Melacak Geneologi Pelemahan Gerakan Mahasiswa - LPM Pena Kampus

Goresan Penamu Runtuhkan Tirani

Breaking

Kamis, 17 Oktober 2013

Melacak Geneologi Pelemahan Gerakan Mahasiswa

Entah semenjak kapan jargon bahwa mahasiswa adalah agent perubahan (agent of change) melekat pada diri mahasiswa. Namun dalam setipa momentum perubahan besar dalam tata kelola pemerintahan indonesia dan beberapa negara di dunia memang melibatkan mahasiswa. Ketika rezim orde lama runtuh organisasi kemahasiswaan terlibat dan berperan aktif. Begitu pula pada saat keruntuhan rezim tangan besi Soeharto, mahasiswa terlibat aktif melakukan demonstrasi besar-besaran di setiap daerah. Berbagai peristiwa tersebut menunjukkan bahwa memang mahasiswa layak diberikan predikat agent of cahnge.
Namun pertanyaan yang relevan untuk diajukan saat ini adalah, masih layakkah predikat agent of cahnge melekat pada mahasiswa? Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, tulisan ini akan mencoba melakukan refleksi historis dan akhirnya melakukan kontekstualisasi empiris terhadap kondisii kemahasiswaan saat ini. Jika memang terjadi kemunduran dan penumpulan terhadap daya kritis mahasiswa maka faktor apakah yang dominan menumpulkan dan membonsai daya kritis tersebut?

Refleksi Historis

Eksistensi gerakan mahasiswa telah terintis jauh sebelum kemerdekaan. Sebagai dampak kebijakan politik etis pemerintah hindia belanda dalam bidang pendidikan (edukasi), beberapa pemuda pribumi menikmati akses pendidikan di beberapa sekolah di Hindia belanda dan bahkan beberapa pemuda indonesia kuliah ke negeri Belanda di eropa. Ini menjadi awal munculnya kelompok pribumi terpelajar yang menyadari ketertindasan sebagai akibat langsung dari kolonialisme dan imprealisme.
Pada tahun 1908, 23 mahasiswa indonesia yang menuntut ilmu di universitas di belanda medirikan sebuah wadah perkumpulan yang diberi nama indische vereniging. Pada saat bersamaan di Indonesia berdiri pula organisasi kepemudaan yang bernama budi oetomo yang kemudian diabadikan sebagai momentum awal kebangkitan nasional. Upaya-upaya pergerakan kemerdekaan mulai bersemi melalui budi uetomo. Organisasi ini kemudian berubah menjadi organisasi politik guna merebut hati rakyat dan mendapatkan suara di majelis rakyat.
Pada masa awal kemerdekaan, berbagai perguruan tinggi didirikan oleh pemerintah bersama-sama beberapa tokoh pendidikan. Perlahan namun pasti jumlah masyarakat indonesia yang mengenyam pendidikan tinggi bertambah. Sehingga pada pada orde lama berkembang empat poros kekuatan utama yakni Soekarno, PKI, Angkatan darat, dan mahasiswa. Drama politik yang tidak habis-habisnya yang diikuti dengan kebijakan sukarno yang mentahbiskan politik sebagai panglima membuat nasib rakyat kecil tidak dihiraukan.
Pasca pemberontakan G-30-S/PKI (Partai Komunis Indonesia) pada tanggal 30 September 1965 telah menimbulkan krisis kepemimpinan nasional yang berdampak buruk terhadap segala aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Kondisi ini menjadi pemicu munculnya gelombang ketidakpercayaan masyarakat, terutama gerakan-gerakan mahasiswa terhadap kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan Presiden Ir. Sukarno dalam menangani persoalan-persoalan politik, keamanan dan ekonomi pasca pemberontakan G-30-S/PKI (Partai Komunis Indonesia). Menjelang akhir tahun 1965 pemerintah membuat kebijakan mendevaluasikan rupiah dan menaikkan harga minyak bumi. Kebijakan tersebut menyulut demontrasi besar-besaran dikalangan mahasiswa. Pada tanggal 10 Januari 1966 Mahasiswa melancarkan tuntutan yang dikenal dengan nama Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) meliputi: Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI); Retooling Kabinet; Penurunan Harga/Perbaikan Ekonomi.
Pada masa orde baru ternyata keadaan tidak menjadi lebih baik. Kebijakan Soeharto yang mendewakan pembangunan dan stabilitas mendorong terjadinya restriksi terhadap berbagai hak-hak berkumpul dan berbicara. Dengan mengatasnamakan stabilitas Soerhato mengekang elemen-elemen mayarakat sipil termasuk mahasiswa yang berbicara kritis dan vokal atas kebijakan orde baru.
Kebijakan ekonomi orde baru yang membuka kran bagi masuknya produk-produk asing membuat mahasiswa serentak turun ke jalan. Salah satu aksi mahasiswa menolak liberalisasi ini adalah pada tahun 1974 atau yang dikenal dengan peristiwa malari. Aksi ini dimaksudkan untuk menolakn masuknya berbagai produk Jepang ke pasar Indonesia. Salah seorang mahasiswa menjadi korban dalam peristiwa ini yakni Arif Rahman Hakim. Gerakan ini berlanjut sampai tahun 1978 yang meminta presiden Soeharto untuk mundur .
Peristiwa Malari berujung penangkapan terhadap bebebrapa aktivis mahasiswa. Sejak itu Orde baru menerapkan langkah-langkah untuk membungam gerakan mahasiswa. Mahasiswa dilarang unuk berbicara tentang politik, tentang negara, tentang nasib rakyat. Mahasiswa diasingkan dari wacana tentang politik dan kenegaraan (depolitisasi mahasiswa). Setiap kegiatan dan aktivitas mahasiswa dikontrol  oleh kampus sebagai perpanjangan tangan negara.
Salah satu model depolitisai mahasiswa adalah dengan mengandangkan mahasiswa di dalam kampus saja melalui konsep normalisasi gerakan kampus/badan koordinasi mahasiswa (NKK/BKK). Kedua konsep ini mengarahkan mahasiswa hanya untuk fokus kepada dunia akademik semata dan menjauhkan mahasiswa dari segala bentuk aktifitas politik karena dianggap akan membahyakan stabilitas nasional (rezim Soeharto). Semenjak itu mahasiswa benar-benar hanya layaknya siswa sekolah yang hanya belajar dan mengejar nilai.

Kondisi Empiris

Pasca reformasi gerakan mahasiswa justru seperti linglung. Mahasiwa kehilangan sosok musuh bersama layaknya pada masa orde baru. Mahasiswa kemudian menjadi entitas yang tak jauh berbeda dengan siswa. Pola berfikir mahasiswa masih mengadopsi pola pikir ketika masih siswa. Akhirnya yang menjadi musuh utama gerakan mahasiswa pada masa kini adalah mahasiswa itu sendiri.
Pola pelemahan kritisme mahasiswa pada masa reformasi dilakukan dengan birokratis-sistematis. Mahasiswa dibuat sibuk sengan aktifitas akademik mereka. Berlomba mengejar nilai demi Indeksi Prestasi yang tinggi. Mahasiswa akhirnya terlepas dari wacana-wacana tentang nasib rakyat dan hajat hidup orang banyak. Pragmatisme melanda mahasiswa sehingga indikator ksuksesan hanya dilihat dengan prestasi akademik.
Selain itu, mahasiswa juga dilemahkan oleh hedonisme dan konsumerisme. Tempat-tempat tongkrongan dan pusat perbelanjaan selalu penuh sesak dengan mahasiswa sementara ruang-ruang diskusi membahas nasib rakyat sepi. Mereka tidak sadar, bahwa pada saat bersamaan (khususnya mahasiswa PTN) hidup dari subsidisi yang berasal dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat.

Mahasiswa saat ini, lebih mengenal artis korea dari pada pahlawan-pahlawan nasional. Kondisi ini sepertinya akan terus berlanjut karena sistematisnya serangan yang digencarkan oleh budaya-budaya populer ini. Jika terus dibiarkan seperti ini, bukan mustahil masa depan mahasiswa indonesia akan semakin suram. Hanya menjadi pembelajr-pembelajar pasif yang tidak sadar apa tujuan mereka berkuliah. Mahasiswa seperti inilah kemudian yang dikatakan Rendra sebagai mahasiswa yang asing di desa mereka sendiri. Karena mahasiswa sengaja menarik garis pemisah antara kehidpan mereka dengan kehidupan sosial masyarakat.

Oleh: AHMAD Aprillah (Mantan Pemimpin Umum LPM Pena Kampus 2012-2013) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar