Entah semenjak kapan
jargon bahwa mahasiswa adalah agent perubahan (agent of change) melekat pada
diri mahasiswa. Namun dalam setipa momentum perubahan besar dalam tata kelola
pemerintahan indonesia dan beberapa negara di dunia memang melibatkan
mahasiswa. Ketika rezim orde lama runtuh organisasi kemahasiswaan terlibat dan
berperan aktif. Begitu pula pada saat keruntuhan rezim tangan besi Soeharto,
mahasiswa terlibat aktif melakukan demonstrasi besar-besaran di setiap daerah.
Berbagai peristiwa tersebut menunjukkan bahwa memang mahasiswa layak diberikan
predikat agent of cahnge.
Namun pertanyaan yang
relevan untuk diajukan saat ini adalah, masih layakkah predikat agent of cahnge melekat pada mahasiswa?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, tulisan ini akan mencoba melakukan
refleksi historis dan akhirnya melakukan kontekstualisasi empiris terhadap
kondisii kemahasiswaan saat ini. Jika memang terjadi kemunduran dan penumpulan
terhadap daya kritis mahasiswa maka faktor apakah yang dominan menumpulkan dan
membonsai daya kritis tersebut?
Refleksi
Historis
Eksistensi gerakan
mahasiswa telah terintis jauh sebelum kemerdekaan. Sebagai dampak kebijakan
politik etis pemerintah hindia belanda dalam bidang pendidikan (edukasi),
beberapa pemuda pribumi menikmati akses pendidikan di beberapa sekolah di
Hindia belanda dan bahkan beberapa pemuda indonesia kuliah ke negeri Belanda di
eropa. Ini menjadi awal munculnya kelompok pribumi terpelajar yang menyadari
ketertindasan sebagai akibat langsung dari kolonialisme dan imprealisme.
Pada tahun 1908, 23
mahasiswa indonesia yang menuntut ilmu di universitas di belanda medirikan
sebuah wadah perkumpulan yang diberi nama indische
vereniging. Pada saat bersamaan di Indonesia berdiri pula organisasi
kepemudaan yang bernama budi oetomo yang kemudian diabadikan sebagai momentum
awal kebangkitan nasional. Upaya-upaya pergerakan kemerdekaan mulai bersemi
melalui budi uetomo. Organisasi ini kemudian berubah menjadi organisasi politik
guna merebut hati rakyat dan mendapatkan suara di majelis rakyat.
Pada masa awal
kemerdekaan, berbagai perguruan tinggi didirikan oleh pemerintah bersama-sama
beberapa tokoh pendidikan. Perlahan namun pasti jumlah masyarakat indonesia
yang mengenyam pendidikan tinggi bertambah. Sehingga pada pada orde lama
berkembang empat poros kekuatan utama yakni Soekarno, PKI, Angkatan darat, dan
mahasiswa. Drama politik yang tidak habis-habisnya yang diikuti dengan
kebijakan sukarno yang mentahbiskan politik sebagai panglima membuat nasib
rakyat kecil tidak dihiraukan.
Pasca pemberontakan
G-30-S/PKI (Partai Komunis Indonesia) pada tanggal 30 September 1965 telah
menimbulkan krisis kepemimpinan nasional yang berdampak buruk terhadap segala
aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Kondisi ini menjadi pemicu munculnya
gelombang ketidakpercayaan masyarakat, terutama gerakan-gerakan mahasiswa
terhadap kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan Presiden Ir. Sukarno dalam
menangani persoalan-persoalan politik, keamanan dan ekonomi pasca pemberontakan
G-30-S/PKI (Partai Komunis Indonesia). Menjelang akhir tahun 1965 pemerintah
membuat kebijakan mendevaluasikan rupiah dan menaikkan harga minyak bumi.
Kebijakan tersebut menyulut demontrasi besar-besaran dikalangan mahasiswa. Pada
tanggal 10 Januari 1966 Mahasiswa melancarkan tuntutan yang dikenal dengan nama
Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) meliputi: Pembubaran Partai
Komunis Indonesia (PKI); Retooling
Kabinet; Penurunan
Harga/Perbaikan Ekonomi.
Pada masa orde baru
ternyata keadaan tidak menjadi lebih baik. Kebijakan Soeharto yang mendewakan
pembangunan dan stabilitas mendorong terjadinya restriksi terhadap berbagai
hak-hak berkumpul dan berbicara. Dengan mengatasnamakan stabilitas Soerhato
mengekang elemen-elemen mayarakat sipil termasuk mahasiswa yang berbicara
kritis dan vokal atas kebijakan orde baru.
Kebijakan ekonomi orde
baru yang membuka kran bagi masuknya produk-produk asing membuat mahasiswa
serentak turun ke jalan. Salah satu aksi mahasiswa menolak liberalisasi ini
adalah pada tahun 1974 atau yang dikenal dengan peristiwa malari. Aksi ini
dimaksudkan untuk menolakn masuknya berbagai produk Jepang ke pasar Indonesia.
Salah seorang mahasiswa menjadi korban dalam peristiwa ini yakni Arif Rahman
Hakim. Gerakan ini berlanjut sampai tahun 1978 yang meminta presiden Soeharto
untuk mundur .
Peristiwa Malari
berujung penangkapan terhadap bebebrapa aktivis mahasiswa. Sejak itu Orde baru
menerapkan langkah-langkah untuk membungam gerakan mahasiswa. Mahasiswa
dilarang unuk berbicara tentang politik, tentang negara, tentang nasib rakyat.
Mahasiswa diasingkan dari wacana tentang politik dan kenegaraan (depolitisasi
mahasiswa). Setiap kegiatan dan aktivitas mahasiswa dikontrol oleh kampus sebagai perpanjangan tangan
negara.
Salah satu model
depolitisai mahasiswa adalah dengan mengandangkan mahasiswa di dalam kampus
saja melalui konsep normalisasi gerakan kampus/badan koordinasi mahasiswa
(NKK/BKK). Kedua konsep ini mengarahkan mahasiswa hanya untuk fokus kepada
dunia akademik semata dan menjauhkan mahasiswa dari segala bentuk aktifitas
politik karena dianggap akan membahyakan stabilitas nasional (rezim Soeharto).
Semenjak itu mahasiswa benar-benar hanya layaknya siswa sekolah yang hanya
belajar dan mengejar nilai.
Kondisi
Empiris
Pasca reformasi
gerakan mahasiswa justru seperti linglung. Mahasiwa kehilangan sosok musuh
bersama layaknya pada masa orde baru. Mahasiswa kemudian menjadi entitas yang
tak jauh berbeda dengan siswa. Pola berfikir mahasiswa masih mengadopsi pola
pikir ketika masih siswa. Akhirnya yang menjadi musuh utama gerakan mahasiswa
pada masa kini adalah mahasiswa itu sendiri.
Pola pelemahan
kritisme mahasiswa pada masa reformasi dilakukan dengan birokratis-sistematis.
Mahasiswa dibuat sibuk sengan aktifitas akademik mereka. Berlomba mengejar
nilai demi Indeksi Prestasi yang tinggi. Mahasiswa akhirnya terlepas dari
wacana-wacana tentang nasib rakyat dan hajat hidup orang banyak. Pragmatisme
melanda mahasiswa sehingga indikator ksuksesan hanya dilihat dengan prestasi
akademik.
Selain itu, mahasiswa
juga dilemahkan oleh hedonisme dan konsumerisme. Tempat-tempat tongkrongan dan
pusat perbelanjaan selalu penuh sesak dengan mahasiswa sementara ruang-ruang
diskusi membahas nasib rakyat sepi. Mereka tidak sadar, bahwa pada saat
bersamaan (khususnya mahasiswa PTN) hidup dari subsidisi yang berasal dari
pajak yang dibayarkan oleh rakyat.
Mahasiswa saat ini,
lebih mengenal artis korea dari pada pahlawan-pahlawan nasional. Kondisi ini
sepertinya akan terus berlanjut karena sistematisnya serangan yang digencarkan
oleh budaya-budaya populer ini. Jika terus dibiarkan seperti ini, bukan
mustahil masa depan mahasiswa indonesia akan semakin suram. Hanya menjadi
pembelajr-pembelajar pasif yang tidak sadar apa tujuan mereka berkuliah.
Mahasiswa seperti inilah kemudian yang dikatakan Rendra sebagai mahasiswa yang
asing di desa mereka sendiri. Karena mahasiswa sengaja menarik garis pemisah
antara kehidpan mereka dengan kehidupan sosial masyarakat.
Oleh: AHMAD Aprillah (Mantan Pemimpin Umum LPM Pena Kampus
2012-2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar