oleh: Lalu Muhammad Helmi Akbar
(Anggota Pena Kampus)
Jika Anda membuka media
massa - baik cetak maupun elektronik- hari ini hingga besok, hal pertama yang
pasti akan Anda lihat ialah ihwal tahun baru. Iya, berpindahnya tahun 2020
berganti 2021 - menurut penanggalan kalender masehi.
Sistem penanggalan
kalender masehi ini awalnya bersumber dari sistem penanggalan Gregorian. Sistem
penanggalan Gregorian adalah sistem penanggalan yang berdasarkan pada siklus
pergerakan semu matahari. Sistem penanggalan ini terus mengalami perubahan,
hingga akhirnya menemui titik terakhirnya yang kemudian ditandai dengan adanya
12 bulan dalam satu tahun.
Kembali lagi ke topik
"tahun baru". Pergantian tahun masehi ini identik dengan sebuah
perayaan, perayaan apa yang dimaksud barangkali tergantung bagaimana setiap
orang memaknai arti kata "pergantian" itu.
Memang tak terasa,
tahun 2020 akan pergi dan berganti 2021. Baru kemarin rasanya kita menginjakkan
kaki di 2020, sekarang sudah berpindah tahun lagi. Benar kata Sapardi Djoko
Damono, "yang fana adalah waktu, kita abadi". Hehe
Sedikit bercerita, dari
literatur yang aku baca, perayaan pergantian tahun dilakukan oleh berbagai
negara sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya. Penetapan 1 Januari sebagai
tahun baru Masehi pertama kali, merupakan pengembangan penanggalan Romawi yang
dilakukan pada tahun 1582 oleh Paus Gregory XIII. Filosofinya, perayaan
tahun baru dilakukan sesuai dengan tradisi dan kepercayaan masing-masing
individu.
Bagi Kerajaan
Babilonia, mereka melakukan perayaan dengan penanggalan pada bulan pertama
vernal equinox (perpotongan lingkaran ekuator dan ekliptikal), sedangkan
Kerajaan Romawi menentukan penanggalan dan pergantian tahun dengan siklus
matahari. Bangsa Mesir menandai pergantian tahun dengan melihat banjir sungai
Nil. Cina menentukan tahun baru pada bulan baru kedua saat titik balik matahari
setelah musim gugur.
Pun di Indonesia,
perayaan pergantian tahun seperti sudah menjadi budaya. Berbagai pernak pernik
berupa terompet, kembang api, hingga panggung-panggung untuk konser musik penuh
menghiasi malam detik pergantian tahun.
Pertanyaanya, mengapa
selalu terselip kata "perayaan" di setiap momen pergantian tahun?
Padahal, sejatinya memang tidak ada yang spesial pada detik pergantian tahun
tersebut. Bisa kita lihat, tidak ada uang atau makanan yang jatuh dari langit
sehingga malam itu menjadi sangat spesial.
Mungkin ada yang
berkomentar, kok ribet sekali ya harus memikirkan sampai segitunya? Iya, pada
dasarnya secara hukum interaksi antarmanusia, apa pun yang ingin kamu lakukan,
itu terserah kamu, selama tidak mengganggu orang lain. Nah, dari sisi umat
beragama, apapun yang kamu lakukan juga itu terserah kamu selama itu tidak
melanggar larangan atau mengabaikan perintah Rab/Tuhan/Juru Selamat yang kamu
yakini.
Kalau kamu bertanya,
apakah penting untuk merayakan pergantian tahun? Aku akan menjawab,
"tergantung". Sekali lagi, itu tergantung bagaimana kamu memaknai
pergantian tahun itu. Merayakan atau tidak, sekali lagi itu tergantung definisi
yang kamu gunakan terhadap kata "pergantian" itu.
Ada yang memilih hadir
di kerumuman, ada yang lebih nyaman di kesepian. Sebab tidak sedikit umat
manusia yang hanya memilih untuk berdiam diri di rumah - atau bahkan di kamar -
saat detik - detik pergantian tahun mulai berdetak dan melangkah maju.
Mungkin pola pikir
mereka yang melakukan ini ketika pergantian tahun adalah "Apa yang mesti
dirayakan dari perstiwa pergantian tahun itu, sebab waktu memang akan tetap
melaju, dirayakan atau tidak dirayakan". Anggapan semacam ini sama sekali
tidak salah, sebab kita memang mempunyai cara tersendiri untuk mewarnai setiap
agenda hidup yang telah digariskan Tuhan.
Pada momentum
pergantian tahun, pasti kita atau Anda akan sangat familier dengan istilah
"resolusi tahun baru". Pergantian tahun seolah punya simbol khusus
sehingga dirayakan dengan sangat meriah di seluruh dunia. Kebiasaan ini
terbentuk dari perilaku manusia dan terkait dengan sesuatu yang hakiki pada
manusia. Apalagi, banyak orang mengorbankan waktu, uang, dan tenaganya hanya
demi merayakan pergantian tahun tersebut. Tapi, pernahkah Anda berpikir apa
yang membuat banyak orang menganggap tahun baru harus dirayakan. Mengapa pula
orang-orang menuliskan resolusi tahun baru pada momentum tersebut? Sekali lagi,
jawabannya adalah tergantung bagaimana Anda memaknai pergantian tahun itu.
Resolusi tahun baru
adalah contoh bahwa manusia di seluruh dunia punya keinginan untuk mengontrol
apa yang akan terjadi di depan, meskipun tidak ada yang tahu mengenai masa
depan. Tak peduli resolusi tersebut akan dapat terlaksana ataupun tidak, itu
persoalan belakangan. Positifnya, resolusi di momen pergantian tahun ini
setidaknya menggambarkan bahwa mereka sebetulnya punya tujuan di tahun yang
akan datang. Resolusi atau harapan itu menjadi semacam komitmen yang membuat
mereka merasa memiliki kontrol atas hari-hari ke depan. Itu penting.
Aku ingat sekali, empat
tahun silam, di momen pergantian tahun, aku ada di kerumunan mereka yang
katanya sedang merayakan pergantian tahun. Aku ada di antara mereka. Beberapa
orang sibuk bernyanyi, lalu yang lain sibuk berjoget dan tidak sedikit yang
menyalakan kembang api, beberapa lagi sibuk memandu kasih, tapi aku yakin
mereka tidak sedang berpacaran, mereka berselingkuh. Instingku tajam, dan itu
tak bisa aku jelaskan.
Di sudut yang lain,
kulihat seorang teman duduk tidak jauh dari kerumunan itu. Ia terlihat sangat
santai dengan sebiji rokok menyala di tangan kirinya dan gawai di tangan
kanannya. Kuhampiri ia, aku duduk di sebelahnya. Sial rokok kami habis, yang
tersisa hanya sebiji rokok yang tengah menyala di tangan kiri temanku ini.
Keputusannya, kita "join".
Di antara perbincangan,
aku bertanya ke kawanku ini "Mereka --sembari menunjuk ke arah kerumunan
itu --sedang melakukan apa," tanyaku. Dengan nada apatis, ia menjawab,
"Entahlah, aku juga bingung," katanya sembari menggelengkan kepala.
"Kenapa kau tak bergabung bersama mereka," tanyaku kembali.
"Aku tak suka
keramaian, juga tidak ada yang perlu dirayakan dari tahun baru, tak ada yang
spesial, aku hanya libur sehari, dan lusa aku akan bekerja kembali."
Terdengar keluhan agak panjang dari kawanku ini. Aku taat mendengarkan. Pada
intinya, dia bukan tipe orang yang senang merayakan pergantian tahun, lebih -
lebih kalau di keramaian. Itu prinsipnya.
Kami berbincang agak
panjang, rokok kami habis dan gawai kawanku mati. Kami tak tau harus apa. Kami
memutuskan untuk pulang, dan tidur. Keesokan paginya, kami terbangun dan tahun
tetap berganti. Tiga tahun setelahnya aku "walk out" dari perayaan
pergantian tahun di keramaian.
Menurutku, tidak ada
yang salah dari kedua hal itu. Orang yang memilih merayakan pergantian tahun
dengan pesta dan berada di keramaian barangkali menemukan kebahagiaanya di
sana. Orang yang memilih berdiam diri di rumah, melewati detik - detik
pergantian tahun juga barangkali menemukan kenyamananya di sana.
Mengatakan bahwa orang
yang melewati pergantian tahun di luar rumah lebih bahagia dibandingkan dengan
orang yang hanya berada di rumah barangkali merupakan asumsi yang belum tentu
tepat. Sebab kita selalu punya cara sendiri untuk bahagia dan bercerita dengan
waktu.
Sekali lagi, tahun akan
terus berganti. Persoalan sebetulanya bukan pergantian tahun itu, tetapi
kesadaran bahwa waktu tetap melangkah maju. Jika kau tidak dapat beradaptasi
dengan waktu, kau hanya akan jadi pecundang yang akan dikangkangi waktu.
Selamat menyambut 2021. Peluk hangat untuk kita semua, salam untuk keluarga dan
kolega.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar