Sumber: Martin @ pinterest
MARI BERCERITA
Oleh: Riza Zohaeriah (2016)
(Karya Alumni LPM Pena Kampus yang diwisuda pada 2022)
“Abah hari ini udah mampir belum?”
tanya Hendra pada sosok laki-laki gondrong yang sedang mencoba menyeimbangkan
suaranya dengan irama gitar.
Laki-laki yang kerap disapa Bang Udik itu menganggukkan kepalanya sebagai jawaban sebelum akhirnya bersuara, “Udah, tuh, lagi dibaca Hawy di dalem.” Abah yang di maksud Hendra adalah pengantar koran yang menjadi langganan mereka.
Hendra yang awalnya melesakkan pantatnya di atas dipan kemudian melangkah mendekati pintu sekret. Dari sana bisa dia lihat sosok gadis dengan rambut sebahu sedang menunduk dengan koran Kompas terbuka lebar di lantai. Posisinya yang duduk sujud benar-benar membuat wajahnya tidak terlihat. Kalau bukan karena Bang Udik yang memberi tahu, Hendra mana bisa mengenali gadis itu sebagai Hawy.
“Lagi baca bagian apa, Wy?” sembari melepaskan sepatu pantopelnya, laki-laki yang hari ini menggunakan setelan formal dilengkapi jas almamater biru dongker itu beringsut duduk di sebelah Hawy. Posisi mereka di pojok, tepat di bawah perpustakaan gantung milik sekret.
Sosok cewek bernama Sri Hawysia Rinjani itu
kemudian memusatkan perhatiannya pada Hendra. Cowok itu sudah menanggalkan jas
almamater dan dasi hitam yang melilit lehernya.
“Kak Mahen habis ngapain? Aku lagi baca bagian opini, kak.”
Mendengar pertanyaannya dijawab dengan pertanyaan membuat Hendra mendengus. Tangannya kemudian bergerak untuk mengacak rambut sebahu gadis itu. “Kebiasaan banget. Lain kali kalau mau baca itu jangan di sudut gelap gini, posisi kamu juga jelek banget. Nggak baik, ah.”
Hawy mengedikkan bahunya acuh, membaca di pojok ruangan
benar-benar membuatnya merasa nyaman, tidak peduli meskipun lampu sekret
dianggap tidak cukup menerangi sisi favoritnya. Posisinya kemudian kembali
menunduk melanjutkan bacaannya. Hendra yang risih melihat posisi membaca Hawy
kemudian menggambil kotak bening berisi karet gelang di samping komputer dan
mengikat rapi rambut sebahu gadis itu.
“Makasih, kak!”
“Hmm.”
Cowok itu kemudian bersandar di tembok,
memejamkan matanya sejenak sambil menunggu Hawy selesai dengan bacaannya.
Hendra bisa memanfaatkan waktu untuk istirahat sejenak, karena setelah gadis di
sebelahnya selesai membaca, dia pasti akan menyuarakan isi kepalanya.
***
“Kak Mahen.”
Rasanya Hendra baru saja terlelap beberapa
detik saat lengan kanannya ditepuk tiga kali oleh gadis di sampingnya.
Kepalanya seketika berputar menyesuaikan pencahayaan yang diterima retina
matanya ketika terbuka.
“Kenapa, dek?”
“Dipanggil abang Udik,” ujar Hawy menunjuk
pintu sekret yang menampilkan wajah ceria milik Bang Udik.
Hendra merespon panggilan itu dan melangkah
menuju pintu. Ternyata pesanan makanannya sudah tiba. Sebelum menuju sekret,
Hendra memang sudah memesan makanan di kantin. Katanya sebagai bentuk syukur
dia bisa melewati sidang ujian skripsinya hari ini.
Sudut bibir Hendra terangkat geli melihat
Bang Udik dan beberapa tetangga sekret terlihat sumringah melihat gorengan,
nasi uduk, nasi goreng, ayam geprek, ayam bakar, serta minuman aneka rasa
memenuhi dipan tempat mereka nongkrong. Hendra menanggapi doa yang diberikan untuknya dengan senyum simpul dan
gumaman aamiin, kemudian mengambil dua piring nasi goreng, seplastik gorengan, dan kopi hitam untuk dibawa ke
dalam sekret.
“Makan dulu, Wy. Nanti lagi bacanya.” Saat
Hendra meletakkan nasi goreng di hadapan Hawy, barulah Hendra sadar bahwa gadis
itu sudah tidak lagi membaca koran, kini dia sedang memegang buku bersampul
kuning.
“Makasi, kak Mahen.” Setelah nasi gorengnya
beralih ke tangan Hawy, Hendra berjalan menuju dispenser mengambil air. Gelas
berisi air putih itu kemudian ia
letakkan di sebelah Hawy yang baru saja memakan suapan pertamanya. Gadis itu
memberikan Hendra senyuman lebar. Mereka makan dalam hening ditemani dentingan
sendok dan piring.
“Kak….”
“Hmm?” Hendra menjawab sambil menyeruput kopi
hitamnya. Ia
kemudian membereskan piring makan Hawy dan meletakkannya di bawah meja
komputer, sedangkan piring bekas makan miliknya digunakan untuk meletakkan
gorengan yang tadi dia bawa.
Hawy menyomot tempe goreng sesaat setelah
Hendra selesai meletakkan gorengan. “Kalau menurut kak Mahen, Indonesia kalau
mau jadi negara maju, tuh, kira-kira apa saja, sih,
yang harus dilakukan?”
“Pertama, ada keinginan untuk maju. Kenapa
Indonesia tidak maju-maju? Ya, karena masyarakatnya tidak mau diajak maju,”
ucap Hendra enteng. Melihat gadis yang sedang memakan tempe goreng keduanya itu
mengerutkan dahi dan menatapnya sinis membuat Hendra terkekeh.
“Kok, gitu, sih? Ini aku juga masyarakat Indonesia, aku mau, kok, diajak maju.” Ucapan dengan nada sinis yang keluar dari mulut Hawysia
membuat Hendra benar-benar menyemburkan tawanya. Gemas sekali anak usia 19
tahun ini.
Setelah tawanya mulai mereda, Hendra
melanjutkan ucapannya, “Bukan gitu, Wy. Ya, kakak tahu kamu sebagai masyarakat Indonesia
mau diajak maju, tapi sebagian lagi,
kan, kita tidak tahu pemikiran mereka bagaimana?”
“Kita mulai dari hal yang sederhana dulu deh.
Hawy kalau makan di kantin, beli ayam geprek, sehabis makan piringnya kamu
beresin atau dibiarin gitu aja?”
Tanpa pikir panjang, Hawy menjawab mantap, “Dibiarin.”
Hendra kembali terkekeh. “Enggak aneh, sih. Piring makan kamu
aja kakak yang beresin, kok, ini.”
Mata gadis itu terbelalak kaget. “Aku enggak pernah minta, ya. Dasar pamrih!”
Hendra mengabaikan jawaban menggerutu Hawy, “Salah satu contoh kenapa Indonesia tidak maju, tuh, mereka diajak
untuk membersihkan meja makan dan membuang sampah mereka sendiri aja masih
banyak yang berkomentar kalau itu semua pekerjaan karyawan, ngapain
mereka yang harus ngeberesin?”
“Kita, tuh,
diajak untuk menjadi lebih baik. Tapi karena merasa repot, masih banyak yang
tidak mau. Kakak enggak bilang kalau Indonesia mau maju, maka orang-orang harus
memiliki kesadaran untuk membereskan dan membuang sampah mereka sendiri. Tapi
kalau Indonesia mau maju, ya kita harus punya karakter yang mau diajak untuk
berubah. Kita tuh kebanyakan malesnya, tapi kalau tidak ada kemajuan, tetap saja
yang disalahkan pemerintah.”
“Jadi, kakak ada dipihak pemerintah, nih?”
“Poinnya bukan di sana, ya, bocilll.”
Hendra yang gemas kemudian menarik pipi gadis yang memberondongnya dengan
pertanyaan yang tidak nyambung dengan ucapan panjang lebarnya.
“Satu hal lagi yang membuat Indonesia enggak
maju-maju, warganya kepo abis! Segala macam hal dikomentari mulu.” Itu suara
ngantuk milik bang Udik. Laki-laki yang sebelumnya menjadi orang nomor satu
pelahap makanan gratis dari Hendra itu memutuskan untuk bergabung dalam diskusi
utara-selatan milik Hawy dan Hendra.
“Hawy tahu, enggak, kalau warganet Indonesia tuh
menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara dalam tingkat kesopanan digital
pengguna internet dunia saat berkomunikasi di dunia maya?”
Hawy mengangguk sebagai jawaban. “Iya, pernah
baca.”
“Hawy tahu kenapa? Karena ada tiga faktor
yang berpengaruh pada risiko kesopanan di Indonesia. Pertama, ada hoaks dan penipuan, kedua ada faktor
ujaran kebencian, dan ketiga
ada faktor diskriminasi. Tiga hal ini aja masih kuat banget loh
akarnya di masyarakat Indonesia. Via Vallen pipinya lebih tembem aja
dikomentari kayak digigit tawon. Gak waras! Orang seksi begitu.”
Lemparan buku bersampul kuning sukses
mendarat di lengan bang Udik. Tentu saja lemparan itu berasal dari Hawy yang
meradang.
“Indonesia itu bisa saja lebih maju dari
Singapura, atau paling enggak sebandinglah, ya. Kalau saja Indonesia mau mengembangkan
produk kebudayaannya, bukan sekedar melestarikannya aja.”
Hawy kembali mengerutkan keningnya mendengar
perkataan Hendra. “Gimana maksudnya? Bukannya kita emang harus melestarikan
budaya?”
Hendra mengangguk. “Setuju. Kita memang harus melestarikan
budaya. Tapi kalau kita bisa mengembangkannya, kenapa tidak?”
Bang Udik ikut menimpali, “Contohnya?”
“Jamu,” jawab Hendra lugas. “Jamu itu
termasuk produk kebudayaan yang dikembangkan oleh pendahulu kita, dan sampai
sekarang masih tetap eksis. Kenapa kita harus terus mempertahankan dan
melestarikan produk dan penjualan jamu gendong? Sedangkan, kita bisa saja mengembangkannya menjadi
produk kemasan obat herbal. Produk sukses yang berhasil mengembangkan hal ini
adalah obat herbal masuk angin.”
“Tolak angin.”
“Antangin.” Hawy dan bang Udik menjawab bersamaan.
Perdebatan obat herbal masuk angin mana yang
paling ampuh dan mujarab terjadi antara bang Udik dan Hawy. Sampai kemudian
Hendra kembali menyuarakan kegemasannya tentang budaya Indonesia yang justru
jarang sekali dipandang takjub oleh warganya sendiri. Indonesia kalau mau maju
tinggal ekspos dan kembangkan budayanya juga sudah oke, begitu kira-kira
anggapan Hendra.
Dari segi musik, Indonesia sudah punya Weird
Genius. Kemarin dengan Lathi mereka mendunia dan terpampang di Time Square New
York. Dan Weird Genius adalah salah satu bentuk budaya yang dikembangkan.
Budaya Indonesia itu banyak sekali, kalau sekadar dilestarikan juga tidak
masalah, sih. Tapi, kalau
nanti negara tetangga mengembangkan budaya milik Indonesia dan mengakui sebagai
budaya mereka, nah, gimana?
Masih dari musik nih, tapi keluar dari melestarikan dan mengembangkan budaya. Kalau menurut kamu, Nasida Ria yang sudah pernah tampil di Jerman termasuk membanggakanmu sebagai warga negara Indonesia, tidak? Itu pertanyaan dari Mahendra, ya.
***
Pertanyaan Hawysia saya ambil dari quora,
begitupula dengan jawaban Mahendra dan bang Udik. Berikut linknya:
https://id.quora.com/Jika-Indonesia-mau-maju-menurut-kalian-apa-yang-diperlukan
Ada juga yang saya ambil dari laman kompas:
Salam terindah,
Riza Zohaeriah
<3
dari musik kita juga punya Alffy Rev dengan segala ide briliannya. Indonesia tidak kekurangan orang-orang kreatif. mereka hanya kurang diberi jalan untuk mengekspresikan diri.
BalasHapustulisan ini sebenarnya masih permulaan. titik nadinya malah belum kelihatan. jadi cuma sekadar ditulis dan diceritakan penggalan awalnya saja. tidak membahas secara mendalam apa yang sejujurnya ingin saya sampaikan.
tapi biarlah. semoga saja dengan tulisan ringkas ini, pandangan kita tetap terbuka dan mau memahami apa yang mau saya sampaikan, ya.