Menyelam dan Akhirnya Tenggelam: Bagaimana Tahun Barumu? - LPM Pena Kampus

Goresan Penamu Runtuhkan Tirani

Breaking

Kamis, 31 Desember 2020

Menyelam dan Akhirnya Tenggelam: Bagaimana Tahun Barumu?

 


oleh: Lalu Muhammad Helmi Akbar

(Anggota Pena Kampus)


Jika Anda membuka media massa - baik cetak maupun elektronik- hari ini hingga besok, hal pertama yang pasti akan Anda lihat ialah ihwal tahun baru. Iya, berpindahnya tahun 2020 berganti 2021 - menurut penanggalan kalender masehi.

 

Sistem penanggalan kalender masehi ini awalnya bersumber dari sistem penanggalan Gregorian. Sistem penanggalan Gregorian adalah sistem penanggalan yang berdasarkan pada siklus pergerakan semu matahari. Sistem penanggalan ini terus mengalami perubahan, hingga akhirnya menemui titik terakhirnya yang kemudian ditandai dengan adanya 12 bulan dalam satu tahun.

 

Kembali lagi ke topik "tahun baru". Pergantian tahun masehi ini identik dengan sebuah perayaan, perayaan apa yang dimaksud barangkali tergantung bagaimana setiap orang memaknai arti kata "pergantian" itu.

 

Memang tak terasa, tahun 2020 akan pergi dan berganti 2021. Baru kemarin rasanya kita menginjakkan kaki di 2020, sekarang sudah berpindah tahun lagi. Benar kata Sapardi Djoko Damono, "yang fana adalah waktu, kita abadi". Hehe

 

Sedikit bercerita, dari literatur yang aku baca, perayaan pergantian tahun dilakukan oleh berbagai negara sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya. Penetapan 1 Januari sebagai tahun baru Masehi pertama kali, merupakan pengembangan penanggalan Romawi yang dilakukan pada tahun 1582 oleh Paus Gregory XIII.  Filosofinya, perayaan tahun baru dilakukan sesuai dengan tradisi dan kepercayaan masing-masing individu.

 

Bagi Kerajaan Babilonia, mereka melakukan perayaan dengan penanggalan pada bulan pertama vernal equinox (perpotongan lingkaran ekuator dan ekliptikal), sedangkan Kerajaan Romawi menentukan penanggalan dan pergantian tahun dengan siklus matahari. Bangsa Mesir menandai pergantian tahun dengan melihat banjir sungai Nil. Cina menentukan tahun baru pada bulan baru kedua saat titik balik matahari setelah musim gugur.

 

Pun di Indonesia, perayaan pergantian tahun seperti sudah menjadi budaya. Berbagai pernak pernik berupa terompet, kembang api, hingga panggung-panggung untuk konser musik penuh menghiasi malam detik pergantian tahun.

 

Pertanyaanya, mengapa selalu terselip kata "perayaan" di setiap momen pergantian tahun? Padahal, sejatinya memang tidak ada yang spesial pada detik pergantian tahun tersebut. Bisa kita lihat, tidak ada uang atau makanan yang jatuh dari langit sehingga malam itu menjadi sangat spesial. 

 

Mungkin ada yang berkomentar, kok ribet sekali ya harus memikirkan sampai segitunya? Iya, pada dasarnya secara hukum interaksi antarmanusia, apa pun yang ingin kamu lakukan, itu terserah kamu, selama tidak mengganggu orang lain. Nah, dari sisi umat beragama, apapun yang kamu lakukan juga itu terserah kamu selama itu tidak melanggar larangan atau mengabaikan perintah Rab/Tuhan/Juru Selamat yang kamu yakini.

 

Kalau kamu bertanya, apakah penting untuk merayakan pergantian tahun? Aku akan menjawab, "tergantung". Sekali lagi, itu tergantung bagaimana kamu memaknai pergantian tahun itu. Merayakan atau tidak, sekali lagi itu tergantung definisi yang kamu gunakan terhadap kata "pergantian" itu.

 

Ada yang memilih hadir di kerumuman, ada yang lebih nyaman di kesepian. Sebab tidak sedikit umat manusia yang hanya memilih untuk berdiam diri di rumah - atau bahkan di kamar - saat detik - detik pergantian tahun mulai berdetak dan melangkah maju.

 

Mungkin pola pikir mereka yang melakukan ini ketika pergantian tahun adalah "Apa yang mesti dirayakan dari perstiwa pergantian tahun itu, sebab waktu memang akan tetap melaju, dirayakan atau tidak dirayakan". Anggapan semacam ini sama sekali tidak salah, sebab kita memang mempunyai cara tersendiri untuk mewarnai setiap agenda hidup yang telah digariskan Tuhan.

 

Pada momentum pergantian tahun, pasti kita atau Anda akan sangat familier dengan istilah "resolusi tahun baru". Pergantian tahun seolah punya simbol khusus sehingga dirayakan dengan sangat meriah di seluruh dunia. Kebiasaan ini terbentuk dari perilaku manusia dan terkait dengan sesuatu yang hakiki pada manusia. Apalagi, banyak orang mengorbankan waktu, uang, dan tenaganya hanya demi merayakan pergantian tahun tersebut. Tapi, pernahkah Anda berpikir apa yang membuat banyak orang menganggap tahun baru harus dirayakan. Mengapa pula orang-orang menuliskan resolusi tahun baru pada momentum tersebut? Sekali lagi, jawabannya adalah tergantung bagaimana Anda memaknai pergantian tahun itu.

 

Resolusi tahun baru adalah contoh bahwa manusia di seluruh dunia punya keinginan untuk mengontrol apa yang akan terjadi di depan, meskipun tidak ada yang tahu mengenai masa depan. Tak peduli resolusi tersebut akan dapat terlaksana ataupun tidak, itu persoalan belakangan. Positifnya, resolusi di momen pergantian tahun ini setidaknya menggambarkan bahwa mereka sebetulnya punya tujuan di tahun yang akan datang. Resolusi atau harapan itu menjadi semacam komitmen yang membuat mereka merasa memiliki kontrol atas hari-hari ke depan. Itu penting.

 

Aku ingat sekali, empat tahun silam, di momen pergantian tahun, aku ada di kerumunan mereka yang katanya sedang merayakan pergantian tahun. Aku ada di antara mereka. Beberapa orang sibuk bernyanyi, lalu yang lain sibuk berjoget dan tidak sedikit yang menyalakan kembang api, beberapa lagi sibuk memandu kasih, tapi aku yakin mereka tidak sedang berpacaran, mereka berselingkuh. Instingku tajam, dan itu tak bisa aku jelaskan.

 

Di sudut yang lain, kulihat seorang teman duduk tidak jauh dari kerumunan itu. Ia terlihat sangat santai dengan sebiji rokok menyala di tangan kirinya dan gawai di tangan kanannya. Kuhampiri ia, aku duduk di sebelahnya. Sial rokok kami habis, yang tersisa hanya sebiji rokok yang tengah menyala di tangan kiri temanku ini. Keputusannya, kita "join".

 

Di antara perbincangan, aku bertanya ke kawanku ini "Mereka --sembari menunjuk ke arah kerumunan itu --sedang melakukan apa," tanyaku. Dengan nada apatis, ia menjawab, "Entahlah, aku juga bingung," katanya sembari menggelengkan kepala. "Kenapa kau tak bergabung bersama mereka," tanyaku kembali.

 

"Aku tak suka keramaian, juga tidak ada yang perlu dirayakan dari tahun baru, tak ada yang spesial, aku hanya libur sehari, dan lusa aku akan bekerja kembali." Terdengar keluhan agak panjang dari kawanku ini. Aku taat mendengarkan. Pada intinya, dia bukan tipe orang yang senang merayakan pergantian tahun, lebih - lebih kalau di keramaian. Itu prinsipnya.

 

Kami berbincang agak panjang, rokok kami habis dan gawai kawanku mati. Kami tak tau harus apa. Kami memutuskan untuk pulang, dan tidur. Keesokan paginya, kami terbangun dan tahun tetap berganti. Tiga tahun setelahnya aku "walk out" dari perayaan pergantian tahun di keramaian.

 

Menurutku, tidak ada yang salah dari kedua hal itu. Orang yang memilih merayakan pergantian tahun dengan pesta dan berada di keramaian barangkali menemukan kebahagiaanya di sana. Orang yang memilih berdiam diri di rumah, melewati detik - detik pergantian tahun juga barangkali menemukan kenyamananya di sana.

 

Mengatakan bahwa orang yang melewati pergantian tahun di luar rumah lebih bahagia dibandingkan dengan orang yang hanya berada di rumah barangkali merupakan asumsi yang belum tentu tepat. Sebab kita selalu punya cara sendiri untuk bahagia dan bercerita dengan waktu.

 

Sekali lagi, tahun akan terus berganti. Persoalan sebetulanya bukan pergantian tahun itu, tetapi kesadaran bahwa waktu tetap melangkah maju. Jika kau tidak dapat beradaptasi dengan waktu, kau hanya akan jadi pecundang yang akan dikangkangi waktu. Selamat menyambut 2021. Peluk hangat untuk kita semua, salam untuk keluarga dan kolega.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar