perbedaan antara
ateisme kontemporer dan ateisme klasik. Perbedaan semacam ini justru terdapat
pada fakta makroskopik bahwa penafian Tuhan atau perwujudan kematiannya
sekarang ini tidak dapat mengantarkan pada penyesuaian
ulang manusia terhadap hakikat dirinya yang terasing melalui pemujaan Tuhan.Tebal : viii + 285 halaman
Cerita duka
kematian Tuhan ini mengemuka seiring waktu dengan rasa frustasi yang dimiliki
masunusia atas janji-janji manis yang dikomandangkan filsafat modern sebagai
sandaran kebahagiaan dengan berbagai tawaran-tawaran kemajuan dalam ilmu
pengetahuan. Di samping itu, filsafat modern dituding menebarkan dusta bahwa
rumah Ada (kebenaran absolut) bisa diakses oleh siapa saja sepanjang ia mau
menggunakan rasionya dengan benar, dengan melawati
prosedur-prosedur ilmiah.
Atas janji-janji
filsafat modern itu, alih-alih membawa nalar manusia berjumpa dengan Tuhan yang
transenden itu, malahan membawa malapetaka bagi umat manusia disebabkan
peperangan, penaklukan, penindasan, dan lain-lain, disebabkan oleh hasrat
penguasaan subjek atas objek. Oleh sebab itu, manusia perlu mengubah cara
pandangnya selama ini, kebenaran ternyata tidak terletak pada kelihaian
menggunakan akal dengan prosedur yang benar; kebenaran mesti dipertanyakan
ulang. Momen titik balik tatkala manusia tak mampu bercumbu dengan Tuhan dan
mengembalikan tampuk penguasa jagad raya pada kekuasaan subyek manusia inilah yang disebut-sebut kemudian dengan
akhir sejarah. Itulah barangkali yang menyebabkan Vattimo mengisahkan risalah
filsafat ini dalam bukunya yang berudul The End of Modernity. Orang-orang kemudian menyebutnya sebagai era
posmodern.
Lalu apa yang
menarik dari momen akhir sejarah ini? Dalam
bukunya Vattimo mencoba memadukan kesimpulan-kesimpulan yang telah dicapai oleh
pemikir macam Nietzshe dan Heideger dan beberapa pemikir posmodern, semisal
Gadamer dan lainya. Dalam resensi ini saya tidak akan panjang lebar menyasar
bagaimana Vatimmo mengulas tentang makna dan implikasi makna dari posmodern itu
sendiri, tetapi saya akan lebih memokuskan pada pembahasan Vatimmo tentang terjatuhnya
manusia pada nihilisme dan bangkitnya hermeneutika sebagai semacam suluh untuk
menuai kebenaran.
Nihilisme
Nihilisme sejati
yakni suatu pandangan filsafat yang mengakui bahwa walau nilai-nilai tertinggi
telah musnah dan Tuhan turun dari pentas, kita mesti terus berupaya melawan
upaya metafisis apapun dalam menemukan fondasi lain untuk menggantikan
tempatnya, bagi Vattimo, nihilis sejati adalah orang yang mengaku bahwa tidak
ada lagi fondasi yang tersedia bagi pemikiran, tetapi pada saat yang sama
mengakui bahwa tak ada satupun yang dapat diolah sebagai fondasi melalui
serangkai tindakan kehendak, bahkan tidak pula kehendak kekuasaan itu sendiri.
Dalam pada itu, bagi
Neitzhe, nihilisme dapat diikhtisarkan dengan kematian Tuhan,
atau dengan devaluasi nilai-nilai tertinggi. Sementara, bagi
Heideger, nihilisme berarti reduksi ada menjadi nilai. Dengan demikian,
nihilisme dalam artian Heideger ialah klaim yang tak absah bahwa Ada (Being), kendati hadir secara mandiri,
bebas dan fondasional, berada dalam kekuasaan subyek. Bagaimanakah takrif ini tumbuh
dengan argumen-argumen Neitzsche berkenaan dengan kematian Tuhan dan devaluasi nilai-nilai tertinggi? Jawabannya terletak
pada fakta bahwa bagi Neitzsche nilai-nilai juga belum hilang tout count: hanya nilai-nilai tukar
tertinggi—yang pada intinya diungkapkan dengan nilai tertinggi, yaitu Tuhan—yang
telah surut.
Bagi nihilsme sejati,
bahkan pembubaran nilai-nilai agung tidak menandakan pembentukan atau penyesuaian ulang suatu situasi nilai dalam artian yang mantap dari
istilah tersebut. Ia bukan merupakan penyesuaian
ulang karena yang mubazir adalah apa saja yang tepat pada tempat pertama. Dunia
telah menadi fabel, kata nietzsche.
Dengan segera
kita akan menemukan contoh yang mengisbatkan bahwa di hadapan devaluasi nilai-nilai
luhur dan kematian Tuhan, reaksi biasalah yang memantulkan seruan metafisika
agung bagi yang lain, nilai yang lebih benar (misalnya nilai
subkultur atau budaya populer sebagai lawan dari budaya dominan, penolakan atas
kanon sastra atau seni; dll). Dunia tatkala kebenaran menjadi fabel
sesungguhnya adalah tempat pengalaman yang tidak lebih otentik daripada yang dirawarkan metafisika; pengalaman ini
tidak lebih otetntik lantaran otentisitas—yang dipahami sebagai yang sesuai,
atau sebagai penyesuaian ulang—dengan sendirinya timpas bersamaan dengan
kematian Tuhan itu sendiri.
Kalau begitu,
bukankah kita telah sampai pada krisis humanisme? Subsatansi dari krisis
humanisme adalah kematian Tuhan, bukanlah kebetulan bahwa ia harus
dimaklumatkan oleh Neitzsche, pemikir non-humanis radaikal pertama zaman kita. Di samping itu jalinan antara krisis humanisme
dan kematian Tuhan tampak paradoksal sekiranya kita menegaskan bahwa humanisme
sebenarnya adalah suatu persprektif yang meletakkan manusia di pusat jagad raya
dan menjadikannya penguasa Ada. Heidegger pun berpendapat demikian: kematian Tuhan,
yang sekaligus merupakan puncak dan kesimpulan metafisika, juga adalah krisis
humanisme.
Hermeneutika
Nihilisme bukan
hanya mereduksi Ada menadi nilai, bukan Cuma merenggut tuhan dan manusia agar
ia hengkang dari pusat jagad raya. Nihilime pun mengantarkan pada kehancuran kata puitis dalam sastra. Bagaiman bisa?
Vattimo memprlihatkan bagaimana Heidegger membalik kata-kata yang pernah
dilontarkan Stefan George: Kein ding sei wo das Wort gebricht
‘ketika boleh jadi kata tidak memutuskan apa pun’. Heidegger mengubahnya dengan hanya seolah
membalik maknanya: ein “ist” ergibt sich
wo das Wort zerbricht ‘sesuatu adalah
muncul ketika kata tidak berhenti’. Oleh karena itu, ia tidak lagi berarti
‘bukan sesuati adalah ketika tidak
ada kata, melainkan sesuatu adalah
teradi ketika kata gagal’. Sampai di
sini, Ada (Being)/metefisika, yang dapat dipahami sesungguhnya tak lain
adalah bahasa.
Apa kaitan semua
ini dengan kebenaran dan retoroka? Gadamer mengatakan bahwa kekuatan persuasi
retoris, yang muatannya bersumber dari kesadaran kolektif dan tradisi, tidak
hanya memberikan landasan bagi kemajuan sainsj tetapi lebih memperluas dirinya
dengan setiap penemuan ilmiah untuk menegaskan kembali haknya atas sains dan
mengadaptasikan hal itu pada dirinya. Hanya retorika dan hermeneutika ketika
dipahami seperti ini, membuat sains
sebagai faktor sosial kehidupan. sampai di sini kita bisa mengatakan bahwa
momen kebenaran bagi sains adalah bukan terutama momen verifikasi
pernyataan-pernyataan atau hukum-hukum yang dicetuskannya, sebaliknya ia
tercapai karena hubungan kembali dengan kesadaran kolektif.
Di titik nin
retorika dan hermeneutika—yaitu logos/kesadaran kolektif—menegaskan kembali
haknya atas diskursus demonstratif sains sebagai radikalisasi atas watak
historis sains itu sendiri secara hakiki. Watak sains, dalam arti yang murni
formal, dapat dilihat dalam ketergantungannya dalam efektif paradigma-paradigma
yang senantiasa historis dan berubah. Argumentasi ini sekaligus seakan
menyadarkan kita bahwa hipotesi-hipotesis Khun (dalam ilmu pengetahuan)
bukanlah hipotesis yang mengejutkan, atau setidaknya gagasan hermeneutis
tentang sains dapat secara lebih sadar merujuk padanya.
Retorika dan
hermeneutika, dengan demikian, telah menemukan belang (baca: watak) sains yang
atauran-atauran dan landasan-landasannya berada di ranah publik tertentu secara
historis dan kultural. Kebenaran sebuah penemuan ilmiah tidak terletak pada
daya verifikasi yang dapat dikontrol dalam aturan-aturan yang dapat ditentukan
secara publik, yang secara ideal dapat diterapkan semua orang. Sains terus berupaya
untuk menghubungkan kembali aturan-aturan penata verifikasi dalam disiplin
ilmiah yang berbeda dengan ranah publik, yakni logos/bahasa umum, yang secara
terus menerus dijalin dan dijalin ulang dalam istilah-istilah retoris dan
hermeneutis.
Pada akhirnya
kita akan melihat bagaimana Gadamer melukiskan bukti persuasif yang diberikan
oleh muatan logos/kesadaran kolektif di dalam sinaran yang indah, yang benar
dan yang apik, sebuah pengalaman, yang pada akhirnya, merupakan pengalaman yang
terajdi dalam masing-masng individu. Setelah Tuhan mati, setikadnya, manusia
masih punya hiburan: jalan hermeneutika.
Oleh: Ahmad Sirulhaq
(Dosen Bahasa Indonesia FKIP Unram)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar