Pluralisme Indonesia, Keberagaman Penuh Diskriminasi - LPM Pena Kampus

Goresan Penamu Runtuhkan Tirani

Breaking

Senin, 27 April 2015

Pluralisme Indonesia, Keberagaman Penuh Diskriminasi

Oleh:
Januar Wahyu Priyanto 
(Kordinator Div. LITBANG LPM PENA KAMPUS)

source

Berbicara tentang keberagaman, sama halnya ketika kita berbicara tentang sebuah konsep pluralisme, di mana secara terminologis pluralisme berasal dari kata plural yang berarti beragam. Pluralisme merupakan suatu kondisi masyarakat yang majemuk (berkaitan dengan sistem sosial dan politik). Sementara itu, Nurcholis Madjid (Cak Nur) menerjemahkan pluralisme sebagai suatu sistem nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri, dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu.

Indonesia ditakdirkan sebagai negara yang memiliki berbagai keberagaman. Pluralitas agama, etnis, bahasa, dan budaya bukan hal asing lagi bagi bangsa ini. Keberagaman itu merupakan potensi yang dapat menjadikan negara ini menjadi bangsa besar. Itu sebabnya falsafah atau semboyan bangsa ini adalah "Bhineka Tunggal Ika". Meskipun berbeda-beda, bisa menjadi satu saling memperkuat antara satu dengan yang lainnya.

Salah satu keberagaman di Indonesia adalah keberagaman agama. Namun di Indonesia sendiri hanya diakui (resmi) 6 golongan agama yakni Islam, Hindu, Budha, Kristen Protestan, Kristen Katolik, dan Konghucu. Padahal, di Indonesia hidup berbagai macam agama dan aliran kepercayaan lokal di luar agama resmi. Resmi dan tidak resmi dalam agama ini kemudian menjadikan lahirnya golongan mayoritas dan minoritas, serta tindakan diskriminatif terutama yang paling banyak dialami oleh golongan minoritas.

Adapun implikasi dari kebijakan peresmian agama ini muncul dalam wujud formal seperti lahirnya Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, di mana salah satu isinya adalah pencantuman kolom agama di KTP. Di KTP sendiri, pada kolom agama hanya boleh diisi dengan enam agama yang diakui negara, yakni Islam, Hindu, Kristen Protestan, Budha, Kristen Katolik dan Konghucu.

Berdasarkan data dari Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), ada 245 organisasi aliran kepercayaan di negeri ini. Salah satu contohnya adalah aliran Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Data ICRP tahun 2005 menyebut, ada 400.000 orang yang menjadi penganut aliran tersebut. Selama ini mereka mengosongkan kolom agama di KTP. Di Kalimantan, ada sekitar 6.000 warga Dayak yang menganut aliran Kaharingan dan sebagian besar dari mereka tidak mencantumkan agama di KTP. Mengosongkan kolom agama di KTP sepertinya masih menjadi hal yang belum bisa diterima oleh sebagian besar orang. Akibatnya, masyarakat yang menjadi golongan minoritas tersebut kesulitan dalam kehidupan sosialnya seperti mendapat pekerjaan dan pelayanan.

Berdasarkan pengamatan setara institut yang dilakukan oleh The Wahid Institute, data konflik kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam 5 tahun terakhir selalu mengalami peningkatan, kecuali pada tahun 2013. Berdasarkan data tersebut, diketahui pada tahun 2009 terdapat 121 kasus, 2010 ada 184 kasus, tahun 2011 ada 267 kasus, 2012 ada 278 kasus, dan 2013 ada 245 kasus. Kasus ini setiap tahun semakin menyebar luas ke setiap wilayah di Indonesia. Bentuk konflik yang terjadi meliputi serangan terhadap kelompok berbeda, pelanggaran terhadap aliran yang dicap sesat, penyegelan rumah ibadah dan kriminalitas atas nama agama.

Beberapa contoh kasus yang terjadi di antaranya yakni pengusiran kelompok Syi’ah dari desanya di Karang Ayam, kecamatan Omben dan desa Bluran, kecamatan Karang Penang, Sampang. Pengusiran ini terjadi akibat adanya serangan massa yang terjadi pada 26 Agustus 2012 lalu. Kejadian ini mengakibatkan 1 orang tewas, 10 orang luka-luka dan 46 rumah hangus terbakar. Kemudian ada kelompok Ahmadiyah yang sudah hampir 8 tahun terkantung-kantung nasibnya di asrama pengungsian Transiti, di Mataram, NTB. Lalu ada juga kasus-kasus penyegelan rumah ibadah umat Kristiani di Bogor dan Bekasi yang sudah berlangsung lebih dari 2 tahun.

Konflik ini akan terus muncul jika sekelompok golongan yang menjadi mayoritas masih menganggap golongannya-lah yang paling benar dan golongan lain adalah salah. Serta pemerintah masih tetap mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bersifat diskriminatif dan tidak tegas untuk menindak setiap pelaku pelanggaran kebebasan beragama. Hal ini bukan tidak mungkin akan memicu disintegrasi bangsa Indonesia.

Secara konstitusional, hak masyarakat untuk memilih agama dan keyakinan sendiri bisa dibilang cukup terjamin. Hal tersebut diatur dalam UUD 1945 pasal 29. Tak hanya UUD itu saja, Pancasila yang merupakan landasan negara ini juga membebaskan masyarakatnya untuk menganut apapun agama dan kepercayaan yang mereka anggap benar. Pancasila merupakan buah pikiran dari kaum nasionalis dan agamis yang ingin menyatukan negeri ini. Soekarno yang kita kenal sebagai bapak pancasila mengubah sila pertama yang berbunyi "Ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya", menjadi "Ketuhanan yang Maha Esa. Hal tersebut disebabkan oleh Indonesia Bagian Timur mengancam akan melepaskan diri dari RI bila kalimat tersebut tidak diganti. Tetapi bukan berarti salah penduduk Indonesia Timur yang sebagian besar beragama Kristen yang membuat kalimat yang "terkesan" memuji agama Islam itu diganti. Justru kalimat tersebut diganti juga berdasarkan pertimbangan Soekarno yang menghendaki agar bangsa kita yang berbeda-beda agama maupun suku atau ras tetap bersatu.

Salah satu ajaran agama yang paling mendasar adalah tanggung jawab pribadi manusia di hadapan Tuhan kelak. Konsekuensi dari ajaran ini adalah bahwa setiap orang mempunyai hak memilih jalan hidup dan tindakannya sendiri, dan orang lain memiliki kewajiban untuk menghargai hak tersebut. Mengacu kembali pada masyarakat kita yang plural, sikap penuh pengertian terhadap orang lain sangat diperlukan agar masyarakat tidak menjadi monolitik. Apalagi pluralitas masyarakat merupakan desain dan anugerah dari Tuhan untuk umat manusia, sehingga tidak ada manusia yang sama dan sebangun dalam segala hal. Oleh karena itulah dibutuhkan sikap toleransi dari diri kita.

Sikap tidak toleransi bukan tidak mungkin akan menciptakan pengikisan terhadap nilai kesatuan kita sebagai sebuah bangsa. Bangsa kita berpotensi menjadi bangsa yang besar apabila kita sebagai umat beragama mampu menjaga nilai-nilai toleransi terhadap sesama umat beragama. Setiap agama, apapun itu, pada dasarnya pasti mengajarkan kasih sayang dan saling menghargai. Dalam setiap agama tidak ada yang mengajarkan untuk saling membunuh dan saling menyerang. Semua agama mengajarkan untuk menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Contohnya misalkan dalam agama Islam. Islam adalah agama yang mencintai kedamaian dan tidak pernah mengajarkan rasa kebencian dan diskriminasi pada setiap penganutnya, apalagi saling merendahkan. Di dalam Al Quran, yang merupakan tuntunan hidup umat Islam, larangan untuk berbuat diskriminasi terdapat pada surah Al Hujurat ayah 11 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum merendahkan kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang direndahkan) lebih baik dari mereka (yang merendahkan)...

Berbagai kasus keberagaman yang terkait dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan tersebut kini merupakan pekerjaan rumah bagi pemerintahan kita yang baru. Pemerintah harus mampu menjamin secara konstitusi hak dan kebebasan masyarakat untuk beragama dan berkeyakinan, serta harus mampu mengatasi konflik-konflik diskriminasi dan kekerasan yang kerap terjadi, dan juga harus berani menindak tegas para pelaku kekerasan dan diskriminasi agama tersebut. Selain itu, jaminan terhadap kaum minoritas untuk mendapatkan pelayanan dan fasilitas negara juga harus dijaga. Dengan demikian, maka jadilah Indonesia sebagai bangsa besar dan menjunjung tinggi nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar