Oleh:
Januar Wahyu
Priyanto
(Kordinator Div. LITBANG LPM PENA KAMPUS)
source |
Berbicara tentang keberagaman, sama halnya
ketika kita berbicara tentang sebuah konsep pluralisme, di mana secara
terminologis pluralisme berasal dari kata plural yang berarti beragam.
Pluralisme merupakan suatu kondisi masyarakat yang majemuk (berkaitan dengan
sistem sosial dan politik). Sementara itu, Nurcholis Madjid (Cak Nur) menerjemahkan pluralisme
sebagai suatu sistem nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap
kemajemukan itu sendiri, dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat
sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu.
Indonesia ditakdirkan sebagai negara yang
memiliki berbagai keberagaman. Pluralitas agama, etnis, bahasa, dan budaya bukan
hal asing lagi bagi bangsa ini. Keberagaman itu merupakan potensi yang dapat
menjadikan negara ini menjadi bangsa besar. Itu sebabnya falsafah atau semboyan
bangsa ini adalah "Bhineka Tunggal Ika". Meskipun
berbeda-beda, bisa menjadi satu saling memperkuat antara satu dengan yang
lainnya.
Salah satu keberagaman di Indonesia adalah
keberagaman agama. Namun di Indonesia sendiri hanya diakui (resmi) 6 golongan
agama yakni Islam, Hindu, Budha, Kristen Protestan, Kristen Katolik, dan
Konghucu. Padahal, di Indonesia hidup berbagai macam agama dan aliran
kepercayaan lokal di luar agama resmi. Resmi dan tidak resmi dalam agama ini
kemudian menjadikan lahirnya golongan mayoritas dan minoritas, serta tindakan
diskriminatif terutama yang paling banyak dialami oleh golongan minoritas.
Berdasarkan data dari Indonesian Conference on
Religion and Peace (ICRP), ada 245 organisasi aliran kepercayaan di negeri ini.
Salah satu contohnya adalah aliran Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Data ICRP tahun 2005 menyebut, ada 400.000 orang yang menjadi penganut aliran
tersebut. Selama ini mereka mengosongkan kolom agama di KTP. Di Kalimantan, ada sekitar 6.000 warga Dayak yang menganut aliran
Kaharingan dan sebagian besar dari mereka tidak mencantumkan agama di KTP.
Mengosongkan kolom agama di KTP sepertinya masih menjadi hal yang belum bisa
diterima oleh sebagian besar orang. Akibatnya, masyarakat yang menjadi golongan
minoritas tersebut kesulitan dalam kehidupan sosialnya seperti mendapat
pekerjaan dan pelayanan.
Berdasarkan pengamatan setara institut yang
dilakukan oleh The Wahid Institute, data konflik kebebasan beragama dan
berkeyakinan dalam 5 tahun terakhir selalu mengalami peningkatan, kecuali pada
tahun 2013. Berdasarkan data tersebut, diketahui pada tahun 2009 terdapat 121
kasus, 2010 ada 184 kasus, tahun 2011 ada 267 kasus, 2012 ada 278 kasus, dan
2013 ada 245 kasus. Kasus ini setiap tahun semakin menyebar luas ke setiap
wilayah di Indonesia. Bentuk konflik yang terjadi meliputi serangan terhadap
kelompok berbeda, pelanggaran terhadap aliran yang dicap sesat, penyegelan
rumah ibadah dan kriminalitas atas nama agama.
Beberapa contoh kasus yang terjadi di
antaranya yakni pengusiran kelompok Syi’ah dari desanya di Karang Ayam, kecamatan
Omben dan desa Bluran, kecamatan Karang Penang, Sampang. Pengusiran ini terjadi
akibat adanya serangan massa yang terjadi pada 26 Agustus 2012 lalu. Kejadian
ini mengakibatkan 1 orang tewas, 10 orang luka-luka dan 46 rumah hangus
terbakar. Kemudian ada kelompok Ahmadiyah yang sudah hampir 8 tahun
terkantung-kantung nasibnya di asrama pengungsian Transiti, di Mataram, NTB. Lalu
ada juga kasus-kasus penyegelan rumah ibadah umat Kristiani di Bogor dan Bekasi
yang sudah berlangsung lebih dari 2 tahun.
Konflik ini akan terus muncul jika sekelompok
golongan yang menjadi mayoritas masih menganggap golongannya-lah yang paling
benar dan golongan lain adalah salah. Serta pemerintah masih tetap mengeluarkan
kebijakan-kebijakan yang bersifat diskriminatif dan tidak tegas untuk menindak
setiap pelaku pelanggaran kebebasan beragama. Hal ini bukan tidak mungkin akan
memicu disintegrasi bangsa Indonesia.
Secara konstitusional, hak masyarakat untuk
memilih agama dan keyakinan sendiri bisa dibilang cukup terjamin. Hal tersebut
diatur dalam UUD 1945 pasal 29. Tak hanya UUD itu saja, Pancasila yang
merupakan landasan negara ini juga membebaskan masyarakatnya untuk menganut
apapun agama dan kepercayaan yang mereka anggap benar. Pancasila merupakan buah
pikiran dari kaum nasionalis dan agamis yang ingin menyatukan negeri ini.
Soekarno yang kita kenal sebagai bapak pancasila mengubah sila pertama yang
berbunyi "Ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya", menjadi "Ketuhanan yang Maha Esa”. Hal tersebut disebabkan oleh Indonesia
Bagian Timur mengancam akan melepaskan diri dari RI bila kalimat tersebut tidak
diganti. Tetapi bukan berarti salah penduduk Indonesia Timur yang sebagian
besar beragama Kristen yang membuat kalimat yang "terkesan" memuji
agama Islam itu diganti. Justru kalimat tersebut diganti juga berdasarkan
pertimbangan Soekarno yang menghendaki agar bangsa kita yang berbeda-beda agama
maupun suku atau ras tetap bersatu.
Salah satu ajaran agama yang paling mendasar
adalah tanggung jawab pribadi manusia di hadapan Tuhan kelak. Konsekuensi dari
ajaran ini adalah bahwa setiap orang mempunyai hak memilih jalan hidup dan
tindakannya sendiri, dan orang lain memiliki kewajiban untuk menghargai hak
tersebut. Mengacu kembali pada masyarakat kita yang plural, sikap penuh
pengertian terhadap orang lain sangat diperlukan agar masyarakat tidak menjadi
monolitik. Apalagi pluralitas masyarakat merupakan desain dan anugerah dari
Tuhan untuk umat manusia, sehingga tidak ada manusia yang sama dan sebangun
dalam segala hal. Oleh karena itulah dibutuhkan sikap toleransi dari diri kita.
Sikap tidak toleransi bukan tidak mungkin akan
menciptakan pengikisan terhadap nilai kesatuan kita sebagai sebuah bangsa. Bangsa
kita berpotensi menjadi bangsa yang besar apabila kita sebagai umat beragama
mampu menjaga nilai-nilai toleransi terhadap sesama umat beragama. Setiap
agama, apapun itu, pada dasarnya pasti mengajarkan kasih sayang dan saling
menghargai. Dalam setiap agama tidak ada yang mengajarkan untuk saling membunuh
dan saling menyerang. Semua agama mengajarkan untuk menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Contohnya misalkan dalam agama Islam. Islam adalah agama yang mencintai
kedamaian dan tidak pernah mengajarkan rasa kebencian dan diskriminasi pada
setiap penganutnya, apalagi saling merendahkan. Di dalam Al Quran, yang
merupakan tuntunan hidup umat Islam, larangan untuk berbuat diskriminasi
terdapat pada surah Al Hujurat ayah 11 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah suatu kaum merendahkan kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka
(yang direndahkan) lebih baik dari mereka (yang merendahkan)...”
Berbagai kasus keberagaman yang terkait dengan
kebebasan beragama dan berkeyakinan tersebut kini merupakan pekerjaan rumah
bagi pemerintahan kita yang baru. Pemerintah harus mampu menjamin secara konstitusi
hak dan kebebasan masyarakat untuk beragama dan berkeyakinan, serta harus mampu
mengatasi konflik-konflik diskriminasi dan kekerasan yang kerap terjadi, dan
juga harus berani menindak tegas para pelaku kekerasan dan diskriminasi agama
tersebut. Selain itu, jaminan terhadap kaum minoritas untuk mendapatkan
pelayanan dan fasilitas negara juga harus dijaga. Dengan demikian, maka jadilah
Indonesia sebagai bangsa besar dan menjunjung tinggi nilai Ketuhanan Yang Maha
Esa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar