Jika boleh jujur, aku memang anak yang paling beruntung di keluargaku karena hanya aku yang bisa menyelesaikan sekolahku sampai jenjang SMA dan kemudian melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi lagi jikalau dibandingkan dengan saudaraku yang memilih untuk berhenti sekolah karena keterbatasan biaya. Terlepas dari itu semua, yang ingin ku ceritakan adalah mengenai impian. Aku memang lahir dari keluarga yang sederhana, tetapi aku adalah Maisha yang begitu ambisius dengan impian.
Sebenarnya, ketika aku mulai memberanikan diri untuk menulis kisahku ini, aku sedikit takut karena ini adalah sebuah kisah konyol dari impian seorang gadis sederhana. Mungkin kalian akan bertanya "Kenapa?".
Jawabannya adalah, waktu itu, saat aku masih duduk di bangku SMA, seseorang menghampiriku dan bertanya;
"Maisha, cita-cita kamu apa?", kemudian dengan percaya diri aku menjawab "Impianku adalah bisa mengelilingi dunia dengan ilmu yang sedang kucari saat ini."
"Mana mungkin kamu bisa mengelilingi dunia, kamu harus sadar Maisha, kamu itu lahir dari keluarga yang miskin. Coba lihat! Sekarang saja untuk uang jajan, kamu hanya mengharapkan untung dari jualan nasi bungkus yang kamu tenteng itu, jadi nggak salah kamu bilang keliling dunia?, maksud kamu mungkin jualan keliling. Hahahaha."
Itulah yang menjadi alasanku selama ini kenapa tidak pernah lagi untuk menceritakan impianku kepada siapapun, mereka hanya orang-orang yang terlalu sempit mengartikan arti kesuksesan yang hanya bisa dimiliki oleh orang berada.
Setelah beberapa lama kutumpuk semangatku untuk bangkit, rasanya terlalu egois jika aku tidak menceritakan perjalanan hidupku agar bisa dijadikan sebagai inspirasi untuk orang-orang yang selalu dipandang sebelah mata.
Beginilah kisahku_
Saat ini, salju sedang turun di Jerman, hati yang teriris dengan perkataan orang pada waktu itu rasanya sudah cukup bisa diredam dengan apa yang sudah saya dapatkan saat ini.
Salju yang turun mengarahkan tanganku pada sebuah buku kosong dengan pena tinta hitam di sebuah meja yang kujadikan wadah untuk menuangkan segala rasa, perlahan tanganku mulai menggerakkan, memacu huruf-huruf yang berjalan menyaksikan betapa pahit getirnya kehidupan keluargaku.
Sebelumnya aku ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada orang yang pernah menertawakan cita-citaku karena berkat dia saat ini aku bisa menginjakkan kakiku di negara Jerman.
Dulu sejak aku duduk di bangku SMA, aku hanya bisa membayangkan betapa lebih beruntungnya lagi jika aku bisa melanjutkan pendidikan di Jerman, dan ternyata apa yang saya bayangkan benar-benar bisa terjadi.
Beberapa tahun yang lalu, memang benar bahwa keluargaku adalah keluarga yang selalu dipandang sebelah mata oleh orang lain. Untuk bisa bertahan hidup dan bernafas, ayahku lah yang menjadi penopang kehidupan kami.
Ayahku bekerja sebagai tukang ojek, pendapatan ayah memang tidak seberapa tetapi cukup untuk membiayai kehidupan kami bertiga sebagai anaknya. Untuk meringankan beban ayah, ibuku bekerja sebagai tukang cuci. Itulah yang menjadi motivasi terbesarku untuk terus berjuang dan bisa mengangkat derajat keluargaku.
Sudah satu tahun lamanya aku menetap di Jerman, tidak membuatku lupa dengan orang-orang yang berjasa dan arti sebuah perjuangan. Ketika aku memilih dengan impian yang menurut orang itu adalah hal konyol, hal pertama yang aku lakukan adalah mempelajari bahasa asing. Tentu bagiku ini adalah hal yang tidak mudah.
Selang beberapa waktu pada saat itu, kuberanikan diri meminjam handphone tua milik kakakku untuk dijadikan sebagai alat yang mungkin bisa kugunakan untuk belajar.
Disanalah awal mula aku berkenalan melalui media sosial dengan Hazmi yang sudah kuanggap sebagai saudara laki-lakiku, dia adalah warga negara yang berasal dari Pakistan, disana Hazmi adalah seorang mahasiswa dengan program studi Medical Sciences dan sangat mahir dalam berbahasa Inggris. Iya, dialah sosok yang sangat berjasa dalam hidupku karena telah mengajariku berbahasa asing.
Setiap hari kami selalu berbincang-bincang walaupun tidak membahas hal yang begitu terlalu penting, tetapi setidaknya dengan begitu aku bisa meningkatkan kosa kata darinya. Selama ini kami belum pernah saling bertatap muka secara langsung, aku dan dia mungkin hanya sebatas mengenal dari foto profil yang terpampang di masing-masing akun kami.
Hari terus berlalu, hingga hari bahagiaku pada waktu itu untuk diwisuda sudah tiba. Waktu itu ayah dan ibuku beserta kakak dan adikku menyaksikan namaku disebut sebagai mahasiswa lulus dengan nilai terbaik. Saat itulah kulihat senyum yang terukir dari bibir mereka dengan linangan air mata bersimbah sujud syukur kepada Tuhan.
Rasanya ada yang kurang jika kebahagiaan ini tidak kubagi dengan Hazmi, komunikasi kami tetap berjalan dengan baik. Dan benar saja, ketika kukabarkan padanya mengenai kelulusanku ia begitu bahagia mendengarnya, aku kira kabar bahagia hanya datang dariku tetapi Hazmi pun membawa kabar bahagia untukku, dia mengabarkan bahwa Ia lulus dengan nilai terbaik pula dan rencananya Hazmi akan diberangkatkan ke luar negeri untuk praktek profesi sebagai seorang dokter.
Berat rasanya meninggalkan keluargaku ketika aku memilih mengambil beasiswa ke Jerman, namun ayah dan ibuku tetap mendukung anaknya demi masa depan yang cerah. Setibanya di Jerman tidak ada satupun orang yang kukenal, namun paling tidak aku sudah bisa menerapkan bahasa yang sudah diajarkan oleh Hazmi kepadaku.
Di Jerman, aku tinggal di sebuah asrama. Walaupun semua biaya hidup sudah ditanggung dengan beasiswa yang kudapatkan namun aku harus hidup hemat, apalagi aku sebagai anak harus bisa membahagiakan ayah dan ibuku.
Ternyata cukup membosankan hidup di negara orang tanpa ada seorang pun yang kita kenal ditambah lagi hari itu adalah hari libur, untuk mengisi kekosongan hari liburku akhirnya aku mencoba keluar untuk menghirup udara segar disebuah tempat rekreasi, hitung-hitung semoga bisa menemukan inovasi baru dalam menulis.
Dengan berjalan santai, earphone ditelingaku, Mantel tebal dan shal yang mengikat, mataku tertuju pada sebuah bangku panjang yang kosong, kurasa disanalah tempat yang cocok untuk menulis sambil menikmati udara segar serta wahana permainan dipenuhi oleh orang-orang bersama keluarganya.
Baru kubuka lembar pertama, tiba-tiba seseorang duduk disampingku tanpa bertegur sapa, kurasa dia juga sedang menikmati pemandangan yang ada. Namun ada yang aneh, sepertinya aku pernah melihat orang yang sedang berada di sebelahku saat itu.
Saat itupun aku benar-benar memperhatikannya,
"Hazmi, Are you Hazmi?", waktu itu aku benar-benar yakin bahwa dia adalah Hazmi walaupun aku hanya pernah melihatnya di foto profil akunnya.
"Sorry, who are you?"
"I am Maisha, do you know who is Maisha?"
"Masyaallah, really? Are you Maisha?"
"yes I am Maisha"
"How lucky l am, thanks God, I really didn't think we could meet Maisha"
"So do I, it turns out you were assigned to Germany?"
"Yes Maisha, I haven't had the chance to tell you, I have been here for one week"
Aku benar-benar tidak menyangka bisa dipertemukan dengan Hazmi pada waktu itu, sekarang dialah orang satu-satunya yang aku kenal di Jerman. Hari itulah yang benar-benar dikatakan sebagai hari libur, hari libur pertama yang kuhabiskan dengan Hazmi. Aku begitu terkejut juga, saat mengetahui bahwa Hazmi tinggal tidak jauh dari asramaku.
Dengan keberadaan Hazmi di Jerman, orang tuaku sudah tidak lagi khawatir denganku disini. Ayah begitu percaya dengannya setelah ia tahu bahwa Hazmi lah yang mengajariku selama ini.
Bertahun lamanya kini aku telah menyelesaikan pendidikanku di Jerman, kini tiba giliranku untuk memenuhi janjiku kepada ayah dan ibu untuk memberangkatkan mereka ke Tanah Suci. Uang yang sudah ku kumpulkan dari hasil buku-buku karyaku yang sudah diterbitkan cukup untuk memberangkatkan mereka ke Tanah Suci dan membelikan mereka rumah baru untuk ditempati.
Kini keluargaku sudah bisa hidup dengan layak. Orang-orang yang sudah menertawakan keluargaku kini mereka merasa malu dengan apa yang sudah mereka ucapkan dulu.
Setelah beberapa minggu mereka pulang dari Tanah Suci, tiba-tiba Hazmi menyambungkan telfon dengan ayah. Tak kusangka ternyata Hazmi meminta izin kepada ayah untuk meng-khitbahku. Dengan nada seperti orang yang menangis namun ada pancaran suara bahagia yang terdengar dari ayah. Ayah begitu menyetujui Hazmi sebagai calon suamiku, karena ia dikenal sebagai laki-laki yang bertanggung jawab oleh ayah.
Di usiaku yang ke-25 aku resmi menikah dengan Hazmi, pernikahan kami berlangsung di Indonesia dan dihadiri juga oleh keluarganya. Aku benar-benar bahagia. Perihal jodoh, rezeki dan bagaimana kehidupan seseorang itu tidak ada yang tahu. Selama ada kemauan, usaha, dan doa, Allah pasti akan mempermudah jalan untuk hamba-Nya.
Untuk kalian semua, ingatlah bahwa tidak ada yang tidak mungkin selama kita selalu berusaha dengan tekun dan serahkan semuanya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Kini suamiku yang berprofesi sebagai seorang dokter dan aku sebagai seorang penulis, selalu mendapatkan inspirasi dari setiap negara yang ku kunjungi bersama dengan suamiku.
-Tamat-
Karya: Ema Septiani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar