Oleh
:
Januar
Wahyu Priyanto
(Kordinator Div.
LITBANG LPM Pena Kampus FKIP UNRAM)
“Sudah
berhasilkah pendidikan kita hari ini?” Tulisan ini diawali
dari kalimat tanya tersebut. Mungkin pertanyaan tersebut terkesan sinis dan
terkesan tak menghargai kerja keras pemerintah kita saat ini demi mengembangkan
dan memajukan pendidikan. Namun, jika saja pendidikan kita tidak sesemrawut
sekarang tentu saja pertanyaan seperti itu tidak akan pernah muncul dalam
pikiran kita.
Sesuai dengan amanat
konstitusi negara ini, pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa. Tidak sedikit orang yang salah dalam menafsirkan “mencerdaskan
kehidupan bangsa” sehingga pendidikan kita tidak memiliki arah yang jelas,
gonta-ganti kurikulum, misalnya. Sedikit mengintip ke kurikulum, saat ini
pemerintah pun masih galau tentang
masalah kurikulum mana yang cocok dan akan digunakan di negeri ini. Hal itu
bisa kita lihat bersama dari banyaknya pro dan kontra yang muncul dari setiap
kalangan elite. Permasalahan tersebut kemudian melahirkan kebingungan di
kalangan tenaga pendidik dan peserta didik.
Sepertinya, untuk saat
ini wajar saja jika kita berfikir siapa saja presiden ataupun menteri
pendidikan yang menjabat, pendidikan Indonesia masih tetap saja sulit
diperbaiki. Sistem pendidikan Indonesia ini ibarat sebuah benang kusut. Sangat sulit mencari ujung pangkal permasalahannya.
Tentu saja hal ini disebabkan oleh banyak faktor. Dan jawaban yang sangat tidak
asing bagi kita semua adalah kualitas guru.
Namun pantaskah kita jika kita menyalahkan sang pahlawan tanpa tanda jasa ini melulu?
Jika kita mengibaratkan
pendidikan ini adalah sebuah tombak, maka guru sering disebut-sebut sebagai
sang ujung tombak. Mengapa? Seperti yang sudah tidak asing lagi, gurulah yang
turun langsung ke lapangan dalam menyalurkan pengetahuan kepada peserta didik.
Guru adalah orang pertama yang mengenal bagaimana karakteristik peserta didik
itu sendiri, bukan menteri pendidikan, apalagi presiden. Namun, karena alasan
itulah guru dijadikan orang pertama yang disalahkan jika pendidikan menjadi
terpuruk. Padahal, tombak bukan hanya masalah ujungnya saja, masih banyak
komponen-komponen lain yang berpengaruh.
Faktor
Terpuruknya Pendidikan Indonesia
Keterpurukan pendidikan
kita saat ini, bukan sepenuhnya disebabkan oleh guru saja, tapi masih ada
faktor-faktor lain yang turut berpengaruh, hanya saja faktor-faktor ini jarang
mendapat perhatian lebih dari kalangan elite pendidikan.
Pertama, kebijakan
pendidikan pemerintah yang bersifat parsial. Pemerintah kita belum pernah
secara tuntas mengembangkan sistem pendidikan mulai pendidikan dasar hingga
pendidikan tinggi yang betul-betul tersistem dalam bentuk keberlanjutan yang
konsisten. Pemerintah hari ini terlalu terfokus pada perbaikan evaluasi
pendidikan, tapi tidak fokus dalam hal mem-follow
up hasil evaluasi tersebut.
Kedua, dana pendidikan
yang acak adul. Tak jelas. Pada tahun 2015 ini, dana yang dialokasikan
pemerintah untuk pendidikan mencapai 400T. Namun, pengelolaan dana ini masih
tidak jelas untuk apa dan bagaimana. Penggunaan dana yang tidak jelas ini
kemudian melahirkan masalah yang menjadi biang keladi keterpurukan pendidikan
Indonesia, apalagi kalau bukan korupsi. Korupsi ini bukan saja terjadi di
kalangan elite pusat saja, tapi sudah mulai menjalar ke provinsi, kabupaten,
kota bahkan sampai ke tingkat sekolah. Korupsi ini menyebabkan pendistribusian
anggaran menjadi semrawut. Hal ini kemudian menyebabkan banyaknya dana yang
bocor, tidak tepat sasaran dan bahkan beberapa tidak terserap. Dana yang
dialokasikan untuk pendidikan begitu besar, tapi berapa persen yang betul betul
termanfaatkan oleh sekolah-sekolah dan dapat dinikmati siswa dalam rangka
meningkatkan pendidikan?
Faktor ketiga, dan
sangat jarang menjadi perhatian pemerintah adalah kualitas LPTK. Dalam tataran
praktis, LPTK berfungsi mendukung amanat pendidikan yakni mencerdaskan
kehidupan bangsa, namun sudah sejauh mana upaya perbaikan dari LPTK itu sendiri?
LPTK hadir untuk
menghasilkan output yang berkualitas dan juga senantiasa mengawal dan
memberikan fasilitas memadai. Fasilitas itu tentu saja dapat berupa kurikulum
yang teruji, sarana dan prasarana, serta tenaga pendidik yang berkompeten.
Hal-hal tersebut kemudian menjadi tolak ukur reputasi LPTK. LPTK harus mampu
menyiapkan generasi muda untuk menghadapi tuntutan baru masyarakat modern,
bukan hanya jago kandang saja, tetapi
harus mampu memberikan kebermanfaatan yang lebih luas. Namun jika kita menengok
kembali kualitas LPTK saat ini, terutama di daerah NTB, kualitas LPTK itu
sendiri masih belum bisa dikatakan baik,
entah itus dari segi fasilitas maupun output. Mestinya, jika pemerintah
menginginkan pendidikan Indonesia ini lebih maju, mulailah dari generasi muda,
mulailah dari calon-calon pendidik yang ada di LPTK, bukannya malah terfokus
pada pelatihan guru-guru usang saja.
Jika kita kembali
mengibaratkan guru adalah ujung tombak pendidikan kita, maka pemerintah bisa
kita ibaratkan sang penembak. Ujung tombak setajam apapun akan menjadi tidak
berarti jika berada di tangan penembak yang amatir. Dan LPTK bisa kita
ibaratkan sebagai pengasah ujung tombak itu. Ujung tombak akan menjadi tumpul
bila diasah di batu yang jelek. Namun jika pengasah itu baik, akan menciptakan
ujung tombak yang tajam.
Sudah saatnya
pemerintah kita memperhatikan semua komponen-komponen pendidikan, bukan hanya
masalah guru saja. Hal-hal diatas yang menjadi faktor keterpurukan pendidikan
sejatinya mesti segera diatasi dan diperbaiki. Dengan demikian, tujuan
pendidikan yang sesuai dengan amanat konstitusi negara ini akan bisa tercapai.
wah blognya bagus juga ya ,salam sma ijank :D
BalasHapusPaket Wisata Lombok