Oleh:
Abdul Goni Ilman Kusuma
(Pimum Pena Kampus 2018)
Abdul Goni Ilman Kusuma
(Pimum Pena Kampus 2018)
Di
dunia perkuliahan ada dua jenis sebutan mahasiswa yaitu (1) mahasiswa kupu-kupu
dan (2) mahasiswa kura-kura. Kupu-kupu ialah akronim dari kuliah pulang-kuliah
pulang, sedangkan kura-kura ialah kuliah rapat-kuliah rapat. Konon, mahasiswa
tipe pertama disebut mahasiswa apatis, kesibukannya hanya soal akademis karena beranggapan
IPK adalah yang utama dan segalanya. Berbanding terbalik dengan tipe kedua yang
sebutannya organisatoris, kebanyakan aktifitasnya di luar ruang kelas, sibuk
berorganisasi, beranggapan IPK bukan penentu utama, dan suka demo.
Perseteruan
keduanya yang memiliki cara pandang berbeda tidak bisa dielakkan. Ada banyak
macam cibiran dari kedua belak pihak yang mengaggap diri paling benar. Salah
satu contoh, tipe organisatoris mencibir yang akademis dengan sebutan apatis
lantaran tidak peduli dengan permasalahan sosial dan kurang pergaulan. Sebaliknya,
mereka yang organisatoris dianggap malas kuliah, IPK rendah, dan mahasiswa yang
wisudanya abnormal; diatas delapan semester.
Itu
hanya sebagian kecil dari cibiran yang lahir dari kedua belah pihak. Keduanya
pun sering dibanding-bandingkan, siapa yang lebih baik? Inilah sebenarnya
pertanyaan intinya. Jika mengharuskan memilih salah satu, mana kiranya yang
benar? Sebelum terlalu jauh dan memberikan justifikasi mana yang benar,
alangkah lebih baiknya untuk mengurai terlebih dahulu benang kusut ini.
Soekarno
pernah berkata “Jas merah”. Begitulah sebutannya untuk mengingatkan agar tidak
lupa dengan sejarah. Dalam konteks kedua tipe mahasiswa inipun sepertinya
memang harus dilihat dari sejarahnya; sebelum sampai pada kondisi sekarang.
Apalagi dalam sejarahnya di Indonesia, mahasiswa selalu mencatatkan nama dalam
lembar-lembar sejarah pergolakan negeri. Muncul pula istilah mahasiswa adalah
agent of control (pengontrol) dan agent of change (perubahan).
Sejarahnya,
istilah itu berawal ketika mahasiswa ikut
andil dari masa sebelum kemerdekaan. Mahasiswa atau kaum terpelajarlah yang
memulai dan berani mengibarkan bendera perlawanan pada penjajah. Organisasi
Budi Oetomo menjadi penanda bangkitnya kaum terpelajar untuk menyuarakan
kemerdekaan. Semenjak itu, semakin banyak yang sadar dan ikut melalukan
pergerakan; semakin massif bersuara. Tercetuslah sumpah pemuda yang menjadi
tonggak bersatunya pemuda seluruh negeri. Sampai pada akhirnya kemerdekaan
diproklamirkan karena desakan para kaum muda.
Tidak
hanya sampai di situ saja, pasca kemerdekaan mahasiswa kembali bergejolak
hingga meruntuhkan Orde lama pada tahun 1966. Setelah runtuhnya orde lama,
mahasiswa sempat dibungkam oleh Soeharto. Nyatanya, mahasiswa tetap saja tidak
bisa berdiam diri. Diskusi dan konsolidasi dilakukan secara tersembunyi. Puncaknya
pada 1998 ribuan mahasiswa turun kejalan hingga menelan korban. Meski begitu, rezim
tangan besi Soeharto berhasil ditumbangkan. Usai Reformasi inilah kemudian
mahasiswa kembali ke kampus dan dikabarkan hilang dari jalanan. Dan sekarang di
2019 mahasiswa kembali dari tidur panjangnya lantaran dibangunkan oleh RKUHP
dan KPK yang dikebiri.
Kembali
ke topik awal, lantas di mana posisi tipe pertama dan kedua dari sekelumit
sejarah mahasiswa? Jika diperhatikan, menguatnya dua kubu mahasiswa ini terjadi
usai reformasi. Tepatnya ketika mahasiswa kembali ke kampus dan vakum dari
dunia jalanan. Disitulah kemudian stigma-stigma negatif tentang mahasiswa
organisatoris semakin tumbuh. Bahwa mereka yang ikut organisasi –terutama
organisasi gerakan- adalah mereka yang gagal dalam dunia akademik. Selain itu,
mahasiswa dikatakan tidak perlu lagi ikut dalam urusan politik. Mahasiswa
kerjanya cukup diam di kampus dan belajar. Kembali ketujuan awalnya masuk
kuliah; untuk belajar. Urusan politik sudah ada yang mengatur dan mengawasi.
Tidak
hanya itu saja, organisasi mahasiswa harus menerima kenyataan pahit ketika
dijadikan kambing hitam atas rendahnya prestasi akademik. Bahkan dari kalangan
dosen sendiri ada yang ikut mengukuhkan anggapan itu. Bahwa mahasiswa tugasnya
hanya dalam kelas, kesibukannya itu di dalam laboratorium, bukan di organisasi,
apalagi ikut unjuk rasa dijalanan. Fokusnya hanya soal akademik, di luar itu
adalah nomor sekian.
Bukan
cuma dari kalangan dosen yang melarang (secara tidak langsung) mahasiswanya
ikut berorganisasi dan mendukungnya menjadi mahasiswa tipe pertama. Pihak
kampus sendiri memberikan ultimatum dengan mengeluarkan aturan yang berisi
batasan siapa saja yang boleh ikut organisasi. Di mana mahasiswa yang boleh
berorganisasi ialah mereka yang memliki IPK diatas 3,0 dengan batasan semester
minimal semester tiga (boleh ikut) dan maksimal semester tujuh (harus
nonaktif).
Begitulah
realitas yang terjadi di dalam dunia kampus. Mahasiswa yang ikut organisasi
seringkali dikucilkan oleh orangtuanya sendiri di kampus. Mereka dianggap
sebagai wajah kelam kampus yang harus disembunyikan. Sedangkan, mahasiswa yang
aktif di akademik adalah anak emas yang selalu mendapat sanjungan. Kemudian di
klaim bahwa mahasiswa tipe pertama ini yang memiliki masa depan cerah karena kecakapan
akademik yang dibuktikan dengan IPK tinggi. Sedangkan tipe kedua adalah wajah
muram dan miskin prestasi akademik.
Ada
beberapa hal yang luput dari perhatian pejabat kampus mengenai mahasiswa yang
aktif berorganisasi. Bahwasanya mereka yang aktif di organisasi yang seringkali
membawa nama baik kampus baik dalam kancah lokal ataupun nasional. Sebut saja
misalnya dalam kancah peksiminas (pekan seni mahasiswa nasional) yang
mendominasi adalah mahasiswa yang ikut organisasi. Mereka yang mengembangkan talentanya
di luar ruang kelas. Bukan mahasiswa yang sibuk seharian di dalam laboratorium.
Keputusan
kampus yang membatasi ruang gerak mahasiswanya untuk berkreasi adalah kesalahan
fatal. Kampus secara tidak langsung telah menyatakan diri siap mencoreng mukanya
sendiri. Kenapa? Karena lulusannya tidak siap menghadapi rimba yang
sesungguhnya. Dalam menghadapi perkembangan global ini, seseorang tidak bisa
hanya mengandalkan satu kecakapan saja. Bisa dilihat dari rilis Badan Pusat
Statistik (BPS) per Februari 2019 di mana Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
turun menjadi 5,01% namun terjadi tren peningkatan pengangguran dari lulusan universitas 25%
(katadata.co.id).
Kampus
seharusnya mengarahkan mahasiswa sudah siap bertarung dalam dunia kerja yang
keras di luar sana. Namun, yang terjadi malah sebalikannya. Peningkatan
pengangguran dari lulusan Universitas malah meningkat. Ini menunjukkan
bagaimana kampus tidak serius menyiapkan lulusannya dengan talenta yang
mumpuni. Di satu sisi, ini juga dampak dari minimnya kecakapan yang dimiliki
mahasiswa. Terutama yang hanya bermodalkan kecakapan akademik dan hanya mampu
menyodorkan IPK tinggi tanpa ada keahlian khusus.
Di
sinilah letak perbedaan antara mahasiswa kupu-kupu dan kura-kura. Tipe pertama
meski unggul secara akademik dengan IPK tinggi, lemah pada skill tambahan
karena waktunya di habiskan dalam kelas. Sedangkan tipe kedua meski kalah
secara akademik dan IPK tapi unggul dalam skill tambahan. Selain itu, tipe kedua
lebih cekatan dalam bersosialisasi, lebih mudah berbaur dengan lingkungan
karena sudah terbiasa di dalam organisasi. Dalam organisasi banyak hal bisa
dikembangkan, terutama untuk mengembangkan minat dan bakat yang tidak
didapatkan dalam kelas.
Kecakapan-kecakapan
tambahan ini diperlukan ketika sudah tidak lagi berkecimpung di dunia kampus.
Kecapakan dalam bersosialisasi dan beradaptasi ini bukan sesuatu yang simsalabim langsung jadi. Soft skill ini membutuhkan pembiasaan
dan pengalaman; organisasi mahasiswa menyediakan ruang-ruang tersebut. Hanya di
dalam organisasi, mahasiswa bebas untuk mengeksplor kemampuannya. Ini bukan
hanya soal demo ataupun apatis dan tidak. Tapi pengalaman manajemen waktu,
mengemukakan pendapat di muka umum, kemampuan memimpin, peningkatan kemampuan
individu (tergantung minat dan bakat) dan lain sebagainya. Dan hal ini tidak
bisa di dapatkan di dalam ruang kelas. Oleh karena itu, pengalaman yang
didapatkan di organisasi mahasiswa memberikan nilai lain ketika hengkang dari
dunia kampus.
Ini
bukan berarti mau mengatakan bahwa organisasi lebih penting dari akademik.
Tidak!. Akademik itu jelas penting, karena memang benar bahwa tujuan kuliah itu
untuk meningkatkan kemampuan akademik. Hanya saja, kemampuan akademik yang
tidak diimbangi dengan kecakapan lain akan menghasilkan mahasiswa yang kaku
ketika keluar kampus. Apalagi ketika menghadapi dunia kerja yang sesungguhnya.
Belum lagi jumlah lowongan pekerjaan yang timpang dengan jumlah yang melamar.
Jika tidak memiliki kecakapan tambahan, maka dipastikan mahasiswa yang hanya
mengandalkan akademiknya saja tergilas oleh kerasnya persaingan dunia kerja
pada era globalisasi seperti sekarang ini.
Jadi,
ini bukan soal mana yang lebih baik dan mana yang benar. Kecakapan akademik dan
kecakapan organisasi adalah dua hal yang saling melengkapi. Meskipun seringkali
dilihat sebagai hal yang berlawanan. Anggapan bahwa organisasi menghambat
akademik inilah yang mesti dihilangkan. Organisasi adalah perangkat pelengkap
kemampuan akademik. Cara menyeimbangkan organisasi dan akademik inilah
sebenarnya seni manejemen waktu. Menempatkan organisasi dan akademik secara
proporsional.
Kampus
sendiri juga harus mendukung segala bentuk kegiatan organisasi mahasiswa. Tidak
hanya memanfaatkan prestasi yang ditorehkan ketika ada akreditasi. Sudah
menjadi keharusan bagi kampus untuk memfasilitasi kegiatan mahasiswa dalam
upaya meningkatkan soft skill. Karena
meningkatnya jumlah pengangguran terdidik adalah aib sesungguhnya kampus. Untuk
itulah kampus tidak boleh mengekang mahasiswanya dalam mengembangkan potensinya
di dalam organisasi. Tidak boleh ada larangan ikut organisasi. Jika perlu
jumlah dan anggarannya ditingkatkan.
Mahasiswa
sendiri harus ingat statusnya sebagai seorang terpelajar. Seperti dikatakan
Pram bahwa harus bijak sejak dalam pikiran. Harus tau kapan waktunya akademik
dan kapan waktunya organisasi. Keduanya harus diseimbangkan. Harus ditanam
baik-baik dalam benak bahwa “kuliah adalah prioritas, tapi berorganisasi juga
harus totalitas”.
*juara 1 lomba Opini tingkat Fakultas di FKIP
Aku sih yes
BalasHapusYes no yes no
HapusYg jadi evaluasi kampus juga, Kebanyakan Alumni bekerja di luar bidang kualifikasi studi yg ditempuh selama kuliah. Seperti tuh ada satu orang jurusannya Pendidikan Matematika kok milih jadi Graphic Desainer padahal ndk pernah di ajarin di kampus, kan aneh hahahaha :D ������
BalasHapuskene dirik ne atau berembe?wkwkwk
BalasHapus